I Kill Her!

769 95 79
                                    


Haruto menghela nafas pelan, menatap bangunan Lotte World yang bermandikan kilau lampu warna-warni di seberang danau. Bukannya langsung pulang setelah jam kerjanya berakhir, ia malah berjalan-jalan di Seokchon Lake Park dan kini duduk menghadap danau di bangku kayu yang diapit pohon sakura.

Berbeda dengan siang hari yang ramai, taman terasa sangat tenang ketika tengah malam. Kelopak-kelopak sakura yang bermekaran di atas kepalanya bergoyang tertiup angin malam, menimbulkan bunyi gemerisik. Haruto serasa menemukan kedamaian lagi setelah peristiwa hectic tadi pagi.

Sekali lagi Haruto menghela nafas dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Dalam sekali hembus, penat yang beberapa hari ini menggelanyuti pundaknya akhirnya lepas jua.

Haruto melepas topinya, berniat menaruhnya di sisi tempat duduk yang kosong. Tapi niatnya urung tatkala melihat kantong plastik putih berisi chess cake yang ia beli sewaktu berangkat kerja. Haruto hampir melupakan kue itu dan ingatannya kembali terlempar ke satu jam yang lalu saat ia mengobrol dengan sang ayah.

-----Flashback-----

Haruto menuntun sepedanya keluar tempat parkir pelan-pelan, sengaja menjaga jarak dengan Hyunsuk yang menuntun sepeda di depan. Sejak kunjungan Hyunsuk ke apartemennya malam itu, keduanya sama-sama memilih bertingkah layaknya orang asing. Haruto tak bisa mengatakan hubungan mereka memburuk karena nyatanya sejak awal dia dan Hyunsuk hanya saling mengenal nama, mereka bukan teman dan hanya sebatas rekan kerja.

Haruto menunggu hingga Hyunsuk mengayuh pedal lebih dulu, barulah dia bersiap naik ke sadel. Haruto sudah bersiap mengayuh pedal ketika tiba-tiba matanya bersitatap dengan laki-laki paruh baya yang berdiri di dekat lampu jalan. Haruto terkesiap melihat sepasang mata tajam mirip miliknya itu menatap lembut dengan senyum teduh.

"Otousan,"panggilnya, merasa heran kenapa ayahnya tiba-tiba menemuinya.

Watanabe Ryuu mendekati anak satu-satunya, menepuk bahunya dan berujar dengan suaranya yang halus namun dalam,"Bisa bicara sebentar?"

Ayah dan anak itu kemudian masuk ke Burger King, satu-satunya tempat makan paling dekat yang buka 24 jam dan memesan espresso.

Di bawah terang lampu ruangan, Haruto baru menyadari wajah ayahnya terlihat lelah sekali. Pipinya sedikit lebih tirus dan garis-garis kerutan halus di dahinya tampak lebih jelas, seolah usianya telah melewati kepala 5 meski faktanya tahun ini usianya masih 47 tahun. Tapi Haruto rasa ia tak seharusnya seheran ini.

Akhir-akhir ini banyak masalah terjadi, wajar jika beban stress ayahnya bertambah, ia harus menghandle pekerjaan tuan Song yang sempat terkena serangan jantung sekaligus mengurusnya seorang diri di Amerika.

"Sudah cukup lama ya sejak kita bicara berdua seperti ini,"Ryuu membuka kecanggungan yang melanda selama beberapa menit.

"Ya, ayah sibuk, aku pun juga,"sahut Haruto sambil menatapi kopinya. Hubungan mereka memang cukup dingin karena keduanya sama-sama tipe manusia yang tak banyak mengumbar kata.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik."

Selesai. Selanjutnya, Haruto lebih banyak menunduk atau sibuk meniupi kopinya yang masih panas, sedangkan Ryuu memilih memandangi wajah yang mirip sekali dengan mendiang istrinya itu.

"Ayah ke sini untuk menyampaikan sesuatu."

Haruto mengangkat kepalanya, perasaanya menjadi was-was tatkala melihat senyum yang tadi terkembang kini berganti raut cemas.

"Tuan Song sudah tahu soal Jihoon yang keluar dari rumah."

Haruto sama sekali tak kaget, tuan Song sudah kembali, justru aneh kalau dia tak cepat sadar bahwa anak bungsunya menghilang.

TREASURE [The Death Of Shiroibara] Where stories live. Discover now