ONE

81.2K 5.9K 99
                                    

Happy reading-!♡

Perkenalkan, namaku Lessy Agatha Pricilla. Aku adalah seorang wanita karir yang sangat suka menyibukkan diri dengan berlembar-lembar kertas diatas meja kerjaku, dibandingkan dengan menghabiskan waktu berkencan dengan lelaki, seperti perempuan di luaran sana.

"Lessy, sampai kapan kamu begini? Kamu itu sudah cukup umur! Sudah waktunya kamu untuk menikah, Ibu ingin melihat kamu menikah, selagi Ibu masih ada. Kalau kamu begini terus, bisa-bisa kamu jadi perawan tua!"

Aku memutar bola mata malas, lagi-lagi seperti ini. Orang yang sedang berbicara itu adalah Ibuku, Ressita. Ibuku itu selalu saja datang ke kantorku, dan berakhir menceramahiku di ruang kerja.

Menyuruh menikah apanya? Aku sungguh tidak berminat saat ini. Lagian juga aku masih berumur 24 tahun, tidak setua itu. Kalau aku mau, aku bisa saja mendapatkan laki-laki dengan cepat karena tampangku yang rupawan ini, tapi maaf saja, aku belum berminat untuk memiliki hubungan dengan lelaki manapun saat ini, sungguh.

"Ibu, sudah kubilang berulangkali, aku masih ingin fokus pada karirku Bu." Ucapku, sembari menghela nafas lelah saat melihat mata Ibuku yang sudah melotot lebar, aku tak akan kaget kalau bola mata itu bisa keluar kapan saja dari tempatnya.

Aku berdiri dari bangkuku, dan berjalan mendekat pada Ibu, "Bu, Lessy janji. Saat Lessy sudah siap, Lessy akan membawa calon untuk diperkenalkan ke Ibu, jadi Ibu yang sabar ya? Jangan menagih Lessy terus-menerus untuk menikah."

Aku menggenggam tangan Ibuku, lalu mengelusnya pelan untuk menyakinkan bahwa aku tidak beralasan.

Ibu balas menatapku, kemudian menghela nafas panjang, "Baik, tapi ingat! Kamu harus tepati janjimu itu,"

Setelah mengucapkan itu, Ibu bangkit berdiri dan kemudian berpamitan pulang kepadaku, "Ibu pulang dulu, kamu jangan terlalu keras bekerja, sering-sering lah beristirahat! Tidak perlu khawatir tidak sering datang ke kantor, karena kamu bosnya disini!"

Aku tertawa pelan, "Haha, iya Bu, aku akan beristirahat kalau aku ingat."

Ibu mendelik mendengar jawabanku, aku yakin ia sedang kesal sekali denganku.

Setelah itu, Ibu pergi meninggalkan ruang kerjaku.

Aku memijat pangkal hidungku, hari ini benar-benar melelahkan. Aku mengernyit saat mengingat ucapanku pada ibu tadi, Bagaimana bisa kata janji itu keluar dari mulutku? Aku sudah terlanjur berjanji pada Ibu untuk mengenalkan calon menantu kepadanya, aku harus bagaimana?

Sebenarnya tadi aku tidak bersungguh-sungguh berjanji, aku reflek berbicara seperti itu karena sudah lelah mendengar ceramah Ibu yang menyuruhku untuk menikah.

Aku mengacak rambutku frustasi, "Arghh nambahin beban pikiran aja!"

Tak lama, pintu ruanganku terbuka, menampilkan sosok laki-laki jangkung dengan pakaian rapi, dia adalah sekretaris pribadiku, Axel namanya.

"Xel, lo mau nikah sama gue nggak?" tanyaku spontan.

Kulihat Axel tersentak pelan saat mendengar ucapanku, lalu menjawab singkat, "nggak mau."

Aku melotot menatapnya, "Sialan."

Yah aku memang sudah menduga jawaban yang keluar dari mulut laki-laki itu, tapi tetap saja, mendengar jawabannya itu membuat harga diriku sedikit terluka.

Axel selalu menolak saat kuajak menikah denganku, aku tak tau apa yang ada dipikirannya itu, padahal banyak lelaki diluaran sana yang mengemis-ngemis cinta padaku. Huh, Axel menyebalkan!

Oh iya, jangan kaget kalau aku berbicara informal pada Axel, Aku dan Axel memang sudah kenal lama, kami adalah sahabat sejak SMA.

Jadi saat hanya ada kita berdua, aku menyuruhnya untuk berbicara santai saja walaupun sekarang posisinya aku adalah atasan di perusahaan dia bekerja. Bagaimana? Aku baik kan? Ya sudah jelas.

"Xel, gue harus gimana? Tadi gue udah janji sama Ibu buat ngenalin calon menantu. Lo kan tau gue belom siap untuk deket sama cowok manapun selain lo, gue masih trauma Xel," Aku menatap melas pada Axel, berharap Axel bisa memberikan solusi untukku.

Axel mengelus rambutku pelan, "Gue nggak ada solusi buat lo, mending lo mikir solusi lo sendiri." Jawabnya tanpa merasa bersalah.

Langsung saja kupukul dada Axel yang berdiri didepanku, "Sialan lo nggak membantu sama sekali Xel."

Axel malah tertawa, sepertinya membuatku kesal memanglah hobinya.

"Udahlah, mending lo istirahat aja dulu dari kerjaan lo ini. Istirahat buat tenangin pikiran lo." Hanya itu saran dari Axel padaku, kemudian ia pergi ke meja kerjanya yang ada diujung meja kerjaku, kita memang satu ruang kerja, karena ia adalah sekretaris pribadiku, ruangan kita hanya dibatasi sekat pembatas.

.
.
.
Bersambung...

Another DimensionWhere stories live. Discover now