41. Menyusun Konflik

369 95 16
                                    

"Aku tuh selalu bingung yang mau ngasih konflik yang kayak apa ke karakter."

Halo, semuaa. Gimana kabar kalian Rabu ini? Aku Alhamdulillah baik-baik saja, dan dari kemarin aku seneng banget karena anak kucingku mulai suka ndusel2 di tanganku yang lagi nyantai rebahan, aaaaa XD. Aku pingin banget punya kucing yang manja sama babunya (read: aku), biasanya tuh aku sebagai babu selalu disia2in, cuma jadi tempat buat minta makan doang :(  

Tapi, anak kucingku yang satu ini nggak kayak induknya yang cuek dan dingin. Mereka soft, lucu, suka main sama aku. Soon aku mau ngajari mereka supaya bisa salaman, ntar aku update beritanya kalau berhasil!

Nah, mulai balik lagi ke judul awal.

Dulu, aku juga bermasalah dengan konflik. Rasanya, enggak cukup waktu satu minggu buat menyusun konflik dari awal sampai akhir dan melibatkannya dalam cerita sesuai porsi yang pas (suwer, deh!).

Kalau kebanyakan konflik, nanti jadi terlalu rumit dan berisiko jenuh buat menulisnya. Kalau terlalu sedikit nanti ceritanya jadi cepat habis. Selain masalah jumlah konflik, aku juga kesusahan mencari timing yang pas untuk memasukkannya dalam cerita. Ada yang sama nggak sih?

Tapi, Alhamdulillah, setelah berhasil menamatkan dua buku, aku mulai paham cara memberi konflik  yang efektif dan enggak memakan banyak waktu. Bayangin, dua buku lho! Itu termasuk waktu yang amat lama, haha. Maklum, namanya juga Hani, dulu sebelum tobat aku males banget ngurusin cerita tapi maunya cepet kelar aja (siapa yang gini juga?).

Nah, aku enggak mau menyimpan ilmu ini sendiri. Jadi, di bab ini aku akan memberikan arahan padamu tentang cara menyusun konflik supaya ceritamu lebih tertata lagi.

Sebelum masuk ke pembahasan, aku harus memberitahumu bahwa penulisan Bab ini murni dari pengalaman menulisku. Seperti kataku di bab sebelumnya (kalau aku memang sempat memberitahumu), menulis itu enggak ada pakemnya, alias nggak ada aturan resmi tentang harus begini dan begitu. Jadi, kalau kamu menemukan perbedaan tips yang kusebarkan di buku ini, mohon ingat kalimat pertama; Semua tips yang kuberikan adalah pengalaman pribadi.

Baik, kita langsung mulai.

Sejatinya, konflik dalam sebuah cerita ada dua macam; konflik internal dan konflik eksternal.

Nah, sesuai namanya, konflik internal datangnya dari diri sendiri, sementara konflik eksternal adalah konflik yang melibatkan tokoh dengan sesuatu di luar dirinya.

Contoh konflik internal: tokoh bergulat dengan keminderan, mental issue, trust issue, disabilitas, atau memiliki pemikiran pribadi yang kontra.

Contoh konflik eksternal: tokoh bergulat dengan kekasih, teman, keluarga, mengalami penindasan, perampokan, tersangkut kondisi sosial, atau kondisi alam.

Sekarang, aku beritahu triknya:

1. Kalau kamu membuat cerpen, cukup masukkan salah satu konflik.

2. Kalau kamu membuat novel, minimal masukkan dua konflik.

3. Semakin banyak kamu memberi konflik pada tokohmu, novelmu akan makin rumit.

Nah, sampai sini paham?

Sekarang, kuberitahu cara menyusun konflik untuk ceritamu.

Biasanya, kalau kita memikirkan sebuah ide cerita di kepala, mula-mula hanya muncul konsep besarnya saja. Misalnya nih, pagi ini kamu sedang makan terong, tahu-tahu terbersit ide cerita tentang seorang pahlawan super yang mengundurkan diri dari pekerjaannya. Kamu masih belum tahu nanti alurnya bagaimana, intinya kamu mau bikin cerita tentang itu.

Nah, yang harus kamu lakukan adalah mengambil secarik kertas dan menuliskan konfliknya.

Bagaimana cara menulis konflik? Pertama-tama, kamu harus memutuskan ada berapa konflik yang diambil sesuai target halamanmu. Misalnya, karena kamu ingin membuat novel, dan kamu menargetkan cerita tamat maksimal 40.000 kata (bisa kita anggap sekitar 20 chapter), kamu bisa mengambil dua konflik saja; yaitu konflik internal dan eksternal.

Sekarang, mulailah berpikir dan menuliskannya dalam sebuah skema. Jangan lupa pakai hukum sebab dan akibat.

Pahlawan mengundurkan diri dari pekerjaan heroiknya. Pertanyaannya, mengapa? Jawabannya kamu jabarkan dalam dua konflik di bawah:

Konflik internal: Pahlawan itu merasa takut kehilangan masa mudanya yang berharga, makanya dia mengundurkan diri karena mau fokus dengan hidupnya.

Konflik eksternal: Pahlawan super tidak sanggup menahan risiko untuk keluarganya, sebab bila pekerjaan ini diteruskan, penjahat yang menyerangnya bisa-bisa balas dendam dengan mencelakai keluarganya, dan dia tak mau itu terjadi.

Sudah mulai kelihatan, ya? Sekarang, dari skema yang kamu buat, kamu harus bisa mengerucutkan konflik utama menjadi sesuatu yang akan meledak pada puncaknya nanti. Ambil saja bagian yang menarik perhatian kamu, let's say, kamu ambil bagian ini:

... penjahat yang menyerangnya bisa-bisa balas dendam dengan mencelakai keluarganya ....

Nah, puncak masalah terjadi karena sesuatu yang paling ditakutkan oleh pahlawan super itu rupanya menjadi kenyataan. Sekarang, kamu punya bayangan bahwa ceritamu nantinya akan mengalami alur kira-kira begini:

Ezra adalah pahlawan super, tapi karena beberapa alasan, dia terpaksa mengundurkan diri dari aksi heroiknya. Mulanya dia menjalani hidupnya dengan tenang, tapi satu per satu masalah muncul. Sampai pada puncaknya, adik Ezra diculik oleh seorang penjahat kelas kakap. Sekarang Ezra harus memilih, dia kembali menjadi pahlawan super, atau menunggu bantuan lain datang menyelamatkan adiknya.

See? Ternyata mudah!

Sekarang, kamu tinggal merancang outline dari cerita itu. Kalau sudah tahu konfliknya dan puncak masalahnya, maka akan lebih mudah bagimu untuk mencari tahu solusinya. Setelah selesai, kamu sudah bisa mulai menulis, deh!

Sampai sini, apa kamu merasa lebih terbantu dengan tips yang kuberikan? Komen untuk mendapatkan tips lainnya yang lebih menarik! Jangan lupa sebarkan buku ini bila kamu ingin orang lain mendapatkan manfaat yang sama^^

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Where stories live. Discover now