The Day (1)

583 91 41
                                    

Jihoon melangkah terseok-seok menapaki jalan setapak menanjak diantara pepohonan dan semak.

Rasa sakit dari tanda di tubuhnya kian menjadi-jadi. Padahal hari masih sore tapi langit seolah menjemput malam lebih cepat.

Langit kelabu makin menggelap dan burung-burung telah bersemayam di sarangnya. Angin bertiup kencang menggoyang ranting-ranting pohon dan dedaunan, sepertinya sebentar lagi badai akan datang.

Wajah Jihoon yang sepucat kertas banjir peluh, pakaiannya basah keringat. Dadanya mulai sakit, entah kenapa.

Jalanan menanjak itu berujung pada tebing yang mengarah ke lautan lepas.

"Ugh... "Jihoon terjatuh, rasa sakit hebat menjalar dari pinggul ke punggung, seperti ditikam pisau.

"Uhuk...."Ia terbatuk-batuk hebat, tangannya menepuk-nepuk dadanya yang terasa sangat sakit. Jihoon terkejut saat batuknya yang kesekian, mulutnya menyemburkan darah.

Da-Darah?

Dia kenapa?

Dia sakit apa?

Tapi Jihoon tak ada waktu untuk berpikir. Lagi pula itu tak lagi penting. Ia merogoh ke dalam saku, mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat lalu melempar ponsel ke dalam saku lagi.

Kedua telapak tangannya yang belepotan darah ia bersihkan dengan sapu tangan, begitu juga bekas darah di sekitar bibir.

Sambil meringis pedih Jihoon berpegangan erat pada batang pohon, berusaha berdiri lagi. Tinggal beberapa langkah ia akan sampai di tebing.

Punggung sosok tinggi yang sangat ia kenali telah menunggunya, berdiri di tepi tebing menghadap ke lautan lepas.

Jihoon terkekeh dan berusaha berdiri tegak, bersikap seolah baik-baik saja meski rona pucatnya kentara jelas.

"Lama menunggu Haru..."

Sosok itu berbalik menghadapnya, tangannya mengangkat tinggi lentera ke depan wajah, raut datarnya tertimpa bias cahaya orange dari nyala api, terkesan seperti boneka hidup tanpa ekspresi.

Lentera itu adalah satu-satunya penerangan di tengah gelapnya pepohonan sekitar. Langit kelabu telah berganti kelam, hembusan angin kian menderu-deru, dan suara debur ombak di kejauhan kian mengganas.

"Kau datang Ji..."

"Tentu saja, kau mengirim pesan khusus padaku, menyuruhku datang ke sini."

Haruto terkekeh,"Kurasa kau tak bodoh untuk paham maksudku Jihoon."

Satu sudut bibir Jihoon tertarik naik,"Kau mau aku membayar kematian ibumu kan?"

Haruto melangkah ke arah Jihoon, ia mengulurkan lentera ke depan wajah tuan mudanya ketika jarak mereka tinggal satu setengah langkah,"Pintar seperti biasanya,"ucapnya dengan seringai.

"Bagaimana rasanya balas dendam? Menyenangkan kan?"tanya Jihoon santai.

"Kenapa bertanya? Kau sudah merasakannya sendiri kan."

Jihoon tertawa kecil namun nafasnya sedikit tersengal karena tato di pinggangnya sakit lagi,"Justru karena aku sudah merasakannya, aku ingin mengatakan ini, dendam hanya akan mengubahmu menjadi monster Haru, rasanya memang menyenangkan di awal tapi dendam hanya akan menciptakan mata rantai tak berkesudahan, percaya padaku."

Haruto tertawa remeh,"Kau mengatakan ini karena takut mati?"

Jihoon menggeleng pelan,"Sampai kapanpun dendammu akan menghantui Haru, apalagi kau melibatkan teman-temanmu, kau tak kasihan dengan mereka yang hanya outsider? Dengan mendiang ibumu? Kau pikir beliau senang melihat anaknya hidup seperti ini?"

TREASURE [The Death Of Shiroibara] Where stories live. Discover now