EIGHT

32.9K 4.8K 123
                                    

Happy reading-!♡


Sudah beberapa hari aku tinggal disini. Aku dan Axel, ralat, Ravino kemana-mana selalu menempel dan lengket.

Membuat beberapa penghuni mansion kebingungan, sebab di dalam novelnya, Alsyena itu tidak terlalu dekat dengan Ravino yang sifatnya sedingin gunung es.

Sedangkan sekarang, setelah aku dan Axel memasuki tubuh Alsyena dan Ravino. Kami jadi terlihat sangat akrab membuat yang lainnya kebingungan.

Hal yang sama terjadi pada Ravano, sepertinya anak itu merasa tersisihkan karena aku jarang berdekatan dengannya, dan malah selalu menempel pada kembarannya.

Ravano selalu datang padaku dan mengomeliku, dia sudah persis seperti Ibuku yang suka mengomel.

"Syena, kenapa kamu tidak membalas ucapanku? Aku malah terlihat seperti sedang berbicara sendiri, huh!" Nah kan apa kubilang, dia memang sudah persis seperti Ibuku.

Ya, sebenarnya aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ravano, kepribadiannya yang ceria dan positif membuatku tenang dan dapat berpikir bahwa Ravano berbeda dari yang lain.

Aku akan aman saja jika bersamanya, jadi tak perlu khawatir. Pemikiran itu selalu muncul saat dia berbicara padaku.

Axel juga tak masalah, kita saling membantu jika sedang kesulitan.

Oh iya, Ravano dan Ravino ini berusia 15 tahun. Mereka berbeda lima tahun dengan Alsyena. Dan aku Lessy, adalah jiwa berumur 24 tahun yang menempati tubuh anak perempuan berusia 10 tahun. Sungguh gila.

Ravino yang tubuhnya ditempati oleh Axel, diangkat menjadi sekretaris keluarga Duke karena kepandaian dan kecekatannya. Ya jelas dong, jiwa yang berada di tubuh Ravino kan jiwa Axel, sekretaris pribadiku yang kinerjanya sangat memuaskan!

"Kak Vino, aku lapar," ucapku pada Axel. Yah, sejak beberapa waktu yang lalu, aku disuruh memanggilnya dengan embel-embel Kakak, dan juga berbicara dengan formal padanya, karena mengikuti aturan tata krama.

Nggak mungkin juga kan aku ngomong pakai bahasa gaul disini? Yang ada orang-orang disekitar nggak ngerti apa yang kubicarakan.

Ravano merenggut, "Adik, aku disini loh, kenapa kamu justru memanggil Vino?" Sepertinya ia kesal karena merasa tak dianggap.

"Maaf kak Vano, tapi aku lapar" balasku memelas.

"Ya sudah, mari kita pergi ke ruang makan, sebentar lagi juga sudah waktunya makan siang," Balas Ravano, mengandeng tanganku disebelah kanan, sedangkan Ravino menggandeng tanganku sebelah kiri.

Kita pun berjalan bersama menuju ruang makan yang lumayan jauh letaknya.

Disepanjang koridor aku mendengar beberapa bisikan dari para pelayan mansion yang membicarakan tentang aku dan kedua kakak kembarku.

Mungkin mereka bingung, sudah jelas mereka bingung. Sebab Alsyena yang dulu selalu bersifat dingin pada kakaknya itu. Dulu dekat dengan Ravano pun karena Ravano duluan yang mendekati Alsyena.

Berbeda dengan sekarang, Alsyena yang tubuhnya kutempati terlihat lebih menerima kehadiran Ravano dan Ravino.

Sesampainya di ruang makan, sudah ada Tuan Duke Legter De'Xavier dan kakak pertama Alsyena yang bernama, Cassian De'Xavier. Duduk ditempat duduk mereka.

Alsyena itu empat bersaudara, dan dia adalah anak bungsu perempuan satu-satunya di mansion Duke Xavier. Tapi, bukannya disayang dan dimanja seperti anak perempuan lainnya, Ayah Alsyena dan kakak Alsyena selalu mengabaikannya dan bersikap dingin padanya, kecuali Ravano yang memang kepribadiannya berbeda dengan para laki-laki dingin yang ada di mansion.

Mereka semua mengabaikan Alsyena karena Duchess Alseyra De'Xavier, Ibu Alsyena yang meninggal setelah melahirkannya ke dunia.

Dasar, dangkal sekali pemikirannya. Padahal kan itu memang sudah takdirnya.

Aku, jiwa Lessy yang sekarang berada ditubuh Alsyena, mengendikkan bahu. Aku tidak peduli dengan Kakak pertama dan Ayah baruku itu. Justru lebih bagus mereka bersikap tidak peduli seperti ini, Karena aku tidak perlu berdekatan dengan laki-laki lain yang bisa menyebabkan trauma yang tak kuinginkan timbul.

Aku sudah cukup hanya dengan adanya Axel disampingku, dan sekarang ditambah dengan Ravano, itu saja.

Aku duduk diatas kursi dibantu dengan Axel, memang kursi dan mejanya lebih tinggi dibandingkan tubuhku yang sekarang menyusut seperti ini. Aku tersenyum geli menatap Axel, sepertinya dia benar-benar menganggapku sebagai adiknya, karena selama ini dia bersikap seperti kakak yang baik.

"Geli gue liat lo kayak gini," Bisikku.

Axel ikut terkekeh geli, "Sama gue juga geli, tapi suka." balasnya juga berbisik.

Aku dan Axel tertawa bersama.

Ternyata hal itu tak luput dari perhatian Ayahku, Kakak pertamaku, dan Ravano. Mereka menatapku dan Ravino dengan tatapan err ... iri? Entahlah mungkin aku salah liat.

Kudengar Ayahku berdehem, "Ekhem, tidak boleh bercanda saat dimeja makan. Makanannya segera dimakan." Ucapnya, bersamaan dengan berbagai makanan yang sudah tersaji rapi diatas meja.

Aku menatap takjub pada pemandangan didepanku, semua makanan ini terlihat sangat lezat.

Dengan segera aku ingin mengambil satu potong paha ayam dengan tanganku, tetapi sudah lebih dulu ditepis Axel, "Sesuai tata krama goblok, lo sekarang udah jadi putri." Ucapnya berbisik pelan, sembari memastikan tak ada yang mendengar ucapannya selain aku dan dirinya sendiri.

Aku mendesah kecewa, huh! menjadi putri bangsawan memang merepotkan, banyak sekali peraturan yang harus dijalani, melelahkan.

Aku pun menurut, mengambil beberapa potongan sesuai tata krama yang sudah diajarkan oleh guru privatku, untungnya aku memang anak yang gampang belajar, jadi semua pelajaran bangsawan yang dipelajari Alsyena, sudah ku kuasai semua.

Seperti tata krama, sejarah, politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, dansa, piano, merajut, berkuda, pedang dan panahan, dan juga strategi perang.

Cukup gila bukan?

Pelajaran seperti itu sudah harus diajarkan pada seorang anak bangsawan sejak mereka masih kecil, yang bahkan masih belum bisa membedakan mana hal yang baik dan buruk untuk dilakukan.

.
.
.
Bersambung...

Another DimensionWhere stories live. Discover now