Chapter 20

18.3K 778 25
                                    

Happy reading 😊😀

"Aku tidak bisa, Ilham."
"Rahma."
Rahma menggeleng dan mulai melangkah hingga memunggungi Ilham.
"Hanya sekali bertemu mamaku."

"Aku tidak bisa berpura-pura mencintaimu. Sedangkan aku benar-benar mencintaimu. Maaf, tapi aku bukan orang kejam yang bisa membohongi perasaanku sendiri."

Tangan Ilham di pergelangan tangan Rahma terlepas perlahan. Ia menatap punggung Rahma datar.

Ilham berdiri dan menyentuh bahu gadis itu. "Kurasa sejak awal kamu tahu kalau aku tidak bisa, Rahma."
"Aku tahu." Rahma mengangguk dan menoleh ke samping untuk menatap Ilham. "Tapi berpura-pura mencintaimu akan membuatku lebih sakit lagi atas perasaan tak terbalas ini. Jadi, aku hanya ingin kita berteman. Berteman dengan wajar seperti kemarin. Anggap saja kamu tidak pernah mendengar ini dariku."

"Aku merasa bersalah padamu," ucap Ilham serius.
"Tidak." Rahma menggeleng pelan dengan senyum di bibirnya. "Perasaan memang tidak bisa dipaksa, Ilham. Seperti aku yang tidak bisa memaksa diriku sendiri untuk berhenti mencintaimu. Dan kamu yang tidak bisa memaksa dirimu membalas perasaanku. Ini akan baik-baik saja. Jangan berhenti berteman denganku, hm?"

Ilham ikut tersenyum. "Kau gadis yang baik. Dapatkan pria yang lebih segalanya dariku Rahma."

Ilham melihat jam tangannya. "Pergantian jam kedua. Maaf membuatmu meningggalkan kelas pertama. Aku pergi dulu."

"Ilham," panggil Rahma saat Ilham mulai berbalik. Ilham kembali menoleh.
"Kamu tidak masuk ke kelas?"
"Aku sedang ingin ke suatu tempat. Sampai jumpa." Ilham melambai sekilas pada Rahma dan benar-benar pergi.

Rahma mendongak menatap langit yang cerah pagi itu. "Kamu mencintai Hanna tanpa sadar, Ilham. Kamu terlalu bergantung padanya."
*
*
*
Tepat saat Hanna menyelesaikan sarapannya, Bisma keluar dari kamar mereka.
Hanna berdiri untuk memberesi piringnya.

Bisma menatap meja makan yang sudah tersedia sarapannya. "Kamu memasak lagi untukku?" tanya Bisma.
"Tinggalkan saja kalau tidak suka. Aku akan membuangnya," jawab Hanna tanpa menatap Bisma.

Saat gadis itu akan pergi ke dapur, Bisma menahan lengannya.
Hanna memilih hanya menunggu apa yang akan Bisma katakan.
"Maaf soal ucapanku kemarin pagi."
Hanna mengangguk dan ingin kembali melangkah tapi Bisma tetap menahannya.
"Hanna."

Hanna membalik tubuhnya untuk berhadapan dengan Bisma. Wanita itu tersenyum kecil. "Hal pertama dan utama yang akan kulakukan sekarang adalah, menganggap kita hanya 2 manusia yang diharuskan tinggal bersama. Sudah. Hanya itu. Jadi apa pun yang akan kau ucapkan atau apa pun yang kau lakukan, aku tidak akan peduli lagi, Bisma Karisma. Satu lagi, jangan pernah mengucapkan kata maaf padaku." Hanna melepaskan tangan Bisma dari bahunya dan ia segera berlalu ke dapur.

Bisma terdiam cukup lama di ruang makan hingga ia memutuskan untuk menyusul Hanna.
"Aku kan sudah minta maaf." Kalimat protes Bisma yang tadi cenderung diabaikan Hanna itu memenuhi dapur. Bisma pikir dengan ucapan maafnya yang entah tulus atau tidak itu akan membalikkan keadaan dengan sekejap?

Tapi sungguh, Bisma sangat kesal diabaikan seperti ini.

Hanna membuka kulkas dan mengambil beberapa buah segar ke ke ranjang buah kecil di tangannya. "Apa kata maafmu bisa menghapus semua yang terjadi sebelumnya?" Hanna bertanya tenang sembari mencuci buah-buahan. "Kata maafmu membuat kalimat kotormu hilang dari pikiranku?" Lanjut Hanna masih sangat tenang tanpa menatap Bisma. Ia mengupas santai buahnya dan memunggungi suaminya. "Kata maafmu bisa mengembalikan kehormatanku? Seberapa besar kata maafmu mempengaruhi perasaan orang tuaku saat ini? Apa yang bisa diubah dari hubungan kita dengan ucapan maaf darimu?" Hanna akhirnya berbalik dan menatap Bisma yang berdiri mematung di hadapannya sekarang. Hanna tersenyum. Membuang tampang kalemnya tadi yang seperti tanpa beban dengan wajah bak malaikat. Ia tersenyum. "Aku hanya bercanda." Hanna tertawa kecil akhirnya. "Jangan khawatir, aku kan sudah bilang aku takkan peduli lagi dengan ini semua. Ucapanmu, perbuatanmu, itu bukan urusanku sejak awal. Kita jalani hidup kita masing-masing Bisma. Aku dan kamu sama-sama ingin bahagia, kan?" Hanna masih mempertahankan senyumnya. Menutupi luka menganga d idalam hatinya saat ini.

