7. Labuan Bajo

193K 19.5K 269
                                    

Pesananku datang setelah aku menunggu selama 5 menit. Tidak terlalu lama sebenarnya, namun karena aku sudah sangat lapar, jadi 5 menit itu terasa sangat lama.

Aneka olahan seafood terpampang nyata di depanku, mulai dari kerang, kepiting, udang dan gurita. Untungnya aku tidak punya alergi dengan semua olah makanan itu.

"Silakan dinikmati," seru pelayan itu sebelum beranjak meninggalkan tempatku.

Aku menatap penuh gairah semua hidangan, rugi kalau tidak segera disantap. Ah kapan lagi menyantap makanan fresh seperti ini.

"Eh mbak kita ketemu lagi," seru seseorang saat aku baru saja akan memasukan potongan udang di dalam mulutku.

Aku menoleh dengan sedikit kesal. Saat perutku sudah meronta-ronta minta diisi, ada-ada saja yang mencoba untuk menghentikanku. Aku ingin sekali mengumpati orang itu, namun aku mencoba menahan agar imageku tidak rusak.

"Eh maaf saya ganggu ya?" tanya orang itu dengan tidak enak hati setelah melihat tatapanku.

Sejujurnya aku ingin menjawab, "Iya, kamu sangat menganggu."

Namun aku tidak setega itu, jangan sampai aku dikira sombong hanya karena tidak mengizinkan laki-laki itu duduk disebelahku.

"Nggak kok, silakan," jawabku singkat.

Akhirnya lelaki yang memperkenalkan diri bernama Dito itu memesan makanan, sementara aku diam saja sembari menyantap makananku. Aku tidak ingin membuang waktu sia-sia tanpa mencicip makanan yang katanya menjadi menu paling popular di sini.

Beberapa kali dia sempat mengajakku berbincang namun ku tanggapi dengan seadanya saja, sejujurnya aku lebih tertarik dengan hidangan ini daripada perbincangan membosankan itu.

***
Suara alaram yang berasal dari ponselku terdengar semakin menyakiti telinga. Ku putuskan untuk segera bangun sebelum gendang telingaku rusak. Kemarin, setelah pulang dari restoran aku langsung mandi dan tidur dan kasur empuk hotel seolah-olah memanggilku. Dulu, ketika masih bekerja aku tak pernah tidur dengan benar karena banyak pikiran.

Namun liburan 2 minggu ini akan kugunakan sebaik mungkin untuk membayar segala kelelahanku selama 6 tahun ini. Lagi pula pesangon dan hadiah yang diberikan mantan mertua sangat-sangat cukup untuk menikmati segala fasilitas nyaman di tempat ini.

Sembari mengucek mata, aku melangkah turun dari ranjang dan melangkah ke arah jendela lalu membuka lebar gordennya. Terpampanglah di depanku hamparan pantai yang indah. Baru pantai di depan hotel sudah memanjakan mata, apalagi sebentar aku akan bertandang ke Pulau Komodo yang semestinya lebih indah dari ini.

Aku sudah punya jadwal yang kususun sendiri untuk menjelajahi Pulau Komodo yang akhir-akhir ini memang menjadi objek wisata yang memanjakan mata.

Eh tunggu siapa tadi yang lewat?

Aku merasa mataku baru saja menangkap siluet seseorang yang sangat familiar namun aku sedikit tidak yakin, mengingat saat ini aku berada di lantai 4 hotel tempatku menginap. Mungkin saja aku salah lihat.

Setelah lebih dari sejam bersiap-siap aku akhirnya pergi mengendarai mobil untuk sampai di pelabuhan. Setelah memarkirkan mobil aku keluar menuju speed boat yang biasa disewakan.

"Mbak Nesa," teriak seseorang.

Aku menoleh dan lagi-lagi mendengus dalam hati. Entah apa yang terjadi sampai-sampai secara kebetulan lagi aku bertemu lelaki bernama Dito.

"Mbak mau ke Pulau Komodo?" tanyanya.

Aku mengangguk malas.

"Mas, saya sewa speed boat," seruku pada seorang lelaki paruh baya yang duduk tak jauh dari beberapa speed boat yang tengah parkir.

"Oh boleh, berdua kan?" tanya lelaki itu sambil menunjuk aku dan Dito.

Aku baru saja akan menggeleng sebelum Dito secara tiba-tiba bersuara.

"Iya saya berdua sama teman saya Mas."

Aku mulai jengkel sebenarnya. Niatku ke sini adalah menyendiri, menikmati kesendirianku bersama pulau indah ini. Namun lelaki yang baru saja ku kenal kemarin itu terus bergentayangan di sekitarku.

Sekitar 1,5 jam akhirnya kami sampai di Pulau indah yang pernah ku datangi 10 tahun lalu.

"Waw," seru Dito dengan suara cukup kencang.

Sepertinya lelaki itu baru sekali ini datang ke Pulau Komodo.

"Mbak, fotoin saya dong."

Aku melotot dan langsung memutar bola mata, dia pikir aku ini tukang foto pribadinya?

Entah kenapa aku merasa bahwa lelaki itu sepertinya sengaja mengabaikan tatapanku dan malah menyerakan kamera merek XX miliknya ke tanganku.

"Mbak, tahu kan cara motoin?"

Sialan. Dia pikir aku ini hidup di zaman batu?

***

Setelah mengambil beberapa gambar di puncak gunung dengan kamera milik Dito dan kameraku sendiri. Aku kembali mengedarkan pandanganku ke sekeliling gunung. Hingga mataku tiba-tiba melotot ketika kamera yang ada dalam genggaman tanganku sedang menangkap gambar seorang lelaki yang sangat-sangat ku kenal.

Tidak mungkin.

Orang itu semakin mendekat. Aku melepaskan kamera itu dari depan wajahku dan membiarkannya tergantung di leherku.

"Mas Adi," gumamku cukup pelan. Entah hal itu terdengar oleh telinganya atau tidak.

"Ya, ini aku. Kenapa kamu sangat terkejut? Tidak ada larangan bagiku untuk berada di sini kan?"

Ingin sekali ku sumpal mulut Mas Adi dengan sesuatu hingga membuat lelaki itu tidak bisa bicara lagi.

"Ya tidak ada, lakukan saja apa yang ingin bapak lakukan," seruku kesal dan langsung pergi dari hadapannya dan menghampiri Dito yang memasang wajah bingungnya.

Jadi yang kulihat tadi pagi di parkiran hotel benar adalah Mas Adi. Apa dia punya tugas luar kota? Ah sudahlah, bukan urusanku juga.

"Kenalan kamu?" tanya Dito.

Sementara aku langsung menggelengkan kepala. Mas Adi bukan lagi termasuk kenalanku. Dia hanyalah orang asing.

"Orang gila mungkin," tuturku dengan agak kesal.

Dito langsung tersenyum menyadari ekspresiku. Mungkin pikirnya bahwa aku dan Mas Adi mempunyai hubungan yang kurang baik. Terserahlah dia mau berpikiran seperti apa, toh hal itu tidak akan mempengaruhi jalan kehidupanku.

"Saya pikir dia mantan pacar kamu, soalnya kemarin juga saya lihat dia di bandara dan di kafe tempat kamu makan."

Aku sedikit terkejut dengan ucapan Dito tentang Mas Adi.

"Beneran?" tanyaku tidak percaya.

"Tidak, saya bohong," ucapnya sembari disertai kekehan.

Aku pikir beneran.

Gila saja kalau Mas Adi sampai mengikutiku ke sini.

"Halo saya Adi."

Tiba-tiba Mas Adi datang menghampiri aku dan Dito yang masih berbincang. Mas Adi juga mengulurkan tangannya di depan Dito yang tentu langsung disambut oleh laki-laki itu.

"Dito."

"Kamu tour guidenya Fira?" tanya Mas Adi dengan nada super kepo.

Sementara Dito nampak bingung.

"Fira? Maksudnya Mbak Nesa?"

Oh Iya, aku baru sadar bahwa Dito hanya tahu nama awalanku, Kanesa.

"Iya, kamu tour guidenya istri saya?"

Aku tersedak dengan salivaku sendiri mendengar ucapan Mas Adi yang dengan pedenya mengakuiku sebagai istrinya.

"Eh, istri? Kalian suami-istri?" tanya Dito dengan wajah super terkejut.

"Iya, kami lagi bulan madu di sini."

Saat ini aku benar-benar ingin melemparkan Mas Adi ke jurang di bawah sana.

Mas AdiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora