44. Dialog yang Hidup

315 81 18
                                    

"Siapa di sini yang sering kesusahan bikin dialog yang terasa hidup?"

Hai, gais, ketemu lagi. Maaf ya kemarin aku enggak update karena seharian dipusingin sama tugas jurnal yang nggak kelar-kelar, huhu. Tanganku gatel banget pingin ngetik JPGA, tapi deadline jam 12 malam, jadi aku harus nahan diri buat nggak nulis hal lain :")

Tapi, sekarang sudah kelar semua, Alhamdulillah.

So... di bab kali ini aku ingin membahas tentang bagaimana cara menulis dialog antar tokoh yang hidup. Dan, sekali lagi, hal ini kudasarkan dengan pengalaman yang kupelajari selama ini yaa. Kalau kamu ada tips lain, boleh banget dibagi di sini, sekalian buat tambahan belajar bagiku juga^^

Jadi, dialog yang hidup menurutku adalah dialog yang relate dengan kehidupan nyata. Sebab itulah, mengetahui latar dan konsep karakter ceritamu sangat penting.

Apa sih maksudnya latar dan konsep karakter?

Mari kita bahas satu per satu.

MENYUSUN DIALOG BERDASARKAN LATAR WAKTU DAN TEMPAT

Sebuah cerita pasti memiliki latar waktu. Sebagai contoh, misalnya kamu membuat cerita di zaman kerajaan Inggris abad ke-18. Dialog di zaman itu pastilah kental dengan budaya formal yang tinggi, bisa jadi lebih puitis karena masih kuat dipengaruhi oleh seni dan sastra. Jadi, kamu harus memakai kalimat-kalimat baku. Kemungkinan besar di zaman itu belum mengenal istilah slang dan kata-kata makian (Keparat, bangke, goblok) yang sering kamu dengar di zaman sekarang, jadi hindarilah untuk memakainya.

Misalnya, alih-alih tokohmu mengatakan, "Ya Tuhan, kamu cantik banget malam ini!" kamu bisa menuliskan, "Aduhai, parasmu sungguh cantik malam ini!"

Sekali lagi, di atas hanya contoh yaa. Kalau kamu mau yang lebih akurat, kamu bisa riset mengenai penggunaan bahasa di zaman tersebut. Risetnya gimana? Ya, cari saja novel-novel klasik buat referensi, misalnya novel-novel buatan Jane Austen, Charles Dickens, Conan Doyle, atau George Eliot.

Setting cerita tidak hanya berdasarkan waktu, melainkan juga latar tempat. Misalnya tokohmu adalah anak lokal yang berasal dari Jawa Timur, berarti dia pasti paham bahasa jawa halus. Begitu juga bila tokohmu adalah anak Jakarta perkotaan, barangkali dia sering melakukan code-switching (peralihan dan pencampuran bahasa lokal dan bahasa asing).

MENYUSUN DIALOG BERDASARKAN KONSEP KARAKTER

Perhatikan siapa tokohmu. Karakter watak dan sikap yang kamu berikan pada karaktermu juga mempengaruhi dialog mereka.

Misalnya, bila tokohmu adalah orang berpendidikan tinggi, liberal, dan Jakarta sentris, kemungkinan dia menyukai pembicaraan yang bersifat analitis, punya pandangan-pandangan besar, dan bisa jadi beberapa pendapatnya malah bersifat kontroversial. Terkadang mungkin dia suka mengutip pembicaraan orang terkenal, buku-buku, teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga perbendaharaan katanya luas.

Perbedaan ini bisa cukup terasa bila dibandingkan dengan karakter anak SMA. Misalnya tokohmu adalah anak SMA yang cukup hits di sekolahnya karena dia kapten basket 24/7. Kamu harus bisa menyesuaikan dialognya.

Seperti yang kubilang, enggak ada orang sempurna di dunia ini, bisa jadi tokohmu skill-nya hebat tapi kalau soal adu mulut, dia kurang mumpuni. Jadi, kamu bisa memberi kesan seolah tokohmu itu irit bicara, suka mengulang-ngulang kata, dan sulit mengungkapkan pendapat atau bahkan terbata-bata bila sedang merasa semangat.

Begitu juga dengan dialog anak kecil, anak SD, mahasiswa, dan pekerja kantoran. Semuanya punya warna, tergantung bagaimana kamu membayangkan seperti apa mereka di status pekerjaannya, latar belakang keluarga, pengalaman traumatis, atau bahkan lingkungan teman-teman.

Sampai sini, apakah kamu mulai dapat bayangannya?

Jadi, dialog yang hidup harus bisa dilihat dari dua poin tadi; latar dan konsep karakter.

𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐀𝐌𝐀𝐓 Where stories live. Discover now