One Everlasting Night 7/2

279 22 4
                                    

Teatro Amor jelas mengusung arsitektur gotik, luar dan dalam. Sehingga siapa pun, terutama mereka yang awam akan dunia arsitektur akan mengira bahwa gedung yang menyediakan penampilan teater, opera, dan orkestra itu sudah ada sejak berabad-abad silam. Itu juga yang ada di pikiran Gun tadi sebelum dia membaca informasi pada plang sebelah kanan pintu masuk yang menginformasikan bahwa gedung dengan langit-langit membusur itu baru berusia belasan tahun.

"Tadinya aku kira gedung ini sudah ada jauh sebelum revolusi Amerika Serikat, Off." Gun mengatakan itu dengan mata sibuk mengagumi keindahan desain interior Teatro Amor.

Off tersenyum. "Berarti arsiteknya berhasil."

Gun mengangguk-angguk. "Sungguh tadi aku membayangkan para borjuis berkumpul di dalam sini menikmati orkestra dan minum-minum teh, sementara The Boston Tea Party¹ terjadi di luar."

Kali ini tak hanya tersenyum, tetapi tertawa. "Imajinasimu terkadang—"

"Konyol, aku tahu. Kenapa pula aku yakin mereka minum teh padahal ada anggur?"

"Itu dapat saja terjadi, Love. Teh adalah komoditas yang penting kala itu. Tak ada yang salah juga dengan meminum teh," tutur Off sebagai balasan.

Gun tersenyum sebentar. "Kau selalu berusaha menyenangkan aku."

Off tersenyum. "Memang, tapi kali ini aku berbicara secara fundamental, Brain. Teh jelas komoditas yang penting sampai-sampai menjadi dasar suatu peristiwa besar, iya, kan?"

"Aku tidak punya opini lain... apakah kita bisa nonton operanya malam ini? Takutnya sistemnya harus reservasi dari jauh-jauh hari atau bahkan hanya orang tertentu yang diundang."

"Itu." Off mengarahkan mata Gun menggunakan telunjuk ke arah meja yang dipasangi sebuah papan bertuliskan "Tickets". "Kupikir ini terbuka untuk umum, kita dapat beli tiket di sana, semoga masih ada."

Gun mengikuti langkah Off menuju meja yang dimaksud, berdiri di samping pria yang memakai kemeja biru gelap yang menghitam di bawah cahaya samar, dengan mantel berwarna brown itu.

Awalnya Off berbicara bahasa Inggris, tetapi petugas loket itu sepertinya tidak begitu fasih sehingga beberapa saat kemudian dia kembali mendengar kekasihnya berbicara dalam bahasa Spanyol.

Dan seperti biasa, dia menikmati hal itu seperti saat dia menikmati mendengar lagu-lagu kesukaannya, bahkan lebih.

"Quiero reservar entradas para esta noche, ¿quedan entradas para esta noche?" (Aku ingin membeli tiket untuk pertunjukan malam ini, apakah masih ada tempat duduk tersedia?)

Dia mengangguk-angguk padahal tidak mengerti.

"Dos, por favor. Que sean centrales, pero no demasiado atrás." (Dua, please. Di tengah, tetapi jangan terlalu belakang.)

Dan dia mengangguk lagi, mengabaikan lagi lawan bicara Off.

"Sí, gracias. ¿A qué hora empieza el concierto?" (Iya, terima kasih. Jam berapa konsernya dimulai?)

Dia tahu "Sí gracias", jadi dia menebak ada tiket untuk mereka, dan dia merasa senang.

"Perfecto, gracias—Brain, kita dapat tiket dan tempat duduk, tetapi kita perlu menunggu sebentar sampai nomor antrean kita dipanggil untuk menerima tiket fisiknya, tidak apa-apa?

Dan dia senang tebakannya benar. "Tidak apa-apa, aku dapat menunggu."

Mereka bisa dapat tiket dan tempat duduk saja sudah lebih dari luar biasa untuknya. Keduanya memutuskan untuk menunggu di tempat terdekat agar tidak kelewatan saat nomor antrean mereka dipanggil.

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now