Chapter 9

18.8K 889 6
                                    

WARNING !!: typo(s), ucapan kasar dan perbuatan yang tidak patut dicontoh bertebaran

Happy reading 😊

Mata mengantuk itu kini kembali cerah saat baru saja menikmati secangkir kopi yang ia pesan.
"Pantas saja kamu tidak ingat alamat rumah, ternyata kamu baru kembali, ya." Marissa tersenyum menatap Hanna yang baru saja menceritakan kenapa ia bisa sampai lupa alamat rumahnya sendiri.

"Iya, Bibi. Dari bandara saja aku dijemput Ilham. Dan 3 minggu ini aku sangat jarang keluar rumah. Paling ke taman kompleks sama Ilham. 6 tahun tidak pulang ternyata sangat lama sampai-sampai semuanya sudah berubah." Hanna tertawa kecil. Mentertawai dirinya sendiri yang pasti tampak konyol saat ini.
Ia seperti anak kecil saja yang hilang jika pergi sendiri.

Obrolan mereka berlangsung hangat hingga sebuah tangan menarik lengan Hanna untuk berdiri dan membalik tubuhnya. Detik berikutnya tubuh Hanna sudah berada di pelukan orang itu.
Hanna siap mendorong pria itu karena kaget tapi segera urung karena tahu siapa yang sedang memeluknya.

Ilham mengeratkan pelukannya ketika Hanna membalas pelukan Ilham.
"Bodoh," bisik Ilham, "kapan kamu akan berhenti bersikap bodoh seperti ini, Anna!"

Hanna mendorong pelan dada Ilham agar melepaskan pelukannya lalu menatap jengkel adiknya itu. "Aku kan-"
"Tidak ada pembelaan," ucap Ilham memotong dengan geram, "diam. Aku ingin mengomelimu! Dasar ceroboh. Ini kota besar, Ann. Bagaimana bisa kamu sampai di sini tanpa ponsel juga dompet, huh!? Jakarta sekarang sudah sangat berbeda dengan Jakarta 6 tahun lalu!" omel Ilham.

"Aku sedang-"

"Biarkan aku puas memarahimu dulu, bodoh!" Ilham menyentil dahi Hanna kesal.

Hanna mendengus dengan kaki yang dihentakkan ke lantai dua kali tanda tidak terima akan ulah adiknya itu. "Adik kurang ajar! Kamu menyuruhku diam tapi memberiku pertanyaan!"
"Kapan?"
"Tadi." Hanna mencibir lalu melirik ke sana-sini karena mereka sudah menjadi pusat perhatian sejak tadi.

Banyak pengunjung yang mengamati mereka.
Apalagi ini adalah hari Minggu.
Cafe yang didominasi remaja itu semakin ramai saat pagi.
Para gadis di sana menatap Ilham dengan pandangan memuja, itu yang membuat Hanna sedikit tidak nyaman. Padahal Ilham biasa saja. Ia juga tidak pernah berniat menggoda anak orang di sana. Fokusnya hanya satu, Hanna. Sudah.
Ilham memang sering membuat gadis-gadis terpikat walau hanya dengan berjalan santai. Wajah datarnya menjadi pesona tersendiri dalam diri Ilham. Apalagi saat ini Ilham mengenakan kemeja merah berlengan panjang dan celana pendek untuk tidur. Ditambah rambutnya yang acak-acakan dan wajah panik juga mengantuknya saat masuk ke cafe tadi.
Ilham terlihat luar biasa tampan pas dengan usianya. Siapa yang bisa membantah pesona sang pangeran dingin nan cerdas ini?

Dulu, Hanna sering jengkel ketika Ilham memaksa untuk mengantarnya ke sekolah. Teman-teman SMA-nya banyak yang menyukai bocah SMP seperti Ilham saat itu walau Ilham tak mengacuhkan mereka. Dan Hanna sering kesal jika ada temannya yang bertanya tentang Ilham padanya.

Ilham melipat kedua tangannya. "Lain kali jangan seperti ini. Kamu membuatku khawatir, Ann. Kamu jalan kaki dari rumah suamimu?" tanya Ilham yang melihat kaki Hanna tak baik-baik saja dan sedikit kotor.
"Dari rumah mertuaku."
"Pantas. Ini sangat jauh dari rumah suamimu. Kenapa sok ingin pergi sendiri padahal tidak tahu jalan, huh!?"

"Aku tadi sedang marah sama Bisma. Jadi aku tidak memikirkan apa pun lagi. Aku juga lupa di mana ponselku. Orang marah kan memang tidak terkendali." Hanna membela diri.
"Kamu marah pada pria itu tapi membahayakan diri sendiri! Benarkah kamu di Australia berkuliah?"
"Yak!"

"Kalau kamu marah pada suamimu, kau bisa mencekiknya atau memberinya racun! Bukan-"
"Ilham." Hanna memotong tak suka dengan ucapan Ilham baru saja. "Bisakah kamu menyebut namanya? Kupingku panas mendengarmu selalu menyebut Bisma dengan suamimu atau pria itu! Dia kakak iparmu, hey!"

HURT (Sudah Terbit)✔Where stories live. Discover now