22. Perbandingan

261 83 5
                                    

"Kenapa ya aku enggak bisa sesukses teman-temanku?"

Dulu aku juga sering merasakannya, terutama saat aku sudah lulus kuliah dan mulai berpisah dengan para sahabat. 

Aku menyebutnya titik jenuh, atau di beberapa artikel, orang mungkin menyebutnya quarter life crisis. Keadaan dimana kamu merasa dirimu tak cukup apa-apa dan selalu merasa gelisah tentang masa depan. 

Kamu merasa malu dan tertinggal ketika melihat pencapaian teman-temanmu, mempertanyakan apa yang akan kamu dapatkan di masa depan nanti, mempertanyakan kehidupanmu sepuluh tahun mendatang. Terkadang juga berpikir pahit, betapa semua hidup ini tampak tak adil buatmu. Padahal sekolahnya di jenjang yang sama, ujian di waktu yang sama, lulus juga sama... tapi mengapa kamu tetap tertinggal? 

Tenang, semua ini pasti dilalui oleh kita. 

Terkadang, cara yang terbaik untuk keluar dari lubang depresi ini adalah dengan menerima segalanya terlebih dahulu. 

Aku sudah pernah memberitahu di salah satu Bab yang berjudul Standar Kebahagiaan; ketika kita mengurangi ekspektasi untuk mendapatkan apa pun, beban hidup kita menjadi lebih mudah. 

Namun, terkadang, kita tidak bisa mengontrol keinginan yang datang, bukan? Apalagi dengan kemajuan teknologi seperti ini. Kamu melihat Twitter, Instagram, Facebook... orang-orang di sana tampak bahagia menjalani hidupnya. 

Ada sahabatmu yang dulu bocah bengal dan nakal, kini sudah menjadi angkatan militer yang tampak gagah dan tangguh. Ada teman yang dulu pendiam dan pemurung, sekarang menjadi karyawan perusahaan dan sering membagi foto bahagia bersama kekasihnya. Ada teman yang dulu sering bolos, sekarang sudah memiliki usaha rumah makan. Bahkan ada orang-orang yang tak kamu kenal, yang mungkin usianya lebih muda darimu, kini sudah menjabat sebagai CEO bertalenta dan pelaku UMKM yang cukup sukses. 

Sedangkan kamu ....

Ah, tidak, jangan bersedih dulu. 

Hidup manusia itu hanya satu kali. Kalau hanya kamu mengisinya dengan kesedihan, kemarahan pada dirimu sendiri, rasa tidak puas dan iri hati, kamu hanya akan menggali liang lahatmu lebih cepat. 

Oleh sebab itulah, untuk apa membandingkan diri dengan orang-orang, bila kamu hanya mendapatkan rasa sakit?

Kita semua dilahirkan berbeda. 

Maksudnya, semua orang di dunia ini. Kamu dan aku tumbuh di keluarga yang berbeda, status ekonomi yang berbeda, lingkungan yang berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, pengalaman traumatis yang berbeda, bahkan gen yang berbeda. Apakah masih pantas bila aku berusaha menyamakan nasib denganmu? Apakah masih pantas bila kamu masih membandingkan nasib dengan mereka? 

Satu-satunya orang yang pantas untuk menjadi perbandingan adalah diri kita sendiri di masa lalu.

Pertanyaannya bukanlah, "Kapan aku bisa menjadi seperti mereka?" 

Melainkan, "Apakah aku sudah menjadi lebih baik dari kemarin?"

Kalau kamu tidak menjadi lebih baik dari kemarin, pantaslah kamu merasa sedih dan kecewa. Sebab apa yang kamu lakukan sekarang akan berakibat pada masa depanmu. 

Sebab itulah, sekarang, berdirilah di hadapan cermin dan minta maaflah pada refleksimu di sana. 

Minta maaflah karena selama ini kamu telah menyakiti dan tidak menerima dirimu sendiri apa adanya. 

Minta maaflah karena selama ini kamu tidak benar-benar memikirkan kebutuhanmu. 

Minta maaflah karena kamu belum bisa menjadi versi terbaik dirimu. 

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Where stories live. Discover now