"Kau..." Bisma tampak kesal sekarang. "Aku tetap tidak akan menceraikanmu sekarang!"
Hanna mengangguk santai. "Kamu terlalu sering mengucapkan kata cerai padaku. Kuanggap kita sudah bercerai sekarang. Kamu akan telat ke kantor jika terus berada di sini. Hati-hati di jalan." Sebelum kembali membalik tubuhnya, Hanna menyempatkan diri tersenyum semakin lebar pada Bisma.

Bisma mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia menatap punggung Hanna yang kembali sibuk dengan buahnya.
Bisma pergi dari dapur setelah merasa sudah tak ada yang bisa mereka bicarakan lagi.
Suara langkah yang menjauh perlahan membuat bahu Hanna bergerak naik turun tak beraturan.

Hanna melepaskan pisau di tangannya. Ia merosot ke lantai dan bersandar di kaki meja dapur.
Hanna memukul dadanya sendiri dengan kuat. Isakannya kembali mengalun pilu. Apapun yang Hanna lakukan untuk melindungi dirinya, akan berakhir meremukkannya tanpa batas. Tanpa memandang seberapa sulit Hanna membangun pertahanannya. Menghancurkan Hanna yang sebelumnya memang sudah tak utuh.

"Tuhan, dari semua yang terjadi aku hanya sangat menyesal akan satu hal. Saat aku sadar aku mulai mencintainya."

Sesakit apa ia nanti, Hanna sudah memperkirakannya.
Jika diberi satu permintaan yang pasti terkabul, Hanna hanya akan meminta untuk menghapus Bisma Karisma dari segala sudut hidupnya.
*
*
*
Ini yang Hanna benci. Melihat suaminya menatap sendu foto prewedding Bisma dan Calista yang terpajang angkuh di ruang keluarga.

Waktu menunjukkan pukul 7 malam. Suara mobil Bisma sudah terdengar sekitar 15 menit lalu tapi Hanna tak kunjung melihat suaminya masuk ke dalam kamar.
Jadi Hanna memutuskan untuk melihat keluar.

Disinilah mereka sekarang.
Di ruang keluarga dengan Bisma yang berada tak jauh di bawah foto preweddingnya bersama Calista dan Hanna yang berada di ambang pintu ruangan itu.

Bukan, bukan fotonya yang Hanna benci. Tapi dirinya.
Hanna benci dirinya yang akhir-akhir ini terlalu larut dalam ketulusan Bisma dengan cara pria itu menatap foto yang sama setiap harinya.
Tepat 2 minggu lalu, Hanna melihat Bisma berdiri cukup lama di tempat yang sama dengan objek pengamatan yang sama sebelum berangkat ke kantor.
Ternyata itu sudah menjadi kebiasaan Bisma.
Bukan hanya saat akan berangkat ke kantor, pria itu ada disini dengan kegiatan yang sama. Bahkan saat baru pulang dari kantor atau dari manapun sampai di hari libur Hanna melihat Bisma 6 kali ada di tempatnya itu.

Lihatlah tatapan sendu dan penuh harap pria itu seperti saat ini. Begitu terlihat tulus bahkan terasa oleh siapapun yang melihatnya.
Termasuk Hanna. Hanna merasakan ketulusan cinta Bisma untuk Calista jika sedang seperti ini. Sangat beda ketika Bisma menatapnya.
Dan perlahan Hanna tersentuh oleh cara pria itu menatap foto preweddingnya bersama Calista.
Bisma benar-benar mencintai Calista.
Hanna mengakui dirinya begitu bodoh, karena bisa jatuh hati pada Bisma dengan hal sepele seperti ini. Tapi inilah dia sekarang. Seorang istri yang mencintai suaminya karena sebuah foto.

Ayolah, siapa yang tidak cemburu dan sakit hati melihat orang yang ia cintai menatap benda mati dengan sedalam itu.
Apa perlu diperjelas jika benda mati itu adalah foto bahagia suaminya bersama wanita lain?
Wanita dengan status saudaranya.
Hanna berbalik, meningggalkan Bisma bersama lamunannya yang telah membelah masa lalu.

Hanna memberesi meja makan yang tadi Ia pikir akan ada perubahan dari Bisma dan mau menyantap masakan Hanna, tapi melihat apa yang sedang suaminya lakukan sekarang membuat Hanna harus kembali menelan pil pahit.

Chapter 21 bisa dipinang di bukunya atau lari ke Dreame dengan nama akun kiranoviani yes 😚

Promo buku Hurt bisa dicek bagian 100 di judul Penikmat Takdir.

HURT (Sudah Terbit)✔Where stories live. Discover now