Extra Chapter (3)

2.2K 367 93
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, Fajri masih belum bisa tertidur, semenjak kepergian Fiki waktu itu, Fajri memang sulit sekali tertidur, tiap Fajri memejamkan matanya dia selalu terbayang Fiki yang merintih kesakitan.

Dan kini setelah dua bulan lamanya kepergian Fiki, Fajri kembali lagi ke kamar ini, kamar Fajri dan Fiki, kamar yang di dominasi pernak pernik Ultraman kesukaan Fiki.

Fajri menarik napasnya dalam-dalam, dan mengambil ponselnya yang sebelumnya ia simpan di nakas yang berada di sampingnya, ia menyalakan ponselnya yang terdapat foto Fikih sedang tersenyum manis pada layar kunci ponselnya.

"Pik, Abang kangen. Kangen banget" lirih Fajri sambil menatap foto Fiki yang tersenyum pada layar ponselnya.

Fajri kemudian memutar sebuah Vidio dimana Fiki sedang merengek karena bakpao nya jatuh ketanah dan tidak bisa di selamatkan, tangisan Fajri kini semakin pecah, ia bahkan kesulitan bernapas saat ini.

"Berat banget, Pik. Berat banget gak ada Piki" lirih Fajri sambil memukul mukul dadanya beberapa kali

Tangisan Fajri rupanya terdengar ke telinga Fiki kecil yang sebenarnya sudah tertidur di sampingnya, sejak jam 9 malam.

"Abang kenapa? Abang kok nangis? Abang kebelet pipis, ya? Mau aku anterin ke toilet?" Tanya Fiki sambil mengucek salah satu matanya

Fajri langsung menarik Fiki kecil kepelukkannya, Fajri benar-benar tidak bisa mengontrol kerinduan nya pada Adiknya

"Abang kangen Adeknya Abang lagi, ya?" pelan Fiki yang langsung di jawabi anggukan kepala dari Fajri

Fiki mengusap lembut punggung Fajri "Abang harus kuat, biar Adeknya Abang juga bahagia. Karena ngeliat Ultramannya tetep kuat" sambung Fiki seketika membuat Fajri melepaskan pelukannya

"Ultraman? Dari mana Fiki tau sebutan itu?" Tanya Fajri ke Fiki

"Aku tadi gak sengaja baca tulisan di lemari kaca itu" ucap Fiki sambil menunjuk ke arah lemari kaca yang terdapat banyak koleksi Ultraman Fiki di dalamnya

Fajri langsung berlari menuju lemari itu, Fajri kembali menangis melihat sebuah coretan yang di yakini adalah tulisan Fiki

"Namaku Fiki, aku suka makan bakpao, aku punya banyak mainan, aku punya Papah yang keren, aku punya dua Mamah yang cantik, aku juga punya Abang yang ganteng dan kuat seperti Ultraman, Abang aku selalu melindungi aku, kalau aku sudah besar, aku mau seperti Abang"

Fajri mengusap lembut tulisan itu "Piki.. Abang kangen Pik" lirih Fajri bersama dengan tangisannya

"Abang.." lirih Fiki membuat Fajri dengan cepat menoleh ke arahnya.
Dan membuat Fajri berlari menghampiri dan memeluknya.

**

Pagi kembali tiba, hari ini adalah hari Minggu, Gilang, Ricky dan zweitson sudah ada di rumah Fenly sejak tadi, menunggu Fenly yang sedang bersiap untuk ke kantor polisi untuk menjenguk Shandy.

"Mah.. ayo kita ke Kaka. Mah, Kaka butuh Mamah" pelan Fenly yang sedari tadi sibuk membujuk Mamahnya

"Mamah bilang Mamah gak mau ketemu anak itu lagi, bisanya cuma buat malu keluarga" tegas Maya cukup kencang hingga terdengar ke  telinga Gilang, Ricky dan Zweitson

"Tante, Shandy emang narapidana dan mungkin udah buat Tante malu karena itu. tapi, Tan. Apa Tante tau kalo Shandy sudah berhenti dari pekerjaannya itu jauh sebelum kejadian waktu itu? Mungkin Gilang bakalan terdengar gak sopan saat ini, tapi Tan, Shandy butuh Tante. Dia butuh support dari Tante" jelas Gilang yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Maya

Gilang menghela napas, tidak heran jika Shandy dan Fenly keras kepala, itu sepertinya sifat turunan dari Mamahnya

"Mungkin, Tante marah sama shandy karena dia jadi tahanan saat ini, tapi itu semua karena Shandy sayang banget sama Tante sama Fenly. Dia bahkan rela masuk penjara biar hidup Tante sama Fenly tenang tanpa pengganggu. Lalu setalah Shandy mengorbankan diri buat Tante sama Fenly, sekarang Tante malah benci sama Shandy? kalo Gilang jadi Tante, Gilang bakalan bangga banget punya anak kaya Shandy. Meskipun Shandy gak sepintar Fenly di bidang akademis, tapi Shandy rela melakukan apapun buat kebahagiaan Tante dan Fenly. Meskipun harus ngorbanin dirinya sendiri"

Gilang kembali menghela napas panjang "Shandy memang anak yang arogan suka berantem di luar, siapapun Shandy lawan, tapi kalo sama Tante dan Fenly, dia berubah jadi kucing kecil, itu kerena apa? Karena rasa sayang nya dia ke kalian"

"Gilang tau kok, selama Tante pergi waktu itu Tante selalu Vidio call Fenly tiap pagi, Tante selalu tanyain keadaan Fenly tiap pagi, apa Fenly sehat, apa Fenly bahagia, apa Fenly makan cukup. Tap Tante gak pernah sekalipun, telpon Shandy dan nanyain keadaannya, Tante pikir Shandy gak sedih?! Sebenernya Shandy juga sedih Tan. Shandy juga butuh kasih sayang Tante sebagi seorang ibu"

"Shandy selalu jadi pihak pertama yang Tante salahkan setiap ada hal buruk ke Fenly, dan secara gak langsung Tante membuat Shandy terbiasa menyalahkan dirinya atas segala hal buruk itu, meskipun itu semua bukan salah dan tanggungjawab Shandy. Mental, Tan, mental. Apa Tante pernah mikir sekali aja tentang mental Shandy? Tamparan, makian bahkan kebencian selalu Tante kasih ke Shandy, Shandy juga anak Tante, bukan cuma Fenly"

Maya mengangguk dengan mata berkaca-kaca "anak itu, dia benar benar mirip seperti Papahnya, dia gak pernah bilang ke Tante tentang semua perasaannya, tentang semua bebannya, tentang semua lukanya"

"Gimana caranya dia bilang ke Tante kalo selama ini yang tante perduliin cuma Fenly? Gimana Tan? Jelasin gimana caranya!" tanya Gilang sedikit berteriak karena kehilangan kontrol pada dirinya.

"Shandy itu rapuh Tan. Bener-bener rapuh. Bahkan yang buat Shandy rapuh itu adalah Tante sendiri"

"Bang, cukup!!" Tegur Fenly ke Gilang saat melihat Mamahnya menangis

"Mah.." pelan Fenly sambil memeluk Mamahnya

"Mamah gapapa, Gilang benar ini salah Mamah. Ayo kita ke Kaka kamu sekarang, Mamah kangen sama Kaka" lirih Maya ke Fenly seketika membuat semua senang.

***

"Mamah.." gumam Shandy yang langsung berlari dan berlutut di hadapan Mamahnya sambil menangis memohon maaf.

Maya kemudian memegang kedua lengan Shandy dan mengajaknya untuk berdiri, Maya menatap anak sulungnya yang semakin hari semakin mirip alm suaminya itu.

"Gilang udah cerita semuanya sama Mamah. Maafin Mamah yah.. Mamah gak sadar udah buat luka yang parah buat anak Mamah sendiri" lirih Maya sambil menatap Shandy dengan mata yang berkaca-kaca

"Enggak, Mamah gak perlu minta maaf, Kaka yang harusnya minta maaf. Maaf udah buat Mamah malu, maaf gak bisa jagain adek dengan baik, maaf Mah maaf"

Maya menggelengkan kepalanya "Mamah gak malu punya anak kaya Kaka, Mamah bangga punya anak kaya Kaka. Makasih, Kak. Makasih udah mau jadi penopang buat Adek selama ini, Mamah bangga sama punya anak sehebat Kaka"

Maya kemudian memeluk Shandy dengan erat dan tulus, tidak bisa di bohongi Maya juga merindukan anak sulungnya itu.

Fenly tiba-tiba menghampiri dan memeluk Mamahnya dan kakanya, membuat mereka akhirnya berpelukan bertiga

Farhan menatap haru pada Shandy yang akhirnya di temui Mamahnya, karena Farhan tau, selama ini Shandy selalu sedih saat tau sudah mengecewakan Mamahnya

"Jangan cengeng. Malu sama tato" gumam Gilang sambil menyenggol lengan Farhan yang kini berdiri di sampingnya

"Ah rese, lo!" protes Farhan sambil merangkul leher Gilang membuatnya tertawa bersama

RUMAH TANPA ATAP (Completed)Where stories live. Discover now