Chapter 8

15.1K 761 3
                                    

WARNING!!: typo(s), ucapan kasar dan perbuatan yang tidak patut dicontoh bertebaran

Happy Reading 😊

Hanna menangis sembari berlari keluar dari rumah keluarga Karisma.
Ia ingin lepas dari ini. Benar-benar lepas sekarang juga. Ia tidak tahan dengan sikap semena-mena Bisma padanya.

Hanna mengusap air matanya kasar dan semakin berlari menuju gerbang.

"Nona, apa yang anda lakukan di sini?" tanya satpam yang baru keluar dari posnya karena melihat Hanna berlari dengan tidak beraturan.

"Hks! Tolong buka gerbangnya." Hanna kembali terisak dengan menutup mulutnya. Bahunya naik turun tak beraturan. Napasnya tersengal karena tangisnya bercampur dengan lari.

"Tapi, Nona, ini sudah sangat malam."

"Tolong." Hanna berjongkok, menenggelamkan wajah menyedihkannya di antara lututnya. Ia berharap keinginannya dipenuhi.
"Sebaiknya..."
"Kenapa tidak ada yang bisa mengerti Hanna!?" Hanna terisak frustrasi dan kembali berdiri. "Tolong, Pak, buka pintunya." Hanna menunjuk pintu gerbang dengan tangan kanannya.

Satpam itu luluh. Ia membuka pintu gerbang dengan ragu.
"Terima kasih," ucap Hanna dan langsung berlari keluar dari pintu yang baru sedikit dibuka.
Hanna terus berlari tanpa fokus yang tentu.
*
*
*
Setelah berdiam diri cukup lama, Bisma menyambar kunci mobilnya di atas nakas dan berlari keluar dari kamar.

"Hanna," panggil Bisma berharap Hanna memang tidak sampai keluar dari rumah.
Tapi Bisma segera keluar dari rumah saat yakin Hanna memang pergi dari rumah. Bisma memasuki mobilnya dan menyalakan klakson sebelum sampai di gerbang.

Dengan sigap satpam yang berjaga membukakan pintu gerbang untuk Bisma. Bisma berhenti sebentar dan membuka kaca mobilnya. "Hanna keluar?"

"Iya tuan, Nona Hanna keluar dengan menangis."
"Menangis?" Kening Bisma mengerut kecil. "Katakan pada Ayah dan Ibu aku pulang malam ini bersama Hanna. Jangan bilang kami pergi secara terpisah."
"Baik, Tuan."

Bisma segera keluar dari rumah orang tuanya.
*
*
*
Tanpa disadari Hanna dan Bisma, orang tua Bisma melihat mereka pergi secara terpisah dari balkon kamar mereka.
Mereka melihat Hanna menangis dan berlari keluar gerbang lalu cukup lama Bisma juga ikut pergi dengan mobilnya dengan arah berlawanan dengan Hanna. Tentu saja Hanna yang salah jalan, tapi mereka membiarkannya. Mereka membiarkan Hanna menenangkan dirinya.

"Apa kita masih harus berdiam diri seperti ini?" Casma menatap gerbang yang baru ditutup dengan prihatin.
"Bisma harus mendapatkan pendamping yang tepat."
"Dengan mengorbankan gadis sebaik Hanna? Ayah, kita sangat kejam."

David mengembuskan napasnya berat. "Ayah yakin Bisma bisa lebih baik jika bersama Hanna. Bisma akan berubah, Bu."

"Sampai kapan? Sampai kapan kita harus membiarkan Hanna berkorban untuk putra kita? Usia pernikahan mereka belum genap seminggu tapi Hanna sudah sangat tertekan. Ibu tidak tega melihatnya." Casma mulai menangis pelan. Menangisi putranya yang menyakiti gadis sebaik Hanna. Bisma menyia-nyiakan Hanna. "Luka fisik Hanna adalah bukti nyata bagaimana sikap Bisma terhadap Hanna. Dan Ibu tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan perasaan Hanna. Ia tidak bahagia bersama Bisma, Ayah. Begitupun Bisma."

"Apa Ibu mau Bisma tetap bersama Calista? Ibu sudah tahu bagaimana latar belakang Calista. Apa yang ia lakukan di belakang Bisma, Ibu juga sudah tahu, kan?" David merangkul istrinya agar lebih tenang.
"T-tapi mengorbankan kebahagiaan seorang gadis yang tidak bersalah bukan jalan yang tepat, Ayah. Ibu sangat menyayangi Hanna. Dia benar-benar tulus. Ayah lihat kan, dia terus saja menutupi kesalahan putra kita meskipun Bisma bersikap buruk padanya. Jika memisahkan mereka adalah jalan terbaik, lakukan, Ayah. Aku mohon."

HURT (Sudah Terbit)✔Where stories live. Discover now