14 | Menguji Perasaan

36 8 0
                                    

Keesokan paginya, Elvano menghampiri Aneisha dengan perasaan bersalah.

"Sha, masih marah?" tanya Elvano dengan lembut.

"Kenapa harus bohong sama gue?"

Elvano menghela nafas. "Gue-"

"El, gue tau lo gak suka Gevariel, tapi kenapa lo harus kayak gini sih? Gue muak banget! Gak nyangka lo bisa sampe kayak gini, El," potong Aneisha. Sebenarnya sulit sekali untuk marah kepada Elvano, laki - laki yang selalu ada di sisinya sejak kecil.

"Maaf, Sha.. Gue gak tau harus ngomong apa selain minta maaf," ujar Elvano.

"Gue mau maafin lo, tapi seenggaknya kasih gue alesan kenapa lo lakuin itu."

"Gue gak suka lo deket sama dia," jawab Elvano tegas.

Aneisha mengerjap beberapa kali. "Cuma karena itu?"

"Lo beneran suka sama dia, Sha?" tanya Elvano. Aneisha terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu. Karena dirinya sendiri bahkan tak mengerti. "Gue sendiri masih gak ngerti sama perasaan ini," jawab Aneisha.

Elvano mendekat dan memeluk Aneisha seperti adiknya. "Gue janji gak akan ngelakuin hal kayak kemarin. Maaf, Sha, gue bikin lo marah".

"Kalo lo emang benci Gevariel pun jangan jahatin dia, gue mohon.."

"Lo beneran sayang dia, Sha.. Karena gue gak pernah liat lo memohon kayak gini," pikir Gevariel.

Aneisha menggenggam tangan Elvano. "El, gue gak tau udah siap atau belom untuk buka hati. Rasanya masih susah percaya sama cowok".

"Tapi, kok lo percaya sama gue? Apa bedanya gue sama cowok lain?" tanya Elvano.

"Karena gue kenal lo dari kecil."

"Kalau Gevariel? Kenapa lo percaya sama dia sampe lo cerita tentang trauma lo?"

Aneisha terkejut mendengar Elvano mengetahui kalau Ia menceritakan traumanya kepada Gevariel. "Entah kenapa gue percaya dia. Rasanya nyaman aja cerita ke Gevariel."

"Sha, tapi tolong jangan berubah ke gue, walaupun lo deket sama cowok lain. Maksud gue, ya.. Gue kan udah kenal lo jauh lebih lama daripada Gevariel," ujar Elvano.

Aneisha mengangguk semangat. "Lo itu udah jadi keluarga gue, gak mungkin gue tinggalin lo, El. Rasa sayang gue udah terlaluuu besarr ke lo!". Memang El akui senang sekali mendengar kata 'sayang' dari Aneisha, walaupun nyatanya hanya sebagai keluarga. Apakah Elvano benar - benar tidak memiliki harapan?

>><<

"Gev, kemarin Bunda Cyntia nelfonin gue nanyain lo, emang kemaren lo gak pulang?" tanya Rian sambil mengerjakan tugas yang belum Ia selesaikan.

"Kemaren gue kehujanan, jadi neduh ke warung dulu. Tapi, gue gakpapa kok," jawab Gevariel.

Alland berbisik, "Gue tahu lo kemaren bareng Aneisha".

Gevariel terkejut mendengarnya. "Hah? Tahu darimana?". Alland terkekeh dan menjawab spontan, "Dari sumedang".

Gevariel memukul kepala Alland. "Gue keceplosan kasih tau mereka tadi," sahut Nando dengan santai. Gevariel yang sudah sangat dekat dengan Nando, tentu Ia tidak bisa memarahinya. 

"Kok lo bisa sama dia?" tanya Rian penasaran.

"Gue minta tolong dia buat dateng, eh tiba - tiba beneran dateng. Gue gak tau mau minta tolong siapa lagi," jawab Gevariel.

"Tiba - tiba dateng kayak gitu?" tanya Alland sambil menunjuk ke belakang Gevariel. Ketika Gevariel menoleh, sangat terkejut Ia melihat Aneisha yang sedang berdiri dengan senyumannya yang lebar. Aduh, kedatangannya begitu menyenangkan seperti pelangi di pagi hari.

"Mau ngapain?" tanya Gevariel dengan lembut, meskipun wajahnya dingin.

"Mau ngobrol sama lo. Ayo keluar sebentar," ucap Aneisha.

Mereka pun akhirnya berjalan bersama di sekitar sekolah. Jantung Aneisha dan Gevariel sebenarnya hampir meledak, namun keduanya hanya pandai berakting menyembunyikannya. Gevariel sangat terkejut dengan momen ini, Aneisha tiba - tiba ingin dekat dengannya.

"Lo-" ucap Aneisha dan Gevariel bersamaan. Kemudian, suasana kembali canggung.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Gevariel akhirnya untuk mencairkan suasana.

"Kemaren gue dimarahin papa gue, karena nyetir pas lagi hujan," ucap Aneisha. Gevariel menoleh sesaat. "Terus?"

Aneisha menghentikan langkahnya. "Minta maaf atau respon apa gitu yang lebih baik, kenapa gue kayak ngobrol sama tembok sih?"

"Kalo tembok kan gak bisa jawab. Ini gue jawab lo," lanjut Gevariel dengan santai. Rasanya emosi Aneisha mulai diuji. Ia memang tipe yang jujur dan apa adanya, akan menyampaikan apa yang memang ada di pikirannya.

"Ah, tadi gue lagi seneng jadi bete deh sekarang gara - gara lo!" ujar Aneisha lagi.

"Yaudah maaf," jawab Gevariel singkat. Bahkan ucapan maafnya pun terdengar tidak bermakna dan tidak ikhlas. "Gak usah maaf - maaf. Coba lo cari topik atau apa gitu," sahut Aneisha gemas.

"Kan lo yang mau ngobrol, ya lo yang cari topik aja."

Aneisha menghela nafasnya, "Kenapa sih ngeselin begini? Lo gak pernah pacaran ya? Kaku banget, dasar manusia tembok".

"Emang lo pernah pacaran?" tanya balik Gevariel, hingga Aneisha terdiam.

"Ihh ngeselin! Padahal gue cuma pengen coba deket sama lo buat uji perasa-"

"Uji apa?" potong Gevariel cepat. Aneisha menutup mulutnya merasa malu dan bodoh sekali. Hampir saja Ia mengatakan kalau Ia ingin menguji perasaannya kepada Gevariel. Memang ini tujuannya, Ia ingin cari tahu apakah ini benar - benar rasa suka atau bukan.

"Lo mau cek perasaan lo? Suka gue atau enggak gitu?" tanya Gevariel. Entah Ia memang dukun atau detektif, tapi tebakannya begitu tepat sasaran.

"Hah? Enggak. Gue-"

"Gak usah salah tingkah. Lebay," lanjut Gevariel.

Aneisha semakin kesal dengan ucapan Gevariel itu. "Siapa yang salah tingkah? Lagian tebakan lo salah, jangan geer deh!"

"Gue juga bimbang kayak lo. Hampir aja gue mau lakuin hal yang sama," potong Gevariel, kemudian Ia pergi berjalan lebih cepat. "Astaga, kenapa gue ngomong kayak gitu sih.."

Aneisha masih diam mematung di tempat tadi Ia berdiri. "Bimbang kayak gue? Maksudnya? Apa dia juga kemungkinan suka sama gue?" tanya Aneisha pada dirinya.

-------

ES REGNETDonde viven las historias. Descúbrelo ahora