Chapter-43

13K 704 57
                                    

"Seandainya Ilham memiliki perasaan lebih padamu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Biarkan saja."

"Apa?" Bisma mengernyit.

"Aku akan membiarkannya."

"Apa kau gila?" sindir Bisma tak suka.

Hanna menatap Bisma seperti bertanya 'maksudmu'.

"Kau akan membiarkan adikmu mencintai kakaknya?" Bisma berdiri. Mulai tak terima dengan jawaban enteng Hanna. "Apa jangan-jangan kau juga mencintainya?"

Hanna tak mengerti kenapa Bisma jadi seperti ini. Lagi-lagi Hanna mendapat tuduhan seperti itu. Tadi Reza sekarang Ilham. "Kenapa kamu marah?"

"Pertanyaan bodoh macam apa itu!? Tentu saja aku marah. Kamu membiarkan adikmu mencintaimu!"

Oh, ini keterlaluan menurut Hanna.
Bisma mengatakan dia gila dan bodoh, oke Hanna masih bisa menerimanya.
Tapi tuduhan Hanna mencintai pria lain membuat Hanna terhina. Apa Bisma memang menganggapnya serendah itu?

Hanna ikut berdiri. "Jika aku ditanya pria seperti apa yang ingin aku cintai, aku akan menjawab dengan yakin pria itu adalah Ilham. Bukan seperti Ilham. Kamu hanya bertanya seandainya, dan itu tidak terjadi lalu kamu marah. Di sini aku yang posisinya dicintai pria lain. Sedangkan kamu, kamu yang mencintai wanita lain. Bukan lagi seandainya kamu mencintai wanita lain. Dan sialnya wanita itu adalah saudaraku sendiri. Apa aku pernah memaksamu untuk melupakan Calista? Apa aku pernah memaksakan perasaanmu padaku? Itu karena aku tahu perasaan tidak bisa dipaksa. Apa aku harus memaksa Ilham membuang perasaannya 'seandainya' dia mencintaiku? Dan aku yakin Ilham cukup tahu diri untuk tidak memiliki perasaan itu!"

"Kau membelanya?" tanya Bisma sinis.

Astaga! Hanna heran kenapa Bisma sama sekali tak merasa bersalah?
Apa ucapannya tadi kurang pedas?
"Lalu apa aku harus membelamu? Orang yang selalu menyakitiku. Dan Ilham adalah orang yang selalu melindungiku darimu. Aku bahkan tak perlu berpikir untuk memutuskan akan membela siapa, Bisma!"

Bisma tak menjawab tapi sepertinya ia masih terlihat marah dengan jawaban Hanna.

"Cinta tidak sebercanda itu, Bis." Suara Hanna melirih. Ia mulai jengah menghadapi Bisma malam ini. "Dari awal pernikahan aku selalu berkata ya padamu. Aku berusaha melakukan apa pun yang kamu mau. Aku menuruti semua keinginanmu. Dan aku menerima semua perlakuanmu padaku. Bahkan dulu aku lebih pantas disebut sebagai budak daripada seorang istri untukmu."

"Hanna."

"Kamu pikir itu semua apa? Aku berusaha mencintaimu dari awal dan kamu selalu menuduhku mencintai pria lain! Bahkan adikku sendiri. Apa aku serendah itu di matamu? Tidak masalah jika kamu tidak bisa membalas perasaanku sekalipun, tapi tuduhanmu yang bukan hanya sekali tentang aku yang mencintai pria lain membuat aku merasa sangat terhina! Apa kamu memang tidak bisa mengerti apa alasanku selalu menurutimu? Aku mencoba berlaku seperti istri yang mematuhi setiap ucapan suaminya. Tapi kamu menganggap ini seperti cerita budak yang menuruti majikannya. Aku tak bisa lagi berpikir harus seperti apa aku menghadapimu, Bisma. Saat aku mengatakan kita 'cukup' tapi kamu malah menahanku. Kenapa kamu tidak bisa membuka matamu sedikit saja dan melihat aku dari sisi yang berbeda? Apa aku harus memberitahumu setiap saat bahwa wanita menjijikkan ini juga punya perasaan?"

"Hanna, hentikan!"

"Kenapa? Kenapa aku harus menghentikannya? Aku berharap bisa mengungkapkan semua yang aku rasakan selama ini padamu. Kamu yang mengajak bicara jadi biarkan aku bicara. Kau pikir menjadi pria egois itu keren? Huh? Kenapa kita tidak membuat keputusan telak saja. Bercerai misalnya. Tidak perlu proyek seperti ini. Tidak perlu ada perbaikan hubungan. Semakin hari aku semakin sadar bahwa kita memang tidak bertakdir, Bisma. Tapi kita malah memaksakan hal ini." Napas Hanna memburu karena emosi. "Aku tak tahu seberapa sakit kamu selama bersamaku. Tapi sungguh, aku tidak pernah mempunyai niat untuk menyakitimu. Aku ingin kamu bahagia karena aku mencintaimu!"

"Kenapa kau tiba-tiba membahasnya?!" bentak Bisma.

"Kau marah? Kenapa kau harus marah? Apa kau masih berhak untuk memarahiku?!"

"Kau istriku dan aku berhak marah karena kelancanganmu!"

"Kau mencintaiku?"

"tentu saja!"

"Kau benar-benar mencintaiku?"

"Ya! Aku sangat mencintaimu!"

Hanna menatap Bisma dengan amarah yang siap ia luapkan. Kau bohong, brengsek! "Apa yang aku takutkan saat menjadi istrimu? Aku tidak berani mengambil tindakan untuk berhenti mencintaimu. Karena dari dulu aku sudah bertekad akan mengabdi dan mencintai suamiku dengan tulus. Seluruh hidupku akan kuabdikan hanya untuknya. Aku tidak tahu jika akan memiliki suami sepertimu. Aku ingin tidak menyesal tapi kenyataannya aku menyesali pernikahan ini. Aku tahu perasaan tidak bisa dipaksa, tapi ketika aku resmi menjadi istrimu aku memaksa diriku untuk mencintaimu. Dan sekarang aku sangat mencintaimu. Aku bodoh, aku tahu itu. Maka dari itu aku selalu memintamu untuk melepasku agar aku berani mulai menghilangkan perasaan bodoh ini." Hanna mengusap air matanya yang meleleh di pipi. "Saat kita melakukannya dulu kamu mengatakan aku murahan karena melakukannya dengan orang yang tidak kucintai. Tapi yang Ibuku bilang bukan begitu. Ketika seorang wanita terikat dengan seorang pria, maka wanita itu milik si pria seutuhnya. Aku tidak tahu bagian mana yang kamu sebut murahan ketika aku memberikan kehormatanku pada suamiku. Dan pada kenyataannya aku sudah mencintaimu saat itu."

Bisma menarik Hanna ke pelukannya. Ia memeluk Hanna begitu erat.
Tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk menebus semua kesalahannya dulu pada Hanna. Rasa marahnya melebur saat Hanna mengoyak ingatan mereka di masa lalu. Ingatan yang begitu pahit dan pasti sangat sulit Hanna lalui sendirian.

Hanna tak membalas pelukan Bisma. Ia masih sakit hati karena membuka luka lamanya yang sudah berusaha Hanna kubur. "Aku berusaha sangat keras untuk melupakan semuanya. Tapi tidak bisa, Bisma. Aku ingin menjadi wanita baik dan pemaaf. Tapi aku tidak bisa. Aku tak tahu kenapa ini terasa sangat menyakitkan. Ntah karena terlalu sering terulang atau karena aku mencintaimu. Mungkin keduanya."

"Cukup, Hanna. Kendalikan dirimu!"

"Ya! bagaimana bisa aku begitu jinak padamu, huh!? Kau selalu menyakitiku tapi aku tidak bisa melawanmu! Memangnya-"

"Kubilang hentikan!!" bentak Bisma yang masih memeluk Hanna.

"Kamu sangat egois memikirkan dirimu sendiri. Kau bersikap baik hanya jika sedang ingin. Kau bukan pria yang konsisten, kau tahu!?" Hanna memukuli punggung Bisma dengan lemah. Ia masih terisak dalam pelukan Bisma.

"Aku tahu," jawab Bisma pelan.

"Saat kau mengatakan aku menjijikkan dan murahan kau menyentuhku. Saat aku mengatakan aku mencintaimu kamu menolakku. Kamu bilang kamu tidak bisa mencintaiku karena kamu akan mencintai Calista hingga akhir. Aku menerimanya tapi sekarang dengan alasan cinta kamu menahanku. Kamu membuatku sangat sulit membuat keputusan. Saat aku mengatakan tidak ingin mendengar kata maaf darimu kamu dengan angkuh dan tanpa rasa bersalah mengatakan tidak akan pernah meminta maaf padaku. Tapi sekarang hampir setiap saat kamu mengucapkannya karena setiap saat juga kamu melakukan kesalahan. Apa kamu sadar kalau kamu bukan pria yang konsisten dengan ucapannya? Perbuatanmu juga tidak konsisten! Kamu bersikap baik padaku hanya saat kamu ingin. Aku tidak mau durhaka pada suamiku. tapi kamu sudah keterlaluan. Kamu keterlaluan!"

"Aku tahu."

"Apa yang kau tahu?! Apa sebenarnya maumu!? kau yang lebih membuatku gila Bisma!!" Hanna berteriak di akhir kalimatnya.

"Maafkan aku."

"Jangan pernah mengatakan maaf kalau akhirnya kamu akan mengulangi kesalahan lagi."

Selanjutnya ada di dreame dengan nama akun kiranoviani

HURT (Sudah Terbit)✔Where stories live. Discover now