Chapter 5

19.1K 976 17
                                    


WARNING !!: typo(s), ucapan kasar dan perbuatan yang tidak patut dicontoh bertebaran

Happy reading 😊

Perjalanan 7 menit ditempuh Hanna dan Ilham pagi ini dengan motor Ilham yang melaju santai.
Ilham hanya mengajak kakaknya untuk ke taman kompleks perumahan dekat rumah Hanna.

"Kenapa ke sini?" tanya Hanna yang sedikit tertinggal di belakang Ilham.
"Udaranya bagus," jawab Ilham seadanya. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku celana, ia berusaha melindungi tangannya dari hawa dingin pagi ini.

"Katanya kita akan lari pagi," ucap Hanna mengingatkan sembari merapatkan jaket hitam Ilham di tubuhnya.
"Siapa bilang?"
"Tadi... aku," ucap Hanna melirih. Sadar bahwa mereka memang tidak ada janji untuk lari pagi.
Hanna hanya bilang, 'Lari pagi sepertinya menarik.'
Dan Ilham membalas, 'Keluarlah.'
Jadi siapa yang akan berlari pagi, Hann?
"Benar juga, sih." Hanna bergumam sendiri. "Hh... terserahlah."

Hanna berlari kecil mengimbangi langkah Ilham dan menarik tangan kiri Ilham agar keluar dari saku celananya.
Ilham menoleh kaget, tapi detik berikutnya pria itu menahan senyumnya.
Hanna bergelayut di lengannya. Bahkan kepalanya bertopang di bahu Ilham.

"Duduk," perintah Ilham menunjuk bangku taman dengan dagunya.
"Jalan-jalan saja," pinta Hanna.
"Duduk, Anna," ucap Ilham tak terbantahkan.
"Kapan sikap bossy-mu itu berkurang?" gerutu Hanna sembari duduk dengan serampangan karena kesal.

Ilham pun ikut duduk di sebelahnya.
Ilham bukan tipe orang yang suka memerintah. Ia tak suka ikut campur atau masuk ke dalam urusan orang lain.
Tapi seorang Hanna Effendi adalah pengecualian. Ia tampak berbuat semaunya pada Hanna. Mengatur ini itu dan seperti merecoki hidupnya. Dengan senang hati pria ini memasukkan dirinya ke dalam segala urusan Hanna. Ilham juga tidak pernah terima mendapat penolakan dari Hanna. Tapi dalam beberapa kejadian, perintahnya memang tak dilaksanakan Hanna. Seperti saat Ilham menolak pernikahan Bisma dan Hanna.

Ilham menarik kepala Hanna ke pahanya. "Tidurlah," ucapnya lembut.
Hanna menatap Ilham bingung.
"Berapa jam kau tidur tadi malam?" Ilham mengusap surai coklat keemasan milik Hanna dengan tangan kanannya.
Dan tangan kirinya baru saja mengusap bawah mata Hanna yang berkantung.

Hanna menggigit bibir bawahnya.
Dua jam.
Yahh mungkin kurang dari dua jam.
Tapi ia tak sanggup mengatakannya.

"Kau tidur pagi?" tanya Ilham yang belum mendapat jawaban dari Hanna.
Hanna mengangguk.
"Lain kali tidak usah menunggunya pulang."
Hanna hanya bergumam sebagai jawaban. Entah iya atau tidak. Tapi mata gadis itu segera tertutup.

Ilham masih mengusap rambut Hanna agar kakaknya semakin nyaman.
Ilham menatap intens wajah damai Hanna. "Jika ada wanita lain sepertimu di dunia ini, maka aku akan menjadikannya pendampingku tanpa berpikir dua kali. Sayang sekali kau adalah kakakku, Anna." Ilham membatin.

"Kamu tidak berangkat kuliah?" tanya Hanna dengan mata tertutup. Sungguh, sentuhan tulus Ilham semakin menyeretnya pada kantuk.
"Ada kelas jam delapan nanti. Jam tujuh aku akan membangunkanmu."
Hanna mengangguk paham.
*
*
*
Setelah puas bergelung dengan kasur yang empuk, Bisma mulai mengais kesadarannya.
Tepat pukul enam pagi, pria itu terbangun.

Bisma duduk bersandar di headboard ranjang lalu mematikan AC di kamarnya.
Bicara soal AC, Bisma menoleh ke bawah. Tempat seorang gadis yang sudah berstatus sebagai istrinya tidur semalam.
Tidak ada.
Padahal Bisma sudah bersiap dengan senang hati akan membangunkan gadis itu dengan segayung air.

Bisma menguap lalu turun untuk siap-siap ke kantor.
*
*
*
Tak perlu waktu lama, Bisma kini sudah siap dengan setelan jas kerjanya.
Ia pergi dengan mobil merah kesayangannya tanpa menyentuh sarapan buatan Hanna walau ia tahu Hanna menyiapkannya.
Tak peduli bahwa ia belum melihat istrinya sejak bangun tadi, ia segera pergi dari rumah. Yah, karena itu tidak penting untuk Bisma. Jika wanita itu pergi, Bisma akan merasa sangat senang.

HURT (Sudah Terbit)✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora