Kesepakatan

750 93 11
                                    

Tidak ada yang spesial sarapan pagi ini. Haruto bangun lebih 30 menit dari jadwal biasanya sehingga ia hanya sempat membuat roti panggang dan susu. Badan Haruto pegal-pegal, itu sebabnya dia bangun terlambat.

Sudah sebulan lebih sejak ia tinggal bersama Jihoon di apartemen dengan rutinitas padat dari pagi hingga malam.

Berangkat sekolah pukul 6 pagi dan baru selesai jam 7 malam, istirahat 30 menit lalu langsung berangkat ke restoran. Jam kerjanya baru berakhir pukul 12 malam, sampai di apartemen masih harus masak karena perut meronta kelaparan.

Di hari Kamis setelah makan tengah malam, mereka masih harus mencuci pakaian lalu esoknya menyetrika tumpukan pakaian kering.

Kenapa tak melakukannya di akhir pekan? Alasannya simpel, karena Jihoon ingin mereka menikmati waktu santai yang sedikit tanpa diganggu pekerjaan rumah berat. Mereka hanya punya waktu bebas dari pagi hingga sore lalu malamnya masuk kerja lagi.

Jika Haruto yang sudah biasa menjadi pelayan saja lelah bagaimana dengan Jihoon? Dengan fisik yang agak rentan, dalam sebulan Jihoon sudah dua kali demam tinggi dan sekali masuk rumah sakit.

Pada akhirnya Haruto memutuskan Jihoon harus keluar dari Kayoi dan mencari pekerjaan lain yang lebih ringan. Tubuhnya tak bisa cepat beradaptasi dengan pekerjaan berat dan malah terbebani, dokter bilang jika terus dipaksakan hanya akan memperburuk kesehatannya.

Setelah perdebatan kecil akhirnya Jihoon setuju, besok adalah hari terakhir Jihoon bekerja di Kayoi. Minggu lalu Jihoon sudah mengajukan pengunduran diri sekaligus menunjukkan surat keterangan dokter pada sang manajer sebagai bukti.

Meski dengan raut tak senang, laki-laki paruh baya itu berusaha memaklumi dan mengiyakan dengan syarat Jihoon baru bisa keluar setelah restoran mendapat gantinya.

"Ohayo Tono-kun,"sapa Jihoon dengan mata masih berkabut, rambutnya mencuat kemana-mana dan langkahnya terseret seperti zombie. Dengan santainya dia duduk di atas pantry.

"Ohayo Ji, kau mandi dulu lalu sarapan."

"Salah, harusnya kau membalas ohayo Tamaki-kun,"protes Jihoon dengan nada melantur karena kesadaran yang baru terkumpul setengah.

Haruto menatap Jihoon datar,"Ohayo Tamaki kun."

"Hehe...", Jihoon terkekeh kecil,"Tono? Tooonooooooo..."

"Berhenti Ji!"

Sejak kecil Jihoon punya panggilan lain untuk Haruto. Dengan mengambil suku kata terakhir dari Haru-To ia mengubahnya menjadi Tono, kenapa? alasan klasik, supaya huruf depan nama mereka selaras, Tono - Tamaki.

Apa Haruto terganggu? Sedikit! Tono bukan nama yang menurutnya keren, jadi dia agak malu jika Jihoon memanggilnya begitu. Tapi ia juga tahu Jihoon memilih nama itu sejak awal hanya untuk menggodanya.

"Pundakku rasanya seperti dibebani karung To...,"Jihoon menguap lebar sampai matanya berair,"Berat sekali, rasanya aku mau bolos saja."

"Kemarin aku bertanya ke manajer di minimarket ujung gang, katanya memang ada lowongan pegawai, kau kerja di sana saja, pekerjaannya menyusun barang-barang, setidaknya tidak seberat di Kayoi."

Jihoon hanya mengangguk-angguk, setengah otaknya mencerna dan setengahnya tak peduli. Sungguh ia hanya ingin lanjut tidur saat ini.

"Nanti kau jadi bicara pada Doyoung?"

"Hemmm....,"jawab Jihoon malas,"Eh jangan strawberry....,"ucapan Jihoon menghentikan tangan Haruto yang memutar tutup jar selai strawberry,"Aku sedang ingin bluberry."

Haruto meletakkan jar itu dan hendak mengambil selai bluberry, tapi niatnya urung karena suara panggilan dari ponselnya.

Terpampang nama "Otousan" di layar, membuat Haruto bertanya-tanya ada apa gerangan sampai ayahnya menelepon sepagi ini.

TREASURE [The Death Of Shiroibara] Where stories live. Discover now