15. Fakta Baru?

199K 17.2K 137
                                    

"Jangan bercanda Mas," sungutku dengan wajah kesal.

"Aku nggak pernah bercanda kalau itu tentang keberlangsungan hubungan kita," balas Mas Adi dengan wajah serius.

"Aku nggak percaya," sahutku dengan nada sedikit naik.

Ya, aku tidak akan percaya dengan omong kosong yang dilontarkan oleh Mas Adi karena itu pasti akal-akalan dia untuk menjebakku agar kembali pada kehidupannya.

Tidak.

Aku tidak ingin lagi melihat pengkhianatan lelaki itu. Dulu, aku telah memberikannya beberapa kali kesempatan namun semuanya berulang dan membuat hatiku sakit.

Aku berdiri dan mengambil clutch bagku lalu melangkah sengaja menulikan telinga mendengar panggilan Mas Adi. Aku keluar dari sana dengan hati super dongkol.

***

Seminggu berlalu.

Pagi ini aku bangun dengan kondisi yang sama seperti kemarin, namun morning sickness yang ku alami kali ini lebih parah. Tiba-tiba juga aku ingin pelukan Mas Adi.

"Nesa, Mama mau bicara."

Suara mama terdengar saat aku baru saja selesai membasuh wajah dengan air. Beliau masuk ke dalam kamar yang memang sedang tidak ku kunci.
Wajah Mama nampak aneh menurutku.

"Kenapa Ma?" tanyaku sembari mengelap wajah dengan tisu.

"Udah lama Mama perhatikan kamu tiap pagi mual dan muntah, setelah itu kamu baik-baik saja nggak ada sakit apapun. Sebenarnya Mama nunggu kamu bicara karena sejujurnya masuk campur masalah kamu itu harusnya nggak usah Mama lakukan sebab kamu udah dewasa, udah pernah membangun rumah tangga. Tapi kayaknya kalau Mama nggak tanya kamu nggak bakal cerita."

Tiba-tiba ucapan mama membuatku gugup, takut dan merasa bersalah.

"Sekarang mama tanya."

Aku menahan napas.

"Kamu hamil?"

Rasa mual diperutku semakin menjadi.

"Jawab pertanyaan Mama."

Nada bicara mama tiba-tiba naik seoktaf. Saat itulah tangisanku pecah.

"Siapa?"

Mengabaikan tangisanku, Mama tetap melanjutkan introgasinya.

Ya, orang tua mana yang tidak akan bertanya ketika anak perempuannya tiba-tiba hamil sementara statusnya adalah seorang janda.

"Adi?"

Aku semakin mengeraskan tangisan.

"Mama akan telpon dia untuk ke sini besok. pokoknya masalah ini harus segera diselesaikan. Apa kata orang nantinya."

"Mama bukannya nggak bela kamu tapi kamu harusnya sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk."

Mama menepuk pundakku sebentar lalu beranjak dari kamarku, dari ekor mata aku melihat Mama mengusap mata, sudah pasti beliau juga menangis karena aku.

Tuhan, kenapa semuanya jadi rumit seperti ini?

***

Entah kenapa sore ini aku menjadi sangat takut, bukan karena melihat kemarahan Papa pada Mas Adi tapi karena aku takut mas Adi akan merancang segala sesuatu untuk mengikatku lagi. Saat aku masih sibuk dengan pikiranku, deruh mesin mobil terdengar oleh telingaku.

Astaga apakah itu Mas Adi?

Aku mengintip dari jendela kamar dan mataku langsung melihat mobil yang begitu familiar dalam ingatanku.

Sial! Rasanya aku semakin gugup.

Tak lama setelah itu aku mendengar suara Mama dari arah luar kamar yang memanggilku agar segera keluar. Penampilan sangat sederhana, lagipula kenapa juga aku harus berdandan seperti yang kulakukan beberapa tahun lalu saat Mas Adi melamarku.

Sekarang aku tidak sedang berbunga-bunga seperti saat itu jadi aku hanya memakai kaos oblong berwarna putih dan celana jins hitam selutut.

"Iya Ma," balasku.

Setelah memastikan segalanya termasuk persiapan hati akhirnya ku putuskan keluar kamar. Saat sampai di sana kulihat Mas Adi sedang bicara dengan papa, entah apa yang mereka bicarakan aku tidak sempat mendengarnya. Namun seperti itu begitu serius karena wajah Papa nampak menegang.

"Duduk," tandas Papa saat aku hendak membuka suara.

Aku tidak membalas namun segera melakukan apa yang diperintahkan Papa.

"Kapan itu?" tanya Papa.

Aku menoleh. Kapan apa maksud papa?

"Saat di belibur ke Labuan Bajo," jawab Mas Adi dengan begitu tenang.

Aku langsung melotot, jadi itu maksud pertanyaan Papa. Astaga! Kenapa harus ditanya dari sana? Pipiku terasa panas.

"Berapa kali?"

"Uhk..Uhkk..."

Aku terbatuk, sepertinya tersedak dengan salivaku sendiri karena mendengar pertanyaan papa yang selanjutnya. Memangnya harus sedetail itu dia bertanya?

Sementara kupandangi wajah Mas Adi yang sangat tenang.

"Sekali."

Oh gila, pipiku rasanya ingin segera meledak.

"Lalu sekarang apa yang akan kalian lakukan? Jujur saja papa adalah orang pertama yang akan mempertahankan bayi itu."

"Mama orang kedua," sahut Mama.

"Aku orang ketiga Pa," imbuh Mass Adi.

Sementara aku adalah satu-satunya orang yang tidak membuka suara.

"Aku dan Fira sejujurnya nggak pernah bercerai."

"Mas!" teriakku.

Boleh saja dia membodohi dan membohongiku tapi tidak dengan mama dan papa, Mas Adi tidak berhak melakukannya.

"Nggak usah membuat kebohongan ya," kesalku.

"Aku nggak bohong dan aku punya semua buktinya," balas Mas Adi dengan nada serius.

"Kalau Mas Adi Cuma mau bercanda lebih baik Mas Pulang. Nggak perlu bertanggung jawab, aku bisa urus anak ini sendirian."

Aku berdiri dan menunjuk wajah Mas Adi dengan tangan yang bergetar. Pelupuk mataku berair, sebegitu kesalnya aku sampai rasanya ingin berteriak dan meraung untuk mengeluarkan tangisanku. Mas Adi selalu punya cara licik untuk mempertahankan semuanya.

"Duduk Nesa," teriak Papa dengan suara keras dan tegas.

Aku kembali duduk.

"Kenapa bisa kamu dan Nesa belum bercerai Adi? Bukankah waktu itu sudah sah? Coba kamu jelaskan."

Papa dan Mas Adi sama, mereka sama-sama jenis manusia yang menghadapi masalah selalu dengan kepala dingin, berbeda denganku yang suka sekali menggebuh-gebuh apalagi aku tahu bahwa aku benar.

"Semuanya manipulasiku Pa."

Aku mengerutkan kening saat mendengar jawaban Mas Adi pada papa.

"Manipulasi? Maksudnya gimana itu Adi?"
Kali ini Mama yang membuka suara.

"Jadi-"

Mas AdiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora