It's In His Kiss 8/1

315 21 8
                                    

Sempurna.

Meski kata itu dalam berbagai perdebatan tidak akan pernah relevan dengan dunia ini, tetapi Off akan menggunakannya untuk menilai pengalaman luar biasa yang satu jam lalu dialaminya.

Pandangannya masih kabur, nafasnya belum cukup stabil, detak jantungnya masih belum kembali ke tempo normal, dan tubuhnya masih bermandikan keringat yang lambat laun bersublimasi bersama sisa-sisa gairah dan hasrat.

Ia kerja keras tadi, tetapi tubuhnya tidak lelah sama sekali. Sebaliknya, ia merasa begitu santai, ringan, bebas, dan lepas. Itulah mengapa ia tidak keberatan ditempeli bagai koala oleh tubuh di sebelahnya.

"Off, kau belum tidur?"

Off tersenyum memandang setengah dirinya. "Belum, Art. Apa aku membangunkanmu?"

Gun menggeleng. "Aku terbangun dengan sendirinya," katanya.

"Tidurlah lagi, kau pasti lelah. Aku membuatmu lelah, yah?"

"Tidak," jawab Gun. "Sedikit pegal, tetapi aku baik-baik saja, badanku terasa santai."

Dia digagahi habis-habisan, dan dia pegal sedikit. Well, tubuh kecil itu tidak dapat diragukan kekuatannya.

Off menyingkap poni Gun, mengecup tepat di kening. "Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Kau luar biasa, Brain."

Gun tersipu, tetapi dia berdesis. "Kau sudah mengatakan itu sejak tadi."

Off mengangguk. "Karena begitu adanya," tukasnya terbuka.

"Kau juga luar biasa," balas Gun memuji dengan jujur. "Sekarang aku paham kenapa kita laki-laki begitu mengagung-agungkan seks. Rasanya luar biasa, iya, kan, Off?" lanjutnya bertanya.

"Tak hanya laki-laki, Hope. Kita manusia mengagung-agungkan seks, kecuali kaum aseksual¹ tentu saja, mereka memandangnya berbeda," tutur Off sebagai jawaban.

Dan jawabannya masuk akal.

"Off..."

"Yes, Art?"

Gun melempar tatapan sayang. "Aku suka panggilan 'Art', itu mendekati namaku."

"Att..." Atthapan.

"Iya." Gun membenarkan.

Off memiringkan tubuhnya agar bisa lebih nyaman memandang wajah Gun. "Lebih suka mana dengan 'Brain'? Karena terakhir yang aku ingat, kau menyebut itu sebagai favoritmu."

Gun tersenyum manis. "Aku suka semua nama panggilan darimu, tetapi 'Brain' memang favoritku, dan sekarang aku punya 'Art' di urutan kedua. Kenapa tiba-tiba menambah panggilan khusus untukku?"

"Herbert bilang seni harus provokatif. Itu yang aku rasakan saat melihatmu. Terutama..." Off menarik selimut semakin tinggi. "...saat kau seperti ini." Ia mengintip ke dalam.

Gun yang masih merah semakin merah dibuatnya. "Kau mesum sekali!"

Off tertawa lepas, selepas tubuhnya. "Aku hanya menjawab pertanyaanmu dengan jujur, Love."

"Turunkan selimutnya, aku gerah."

"Tidak mau." Off menggeleng. "Aku tak mau dinding kamar ini, langit-langitnya, juga kandelir di atas mengintipmu."

Bibir Gun membuat bunyi decakan. "Kau cemburu pada benda mati?"

Off mengangguk. "Aku bisa saja cemburu pada udara yang tak kasat mata jika menyangkut tubuh indahmu, Art."

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now