Point of View 10/1

166 16 2
                                    

Gun ingat dirinya pernah kehabisan buku-buku bacaan dari raknya sendiri, dan tidak dalam suasana hati yang cukup memotivasinya pergi ke perpustakaan atau toko buku. Namun, karena ia masih sangat ingin membaca, pilihan terakhirnya adalah menyisir rak buku adiknya, Pim.

Mereka punya selera bacaan yang cukup jauh berbeda, tetapi Gun tidak terlalu pilih-pilih dalam membaca, sebab ia yakin kegiatan itu selalu membawa manfaat positif.

Sekali, pilihannya jatuh pada satu buku dengan sampul yang sudah usang, bahkan separuh hilang, berisikan kumpulan puisi karya Lady Mary Wortley Montagu yang tidak ia ketahui siapa dan bagaimana rupanya, tetapi memang pernah ia dengar namanya disebut-sebut dalam dunia literasi sastra.

Ia jarang tertarik pada puisi, tetapi daripada tidak membaca sama sekali, ia memutuskan tak ada salahnya mencoba membaca sesuatu yang tidak begitu menarik minatnya.

Dan karena tidak begitu menarik minatnya, ia melompat dari satu judul ke judul lainnya, mencari-cari judul yang dapat membuatnya berhenti menggulir halaman demi halaman, dan "A Man In Love" berhasil menghentikannya.

The man who feels the dear disease, forgets himself, neglects to please.
The crowd avoids, and seeks the groves, and much he thinks when much he loves;
Press'd with alternate hope and fear

Ia belum selesai, tetapi cepat melayangkan keraguannya akan sudut pandang Lady Mary. Waktu itu pikirnya, penggalan awal bait pertama puisi tersebut terlalu berlebihan.

Laki-laki terlalu berlogika untuk bisa sebegitu terpengaruh oleh cinta sehingga mereka akan mengasingkan diri, menghindari pergaulan dan lingkungan, larut dalam duka, kalut dalam pikiran, dan berada di bawah tekanan akan harapan serta ketakutan.

Sekarang, ketika tahu rasanya jatuh cinta, dan berhadapan langsung dengan patah hati, Gun merasa perlu meminta maaf kepada aristoktrat asal Inggris tersebut. Ia juga merasa perlu meminta maaf kepada kaum laki-laki di seluruh muka bumi karena sudah melakukan toxic masculinity.

Bahwa ia lupa kalau laki-laki juga manusia yang diciptakan punya hati yang bisa merasa. Bahwa laki-laki juga dapat menjadi lemah kalau mereka mau. Bahwa apabila itu berkaitan dengan cinta, laki-laki juga dapat sehancur itu. Bahwa menarik diri dari pergaulan, menjadi lebih senang larut dalam pikiran serta kesendirian, itu sangat wajar untuk dilakukan oleh laki-laki yang patah hati. Sama halnya bagaimana stigma dunia memandangnya wajar untuk dilakukan oleh perempuan dengan kondisi serupa.

Ah! Malunya Gun pada diri sendiri.

Mungkin saja sekarang dari entah di mana, wanita yang hidup beratus-ratus tahun di belakangnya itu sedang duduk sembari mencemoohnya, menertawakannya yang kini perlu menjilat ludah sendiri.

Jika mereka hidup pada garis waktu yang sama, dan kebetulan mengenal satu sama lain, Gun bertaruh ia akan mendapatkan komentar "Hah! Rasakan kau sekarang mengalami sendiri sesuatu yang katamu terlalu berlebihan!" disembur langsung ke wajahnya.

Namun, tidak mungkin juga agaknya, sebab kalau penulis "Hymn To The Moon" yang terkenal itu saja sudah menjadi bijaksana hidup pada abad di mana patriarki masih begitu kentalnya-mungkin sekarang juga masih sama-yang berarti laki-laki dianggap sangat hebat, Gun yakin dia juga akan bijaksana di abad kedua puluh satu ini.

"Gunnie..."

Lady Mary Wortley Montagu terhapus dari pikiran Gun, penghapusnya adalah suara New yang memanggilnya pelan.

"Ya?"

New menatap sendu. "Kau melamun lagi, Mate. Kau sudah sering begitu, aku khawatir."

Gun tidak menolak fakta bahwa ia sedang lemah selemah mungkin sekarang, tetapi ia menolak melibatkan orang lain. "Tenang saja, ini hanya fase, aku akan segera melewatkannya." Segera itu tidak tahu kapan pastinya.

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now