9. Perfeksionis

638 172 37
                                    

"Aduh, kok paragraf ini rasanya kurang greget? Yang ini juga, padahal tadi sudah kubaca dan kurevisi dua puluh kali. Eh, kok ceritaku cringe gini, sih? Nanti pembaca malah mikir aneh-aneh... Ah, pokoknya harus ku-unpub dan kurevisi lagi!"

Saat aku masih menulis fanfiksi The Stalker (fanfiksi pertamaku), aku selalu dihantui rasa cemas setiap kali mau publish chapter baru. Kecemasan ini bahkan bisa dirasakan dari salah satu author note yang kutulis di cerita itu. Ini dia screenshot-nya:

Alay bener, 'kan, aku? 😂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Alay bener, 'kan, aku? 😂

Kalau aku ingat diriku yang dulu rasanya pingin kumarahin habis-habisan, kenapa aku sampai kayak gitu demi cerita? Bahkan sampai biasanya kupaksain gak tidur sebelum jam 2 malam. Pokoknya berat banget waktu bikin The Stalker, setiap hari dihantui kecemasan kalau reader bakal kabur saat kualitas ceritaku menurun 😢

Sifat perfeksionisku muncul karena ada dorongan rasa keraguan, takut, dan cemas. Aku selalu overthinking dengan respon pembaca tentang kualitas ceritaku. Aku bolak-balik bikin chapter, ubah paragraf, benerin typo, baca berulang-ulang, tapi itu semua tetap tidak menghilangkan kecemasanku.

Lalu, apa efeknya?

Ketika cerita tersebut kupublikasikan (aku bahkan baru kelar menyiapkan semuanya dalam tiga minggu), timbul ambisi kuat untuk menerima banyak respon positif pembaca, dan ketika yang kudapatkan ternyata tak sesuai ekspektasi, aku terpuruk lagi.

Ada istilah usaha tidak akan mengkhianati hasil. Ini memang benar. Pasti ada perbedaan antara usaha yang dilakukan setengah-setengah dan sepenuh hati. Tapi sesungguhnya, apabila kita mengulik standar kepuasaan masing-masing orang, istilah itu tidak sepenuhnya valid.

Kita tidak bisa mengendalikan segalanya di dunia ini. Kita tidak bisa menyangkal hal-hal tak terduga di masa depan, begitu juga dengan keinginan dan ekspektasi dalam menulis.

Seringkali kita merasa kurang dengan tulisan kita dan melakukan effort lebih kuat dan keras hanya agar tulisan kita mencapai kesempurnaanya. Kalau kamu berada di fase ini, coba renungi ulang sikapmu. Apakah kamu bahagia menulis dengan cara seperti itu? Apakah kamu menikmati proses menulismu?

Bagi penulis, terutama aku, sifat perfeksionis itu adalah halangan.

Perilaku perfeksionis hanya akan menyakitimu dan menahanmu untuk menulis lebih banyak dan beragam. Kamu hanya harus berlatih menerima sesuatu sebagaimana adanya, termasuk tulisanmu.

Kalau kamu menikmati proses, kamu akan benar-benar merasakan manfaat menulis.

Ini yang kurasakan belakangan. Ketika aku mulai menulis fanfiksi ketigaku (The Leftovers), aku mencoba untuk tidak overthinking lagi. Aku memang pernah melakukan revisi, tapi aku berhasil melakukannya dengan enjoy dan tanpa stress. Sebab aku menanamkan pada diriku, bahwa mensyukuri hasil kerja kita akan lebih menyenangkan daripada cemas tanpa sebab terus.

Jadi, revisilah secukupnya, sewajarnya, dan setulus hatimu, serta jangan biarkan kamu didorong oleh ambisi kesempurnaan. Berhenti untuk terlalu fokus pada kesalahan-kesalahan dan aspek lain yang sifatnya minor, apalagi membuatmu lelah berkepanjangan dan overthinking ketika menunggu respon pembaca.

Bukannya menikmati menulis, kamu hanya membuat dirimu capek sendiri.

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Where stories live. Discover now