17. Berhenti Menulis

416 118 17
                                    

Aku ngapain, sih, nulis beginian? Cuma membuang waktu dan tenaga, mana gak dapet duit pula. Apa aku berhenti aja, ya?”

Percayalah, aku juga pernah ada di posisi itu.

Dulu, kalau aku lagi mumet mikirin real life, lagi tertekan, lagi capek dengan segala macam hal yang kuhadapi, aku pasti mikir; “Apa sebaiknya aku berhenti nulis aja dan fokus sama kehidupanku?”

Memasuki usia awal dua puluh, kehidupanku tidak seperti masa sekolah dan kuliah yang pernah kujalani. Lebih sulit, rumit, dilema. Penuh pertanyaan-pertanyaan yang kita tidak tahu jawabannya, dan kalau dipikirkan jawabannya, kita bakal semakin takut, cemas, dan merana sendiri.

Di waktu yang lain di hidupku, aku mungkin akan melupakan sejenak rasa cemas kehidupan nyata yang menggerogotiku. Tetapi, ketika aku lagi sendiri dan capek, pikiran-pikiran itu pasti datang lagi. Dan, akibatnya apa? Menulis yang semula menjadi self-healing entah bagaimana berubah menjadi sesuatu yang kutakutkan.

Maksudnya apa, sih, Han?

Jadi, begini, entah kalian pernah merasakannya atau tidak, setiap kali menulis, aku selalu lupa waktu. Setiap kali menulis rasanya aku begitu senang sampai enggak mau diganggu. Bahkan, ketika aku mulai jenuh dengan pekerjaanku sendiri, aku selalu merasa kalau menulis adalah cara terbaik untuk penghilang stress.

Setiap hari aku nulis, nulis, dan nulis. Mengurung diri di kamar, melupakan tugas, melupakan pekerjaan, melupakan orang tua, melupakan binatang peliharaan, melupakan makan dan tidur.

Tahu apa yang terjadi?

Sesuatu yang semula aku harapkan menjadi obat justru berkembang menjadi kecemasan; Bagaimana kalau aku keasyikan menulis dan melupakan semua tanggung jawabku di dunia nyata?

Apakah kamu termasuk tipe orang yang seperti ini?

“Biar bagaimanapun, menulis itu segala-galanya bagiku! Kalau enggak menulis aku bisa mati!”

Iya, kalau kamu mencintai menulis, seberat apapun halangan yang kamu hadapi, pasti tidak akan terasa. Dulu aku juga sempat begini, maunya menulis aja seharian, tidak mau diganggu. Pintu kamar kututup rapat-rapat dan aku mengasingkan diri dari kehidupan luar.

Kupikir, ini bisa membuat hatiku lega karena artinya aku mencintai hobiku, tapi kian lama aku sadar, selama menulis bukan menjadi kebutuhan pokok, yang akan terjadi adalah … aku kehilangan kesempatan untuk menikmati kehidupan nyata.

Waktu yang semestinya kupakai untuk bekerja, malah tersisih untuk menulis. Tanggung jawabku kendor. Aku keteteran.

Waktu yang semestinya kupakai untuk melatih skill lain, malah terpakai untuk menulis. Aku kehilangan kesempatan untuk mencoba hal-hal baru.

Waktu yang semestinya kupakai untuk berbincang dengan keluarga, malah habis untuk menulis. Aku jarang bicara dengan orang tua. Aku melupakan mereka, bahkan lupa menyentuh makanan yang sengaja dibuatkan untukku.

Jadi, selama beberapa waktu aku merenung, memikirkan apa yang salah dengan diriku. Kutemukan jawabannya ketika aku sadar, menulis itu memangkas sebagian besar waktuku. Nahasnya aku malah menyalahkan hobiku. Aku menjadikan hobi menulis sebagai kambing hitam atas apa yang terjadi di hidupku yang berantakan.

Aku bahkan berpikir; “Gara-gara menulis aku jadi begini. Sudah nggak dapat apapun dari menulis, mengapa harus diteruskan? Cuma bikin capek pikiran dan tenaga. Lebih baik aku berhenti menulis!”

Tapi, pernahkah kamu berpikir, bahwa yang harus dibenahi itu sebenarnya adalah pola pikirmu, bukan hobimu.

Kamu harus mulai membiasakan diri menulis untuk hidup, bukan hidup untuk menulis.

Luangkan waktumu untuk menulis secukupnya, berikan jadwal bila itu memungkinkan, misalnya dua jam sebelum tidur, atau dua jam sebelum subuh, atau mungkin bikin target nulis 500 kata dalam sehari di jam kapanpun pokoknya waktu luang. Buatlah daftar hal-hal yang kamu anggap penting untuk didahulukan.

Jangan sampai menulis merenggut seluruh beban pikiranmu, membuat kamu kepikiran setiap waktu, membuat kamu rela menyingkirkan seluruh kehidupanmu di dunia nyata. Walau kedengarannya biasa saja, walau menulis merupakan self-healing, tapi kalau kamu terlalu tenggelam dalam menulis juga tidak baik, bukan?

Kalau kamu jenuh dengan kehidupan nyata, menulislah, tapi ingatlah bahwa ada banyak hal di dunia ini yang juga menyenangkan untuk dilakukan.

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz