Chapter 17

16.5K 841 16
                                    

Happy reading 😊

"Saya minta anda melepaskan Hanna. saya harap anda tidak keberatan," ucap Hendra penuh ketegasan.
"Segera. Aku akan menceraikan Hanna. Segera." Bisma membalas ucapan Hendra tak kalah tegas.

Tangan Hendra terkepal mendengar jawaban Bisma. Demi Tuhan, Ia tidak akan membiarkan Bisma kembali bersama Calista. Tidak akan!
Bisma melepaskan Hanna tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Bukankah seharusnya Bisma -setidaknya- meminta maaf dulu karena perlakuannya selama ini pada Hanna?
Cih, Ia seperti bajingan tanpa rasa dosa.

Hendra berdiri. "Pihak Hanna yang akan mengajukan gugatan agar bisa lebih cepat selesai."
"Tidak, aku yang akan menceraikan Hanna." Si keras kepala ini benar-benar mempunyai harga diri yang sangat tinggi. Bahkan Ia tidak menatap lawan bicaranya.
"jika Hanna yang mengajukan gugatan, ini tidak perlu ada pembahasan harta gono gini jadi bisa lebih cepat bukan?" Hendra berucap sinis.

Bisma kali ini mendongak. Menatap Hendra yang berdiri di hadapannya. "Aku akan mulai mengurusnya besok"
final! Bisma tak akan merubah keputusannya.
Hendra yang sudah muak pada pria ini segera berbalik dan mengajak Nadine pergi.

Mereka bertiga terkejut melihat Hanna berdiri kaku disana dengan lelehan air mata di wajahnya yang tampak pucat.
Isakannya terdengar samar karena sekuat mungkin Hanna menahannya.

Nadine berjalan cepat menghampiri Hanna dan membawa gadis itu berbalik.

"Hanna tetap di sini" suara tegas Bisma kembali terdengar. Membuat Nadine dan Hanna menghentikan langkahnya.
Hendra tak peduli, Ia berjalan ke arah Hanna dan menarik putrinya untuk pergi.

"Hanna masih istriku" kali ini Bisma berdiri.
Menatap punggung ketiga orang yang berhenti sebelum keluar dari ruang tamu.
"apa maumu!?" Hendra bertanya dengan nada marah tanpa membalik tubuhnya.
"Calista" Bisma berucap santai, membuat Hanna semakin lemas di tempatnya. Andai Ia tak sadar ada dimana, mungkin Ia sudah menjatuhkan dirinya. Bertumpu sepenuhnya pada tanah yang masih sudi menopang bebannya. Atau terjun bebas dari ketinggian yang akan membuatnya minimal amnesia, mungkin mati lebih baik.
Hanna lebih memilih mati sekarang daripada merasakan hatinya ditikam dengan keji dan bertubi seperti ini. Bisma seperti mengoyak benda sensitif itu dengan pisau tumpulnya berkali-kali. Dada Hanna semakin sesak disetiap detik yang berlalu disana. Tapi Ia tak akan membiarkan dirinya mati konyol hanya karena cinta.
'kau tidak mencintainya, Hanna!' suara batinnya memaki. Mengoloknya tanpa belas kasihan sedikitpun. Dan mungkin sisi lain dirinya sedang mentertawakan kebodohannya saat ini.
Mencintai orang yang menyakitimu? apa yang kau cintai dari pria brengsek seperti suamimu itu Hanna??

"Jangan pernah berharap kau bisa menyentuh keluargaku lagi tuan Bisma Karisma! Hanna dan Calista terlalu berharga untuk pecundang sepertimu." Hendra kembali melangkahkan kakinya dengan lengan yang menggenggam pergelangan tangan Hanna dengan sedikit kuat karena emosinya.

Hanna menahan Ayahnya dan perlahan melepaskan tangan kokoh itu dari pergelangan tangannya.
Hendra menatap khawatir pada putrinya dan menggeleng seakan tahu apa yang sedang Hanna pikirkan.

"Hanna... tetap tinggal, Ayah." Gadis itu berucap parau. Matanya sembab. Jelas sekali Ia sedang hancur. Hancur berkeping-keping bersama perasaan bodohnya.
"Hanna."
"Hanna dan dia butuh waktu untuk bicara" menyebut namanya saja terasa sulit lagi bagi Hanna. Kebenciannya semakin mengakar kokoh di dalam hati, menutupi perasaan cinta yang baru-baru ini Hanna sadari.
"tapi kamu belum sehat benar sayang" Hendra mencoba membujuk.
"Hanna akan baik-baik saja. Hanna janji"
Hendra menghela napasnya lalu mengangguk pasrah "baiklah, jaga diri baik-baik. hubungi Ayah kapanpun yang kamu ingin" Hendra menekankan ucapannya. Berharap Hanna memang akan segera menghubunginya hingga ia bisa bernafas lega karena sudah menjauhkan Hanna dari pria kejam seperti Bisma.

Hanna memberikan senyumnya lalu memeluk sang Ayah "Ayah langsung istirahat ya"
"Ayah menyayangimu" Hendra mencium puncak kepala Hanna dengan sayang.
"aku juga menyayangi Ayah" Hanna melepaskan pelukannya. Ia ingin sekali menangis srkencang mungkin sekarang, tapi Ia tak ingin membuat Hendra semakin khawatir.

Hanna menatap Nadine yang berkaca-kaca melihat ke arahnya "tidak apa-apa ma, Hanna titip Ayah" Hanna memberikan senyumnya lagi "mama juga istirahat setelah sampai di rumah"

Hendra tak sanggup berlama lagi ada disana, Ia segera menuntun istrinya untuk pergi dari rumah itu.

Hanna mengikutkan pandangannya pada Hendra dan Nadine hingga punggung keduanya sudah tak terlihat.

"duduklah" suara Bisma kembali memenuhi ruangan yang terasa mengerikan bagi Hanna itu.

Hanna mengusap air matanya sebersih yang Ia bisa lalu berbalik menatap Bisma yang berjarak 8 meter darinya "apa" ucapnya pelan bertanya tapi tanpa nada bertanya.
"kubilang duduk!" ucap Bisma lebih tegas.
"kau punya alkohol?" tanya Hanna santai.
Bisma mengernyit "kamu benar-benar tuli sekarang? duduk. Hanna"
"haruskah?"
"melawan huh!?"
"lupakan soal omong kosong yang akan kau ucapkan. mari merayakan perpisahan kita"
"kau gila?!" Bisma membentak dengan berdiri secara refleks.
"terimakasih telah menceraikanku. aku merasa berhutang padamu"

Bisma menghembuskan napasnya kasar "aku menyuruhmu tetap disini malam ini, maksudku sampai kita resmi bercerai karena aku merasa ada banyak hal yang harus kita bicarakan"
"eum" Hanna bergumam, masih santai dan berjalan mendekati Bisma dan duduk di sofa berhadapan dengan Bisma "aku akan mendengarmu" ucapnya seperti tanpa beban. Tapi di dalam sana, Hanna benar-benar kacau. Ia remuk saat itu dan berusaha terlihat utuh dari luar. Dan itu lebih menyakitkan.

"bisakah kita berpisah dengan baik-baik?"
"tentu" Hanna menjawab cepat "apa yang kamu inginkan?"
"menurutmu?"
Hanna tertawa hambar "Calista"
"yah"

Tangan Hanna terkepal kuat mendengarnya. Sungguh, mati-matian Ia berusaha tidak menggerakkan tangannya untuk memukul dadanya sendiri yang terasa begitu sesak. Tuhan, Hanna ingin Engkau menyediakan oksigen lebih banyak lagi di tempatnya sekarang.
"sudah kuduga" jawab Hanna akhirnya. Gadis itu tertawa kecil, hampir menangis dalam tawanya "seharusnya kamu bisa menjaga sikap, Bisma. Kamu pikir dengan bersikap seperti tadi pada orang tuaku akan membuatmu mudah kembali dengan Calista? aku berusaha menutupi isi rumah ini dari orang tuamu, seharusnya kamu juga menjaga perasaan orang tuaku. Hanna dan Bisma tinggal di rumah ini sebagai suami istri dan di rumah ini dipenuhi foto Calista dan Bisma. Oh lucu sekali. aku merasa membunuh Ayah dan mamaku baru saja. apa kau gila?!!" Hanna berteriak di akhir kalimatnya. Emosinya sudah ada di ujung dan siap untuk diluapkan. Tapi itu belum semuanya. Hanna ingin memaki bahkan memukul pria di hadapannya ini berkali-kali.
Tapi meledak-ledak bukanlah gayanya ketika marah.
"aku harus meminta maaf?" Hanna menyindir begitu telak melihat Bisma yang hanya diam. Bahkan Bisma tak menatap Hanna.

"Aku bisa membunuhmu sekarang jika ingin," ucap Bisma dingin.
"Kau pikir aku takut?" tantang Hanna sama sekali tak gentar.

Bisma mendekati Hanna dengan cepat dan menghempaskan gadis itu ke sofa dan Bisma langsung menindihnya.
Tangan kanan Bisma bersarang sempurna di leher Hanna. Menekannya tanpa ampun.

Hanna menatap Bisma datar. Walau gadis itu merasa dadanya benar-benar sesak dan napasnya terhenti, tangannya tetap diam tanpa perlawanan.

"Kau menyesal?" Bisma menyeringai melihat wajah Hanna semakin memerah. Mata gadis itu berair.
Tapi tatapan Hanna tetap datar. Ia tidak takut jika harus mati sekarang. Mata itu semakin sayu siap tertutup.

Mati di tangan orang yang kau cintai?

HURT (Sudah Terbit)✔Where stories live. Discover now