Traitor

594 88 35
                                    

Hai :')


Haruto duduk santai di tangga minimarket, menikmati hembusan angin pagi musim semi sambil mendengar lagu lewat earphone bluetooth. Tangannya menggengam susu kotak sedangkan sandwich telurnya sudah habis ia lahap beberapa detik lalu.

Dengan mulut yang mengunyah pelan, pandangannya menerawang ke langit biru cerah. Warna biru yang membentang luas itu mengingatkannya dengan air. Air bening tak berwarna yang anehnya selalu didiskripsikan dengan warna biru.

Haruto jadi teringat dengan sungai tempat Hyunsuk jatuh semalam. Mengingat ekspresi kagetnya membuat bibir Haruto tak tahan mengulum senyum tipis.

Tahu tidak, sebenarnya waktu mendorong Hyunsuk ke sungai yang ia bayangkan bukanlah sosok Hyunsuk itu sendiri, melainkan seorang bocah yang lemah dan putus asa.

Bocah berpipi penuh dan bermata seperti rubah. Sosok kecil dari orang yang sangat Haruto benci sampai-sampai tanpa sadar mulutnya menggumam kata "Sayonara", yang berarti salam perpisahan selamanya.

Kata orang, anak-anak dengan tawa mereka adalah permatanya dunia, mereka bisa merubah dunia yang dibuat kotor oleh polesan gelap orang dewasa, dengan polesan warna-warna cerah ceria. Sayangnya Haruto tidak suka tawa mereka. Sangat tidak suka!

Selama ini Haruto selalu menahan diri tiap melihat anak kecil tertawa-tawa bahagia dengan kawan-kawannya. Rasanya ia ingin meremat senyum itu hingga hancur.

Kenapa? Karena Haruto melewati masa kecilnya dalam luka penindasan Mark dan gengnya. Melihat anak lain tertawa bahagia---hal yang ia damba setengah mati waktu kecil--- membuatnya sangat kesal.

Anak lain bisa tertawa bahagia, tapi kenapa dirinya tidak?

Haknya untuk tertawa diinjak-injak oleh sesama bocah! Menyedihkan!

Dulu, kehidupan Haruto di sekolah dasar sungguh tak ubahnya neraka. Haruto hanya bisa diam saat Mark menindasnya, karena itu anak-anak nakal dari kelas lain jadi ikut menjadikannya taget perundungan.

Bahkan meski Jihoon sudah datang ke Korea, hidupnya tak banyak berubah. Perbedaanya hanya Mark jarang menganggunya karena fokus menindas Jihoon, tapi anak-anak nakal yang biasa membully Haruto kelakuannya malah makin menjadi-jadi.

Dilempari lumpur? Disiram air? Ck..., itu tidak ada apa-apanya!

Dikunci di kamar mandi? Dijadikan pengganti gawang yang terus dihujani tendangan bola sepak? Ck... Sudah biasa!

Dijadikan babu PR? Ohhh..., setiap hari! Haruto sampai hafal dengan soal dan jawaban yang ia kerjakan karena menulisnya berulang kali di buku tulis berbeda.

Dijadikan samsak tinju? Haish...., Terlalu sering sampai ia tak ingat berapa kali jatuh sakit!

Tidak punya teman? Hei, terlalu jelas, memang siapa yang mau berteman dengan anak yang dibully?

Dikatai tidak punya ibu, anak piatu? Ini paling menyakitkan tapi hampir setiap hari ada yang mengoloknya dengan kalimat ini!

Untuk yang satu ini, Mark dan gengnya tidak pernah ikut-ikutan. Sebagai anak Mark pasti ikut tersindir jika dia ikut mengatai Haruto tidak punya ibu karena mereka sama-sama hidup terpisah dengan sang ibu. Perbedaanya Haruto dan ibunya sudah beda alam, sedangkan Mark hanya beda negara.

Semua beban itu, Haruto tahan dalam kepasrahan karena sadar tak punya kekuatan. Mana bisa dia melawan anak tuannya sendiri?

Emosi kemarahan yang menggumpal bertahun-tahun di dadanya, tanpa sadar telah membangkitkan jiwa monster dalam diri Haruto.

TREASURE [The Death Of Shiroibara] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang