20. Ekspektasi

310 103 3
                                    

Apakah kamu pernah menginginkan sesuatu sampai membuatmu menggantungkan harapan pada sesuatu itu?

Kalau ya, bagaimana rasanya?

Kamu menaruh harapan besar pada sesuatu yang kamu inginkan. Saat membayangkannya, kamu sampai berpikir;

“Ini adalah salah satu keinginanku yang paling besar, kalau aku tidak mendapatkannya, mungkin selamanya nasibku tidak akan berubah.”

Setiap orang, tanpa disadari, pasti pernah merasakannya. Aku pun juga.

Memiliki pengharapan besar seperti itu adalah pengalaman yang membuatku berdebar, membuatku tanpa sadar membayangkan bahwa hidupku, duniaku, nasibku akan berubah bila mendapatkannya. Apalagi, aku termasuk tipe orang yang cukup percaya dengan kemampuan diri sendiri. Aku sempat mengharapkan sesuatu dan yakin bisa memilikinya.

Tetapi, ternyata Tuhan menolak keinginanku.

Berbagai perasaan―sedih, kecewa, terpukul, sakit hati, semuanya berkumpul menjadi satu.

Kupikir aku sudah cukup sulit bertahan di titik sebelumnya, sehingga aku merasa saat itu pengorbananku akan terbayar dan akan mendapat buahnya (hasilnya). Tetapi, ternyata aku mendapat yang lebih buruk lagi. Pengharapanku terbuang sia-sia. Aku gagal lagi, untuk kesekian kalinya. Sampai-sampai aku berpikir, apa lagi yang lebih buruk dari itu?

Padahal aku sudah menyangka akan berhasil, tetapi ternyata … Tuhan lagi-lagi belum menghendaki.

Saat itu, diliputi kehancuran hati dan perasaan tertekan, aku curhat ke salah seorang sahabatku. Dan, rasanya hatiku ditampar dengan omongannya;

“Kak, dunia ini hanya bayang-bayang saja. Semakin dikejar akan semakin menjauh.”

Aku merenung dan langsung menemukan apa yang salah di diriku.

Ternyata, selama ini aku hanya terlalu berharap saja. Ternyata selama ini aku begitu menginginkan sesuatu sampai menggantungkan nasib pada sesuatu yang tak seharusnya. Padahal, sebagai manusia, kita tidak bisa mengharapkan semuanya berjalan sesuai dengan kehendak. Semakin kita menginginkan sesuatu, semakin banyak halang-rintang yang kita dapatkan.

Lama aku merenung dan berdiskusi dengan sahabatku, aku mendapat jawaban menarik dari kegagalan ini.

Cara terbaik untuk menghilangkan perasaan ini adalah dengan merelakan dan bersyukur.

Semua itu merupakan dua hal sederhana, tetapi sulit sekali dilakukan apabila kita tak benar-benar meniatinya, apalagi kalau belum pernah ditampar oleh pengalaman nyata. Bahkan aku sendiri, sudah sering sekali dikecewakan oleh keadaan, tetapi apabila gagal lagi rasanya masih sulit mengontrol perasaan sakit hati.

Saat itu aku kembali belajar, bahwa kesempatan datang tak hanya satu kali. Ada banyak kesempatan yang menunggumu walaupun itu tidak dari orang yang sama.

Apapun yang terjadi pada kehidupan kita, itu adalah yang terbaik dari Tuhan. Pasti ada jawaban di balik rasa sakit hati yang kita alami. Mungkin kita memang dituntun untuk lebih bersyukur lagi dan menerima keadaan, sebab Tuhan sedang mempersiapkan sebuah hal lain yang lebih indah di depan sana.

Kita memang tidak bisa melihat masa depan. Tetapi, kita yang berdiri di titik ini, pada masa ini, adalah cerminan masa depan kita nantinya. Kalau setiap harinya hanya diisi dengan keluhan, tangisan, kemarahan, rasa tidak terima dan sakit hati, apa yang kamu inginkan dalam masa depanmu nantinya?

Lupakan kegagalan, walau sulit. Relakan kegagalan, walau sulit.

Sambut masa depanmu dengan mensyukuri apa yang kamu miliki sekarang. Sambut masa depanmu dengan melakukan hal yang semestinya. Sambut masa depanmu dengan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Where stories live. Discover now