The Cold Summer 9/1

161 16 1
                                    

Ada yang mengatakan bahwa sesibuk apa pun seseorang, jika kita adalah prioritasnya, dia tetap akan menyempatkan waktu untuk sekedar memberi kabar. Jika harus memakai standar itu, maka Gun jelas bukan prioritas Off, karena sudah seminggu berlalu, dan pria itu tidak pernah memberi kabar apa-apa.

"Masih belum ada kabar juga?"

Gun tersadarkan dari kegiatan menatap layar ponselnya karena mendengar New bertanya.

"Masih."

New tersenyum tenang. "Kau tidak mau mengiriminya pesan?"

"Dia bilang aku tidak boleh menghubunginya, kecuali dia yang menghubungiku."

Gun sangat berpegang teguh pada hal itu, jadi meski hatinya dilanda tsunami gelisah, ia menahan diri untuk tidak menghubungi Off terlebih dahulu.

Hatinya sudah gelisah dari malam perpisahan mereka, ia tidak tidur nyenyak karena mengkhawatirkan Off yang melakukan penerbangan malam menuju Vail karena harus mengatasi masalah Ski Resort di sana.

Di dalam pesawat, kegelisahan itu semakin terasa karena perbedaan besar yang terjadi, dari dirinya yang tak pernah bosan duduk berjam-jam dalam alat transportasi udara tersebut karena ada Off, menjadi sendirian tanpa siapa-siapa.

Saat dijemput oleh New dan Pim, kegelisahannya sedikit mereda karena bertemu dengan mereka, orang-orang yang juga disayanginya. Namun, tetap saja, Off melayang-layang dalam ingatan, menghantuinya hingga alam bawah sadar.

Sesekali ia terjaga oleh sebab yang tidak ia ketahui, mengecek ponsel untuk melihat kalau-kalau Off menelpon, atau sekedar mengirimnya pesan juga sudah akan lebih dari cukup.

Nihil.

Hari pertama, kedua, ketiga, hingga kini sudah satu minggu tepat, belum ada kabar apa-apa dari Off.

"Hubungi saja dia."

"Jangan." Gun menolak usulan sahabatnya. "Aku akan mengganggunya."

New menggeleng-geleng. "Itu tidak masuk akal, pesan dari orang yang kita cintai tidak mungkin mengganggu, justru kalau misalnya ikut standarku, pesan dari orang yang kita cintai adalah yang paling ditunggu-tunggu," tuturnya.

Gun kembali menatap layar ponselnya, ia sudah dalam kotak pesan, hanya perlu mengetik apa yang menjadi isi pesannya, lalu menekan tombol kirim.

"Dia pasti sangat sibuk dan kalut, aku hanya khawatir dia jadi tidak akan memperhatikan pola makannya lagi... dia cukup tidur tidak, ya?"

"Bagaimana aku tahu? Kalau kau butuh jawaban, kirimkan pertanyaan itu kepadanya."

Pim datang dengan nampan berisikan coklat panas. "Sudah siap, maaf kalau tidak seenak racikanmu, Kak."

Gun tersenyum khas ala kakak laki-laki. "Terima kasih banyak, Pim, kau bisa membuatnya tanpa kena air panas saja sudah lebih dari cukup."

Pim terkekeh. "Aku berusaha sekuat tenaga."

"Aku ragu sekali mau minum ini." New melirik cangkirnya.

"Cobalah, siapa tahu ternyata aku juga berbakat meracik coklat... Kak Off sudah ada kabar?"

Gun menggeleng. "Belum."

Pim menghela nafas berat. "Astaga, padahal aku ingin berdiskusi dengannya. Pasti dia sibuk sekali sekarang, semoga dia tidak lupa jaga kesehatan."

Selain Gun, Off juga sudah berhasil mengambil hati Pim. Adik Gun itu sangat menyukainya, terutama karena pria itu selalu membantu memperluas perspektif akan beberapa hal, membantu tugas kuliahnya, merekomendasikan buku bacaan, bahkan sampai menghadiahkan beberapa buku.

The Love of A Heartless ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang