36. Awalan Cerita

427 88 22
                                    

"Aku waktu memulai sebuah chapter: melongo dulu di depan laptop berjam-jam lamanya."


.

.

Sudah bikin outline?

"Sudah, kok."

Sudah yakin dengan adegannya?

"Sudaaahh. Banget."

Kok masih bingung mau memulai cerita?

"Umm 👉👈"

.

.

Entah kalian percaya ini atau enggak. Setelah membuat outline, kesulitanku untuk memulai cerita berkurang sampai 80%.

Iya, jadi, outline itu memang membantu sekali. Sebab, di outline, kamu diarahkan untuk membayangkan adegan sejak awal chapter.

Tapi, aku enggak menyangkal kalau masih ada yang terkadang sulit memulai sebuah cerita.

Sebab―pasti kamu juga pernah mendengar―awalan sebuah cerita adalah mantra yang akan menentukan apakah pembacamu mau lanjut atau stop.

Sebelum lanjut baca, yuk, kita survey. Setuju enggak sama kalimat di atas?

.

.

Ekhem, mungkin kalimat di ataslah yang selama ini membuatmu ragu apakah awalanmu menarik atau tidak. 

Kalau aku sih, enggak begitu peduli dengan awalan. Sebab menurutku, penilaian pertama terletak di bagian blurb dan cover, haha. Ini sama seperti ketika kamu memilih buku buat dibeli. Yang dilihat pasti potongan paragraf cerita di bagian belakang sampul, kan? Atau, mungkin kamu sama seperti aku, yang menilai buku dari review orang lain dulu. Biasanya, aku memutuskan membeli buku setelah aku mengetahui rate-nya di Goodreads atau blog pembaca lain.

Ditambah lagi, ketika kamu membaca ulasan buku dari orang lain, let's say aku lagi baca ulasan sebuah buku yang rate-nya 4.9 di Goodreads. Sangat jarang di antara mereka yang membahas tentang awalan cerita. Pasti yang menjadi sorot perhatian adalah seluruh plot ceritanya. Sekali lagi, bukan awalan.

Jadi, awalan cerita―kuberitahu mulai sekarang―ternyata enggak penting-penting amat.

Kecuali, mungkin, kalau kamu pakai awalan cerita sejuta umat, yang modelan begini:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kecuali, mungkin, kalau kamu pakai awalan cerita sejuta umat, yang modelan begini:

(1) Bunga membuka mata di pagi hari.

(2) Bunga terlambat upacara.

(3) Bunga lupa enggak bawa atribut OSPEK, akhirnya jadi sasaran ketua OSIS.

(4) Bunga memperkenalkan diri, mulai dari nama, bentuk badan, usia, latar keluarga, status ekonomi, bla bla.

Meskipun demikian, bukan berarti empat poin di atas wajib kamu hindari, lho. Sebenarnya, enggak masalah kalau kamu mau pakai poin-poin awalan di atas. Aku saja pernah kok pakai yang nomor satu, nih, salah satu buktinya:

 Aku saja pernah kok pakai yang nomor satu, nih, salah satu buktinya:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sumber: Before I Wake

Yang terpenting dari menulis adalah bagaimana kamu bisa membawa ceritamu dari awal (chapter 1) sampai akhir (chapter XX).

Ingat, yaa: Keutuhan cerita. Bukan hanya awalan. Awalan hanya menjadi nilai tambah, bukan faktor utama yang menentukan kualitas ceritamu, apalagi impresi atau kesan pertama. Jadi, kamu enggak perlu ragu dan takut buat menulis awalan. Begitu adegannya terbayang, hajar aja! Tulis dulu, edit belakangan.

But, mari kita kesampingkan hal itu dari sekarang. Kita kembali ke bahasan awal aja ya, supaya kamu enggak sedih sehabis membaca opiniku yang ternyata enggak menjawab pertanyaanmu.

So, di bawah ini merupakan tips bagaimana kamu mengisi sebuah awalan (in case) kamu buntu ide ketika ingin membayangkan adegan:

(1) Mulailah dengan dialog.

(2) Mulailah dengan pertanyaan.

(3) Mulailah dengan adegan aksi.

(4) Mulailah dengan kutipan.

(5) Mulailah dengan tindakan tokoh.

(6) Mulailah dengan penggambaran suasana hati.

(7) Mulailah dengan penggambaran suasana latar.

Maaf banget, sengaja enggak kujelaskan detailnya, karena nantinya pasti hanya muter-muter dan menimbun kalimat saja. Intinya, kalau kamu pernah membaca novel, pasti kamu sudah tahu harus apa dengan hanya membaca tujuh daftar di atas, benar kan?

Setelah membaca chapter ini, kuharap kepalamu terpenuhi dengan pemahaman bahwa awalan sebuah cerita ternyata tidak begitu penting bila dibandingkan plot utuh ceritamu sendiri.

Kamu memang harus terampil mengolah kata, tapi cara itu diperoleh tidak hanya dengan menulis awalan, melainkan dengan banyaknya kamu membaca dan praktik. Pelajarilah bagaimana cara penulis membuat ceritanya mengalir dari awal sampai akhir, sebab itulah yang terpenting.

Kamu juga bisa belajar dari membaca cerita-ceritaku (awowkowk enggak ding, canda). Pokoknya, carilah cerita yang sesuai dengan seleramu, lalu luangkan waktumu untuk membaca dan jangan lupa praktiknya, yaa.

See you soon! 

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang