20. Cemburu Tingkat Dewa

192K 14.9K 192
                                    

Hai selamat siang semuanya.

Emak hadir lagi di minggu yang cerah ini. Eh di Manado lagi cerah banget, di tempat kalian gimana?

Selepas dari gereja, Emak ngetik ini. Semoga kalian terhibur ya.

Selamat membaca 😊

Sudah 3 hari aku di rumah mertua, aku juga sudah memberikan kabar ke Mama dan Papa bahwa untuk sementara aku tidak bisa pulang ke Bandung karena sekarang aku sudah tinggal bersama kembali dengan Mas Adi.

Hari ini aku mau ketemu teman-teman kantor, katanya ketemuan di Mall selepas jam kerja mereka.

Aku sudah siap saat waktu menunjukan pukul 16.45 WIB. Aku turun ke lantai bawah, rumah masih sepi karena orang rumah belum pulang kantor.

"Mas Franki, bisa anterin saya ke Mall XX?" tanyaku.

"Ya bolehlah Ibu Nyonya, tunggu saya siapin mobil ya."

Lelaki berusia 38 tahun itu pamit dari hadapanku menuju garasi mobil.

Aku menelpon Mas Adi untuk meminta izin, namun ponselnya tidak aktif. Aku telpon Tatiana tapi perempuan itu tidak masuk kerja karena tunangannya masuk rumah sakit.

Sudahlah, nanti saja aku telpon Mas Adi kalau sudah sampai di Mall.

***

Bencana.

Rencana pertemuan kami batal, mantan teman-teman kantorku malah dapat pekerjaan tambahan dan mengharuskan lembur. Sementara hanya Mas Gibran yang memang sudah pindah divisi yang dapat bertemu denganku.

Jangan khawatir, Mas Gibran tidak sendiri tetapi dia membawa serta istri dan anaknya. Tuh anaknya Mas Gibran ditemani sang mama lagi main-main di depan sana. Sementara aku dan Mas Gibran duduk-duduk santai sembari menunggu pesanan minuman kami.

"Jadi rujuk nih sama Pak Adi?" tanya Mas Gibran dengan senyum menggoda.

"Ya, gitulah. Lagi hamil pula nih."

Mas Gibran menatapku serta perutku dengan wajah tidak percaya.

"Kamu hamil?" tanyanya lagi.

Aku langsung menganggukan kepala.

"Hebat banget ya Pak Adi. Cepat mencetak gol."

Kami tertawa.

"Eh awww!" jeritku tiba-tiba saat cappucino panas yang dibawakan oleh pelayan tak sengaja tertumpah mengenai tangan kananku.

"Eh Maaf, Maaf Mbak."

Pelayan itu panik.

"Kamu nggak apa-apa Nes?" tanya Mas Gibran dengan wajah yang panik juga.

Aku meringis.

"Mbak tolong ambil air es, teman saya kepanasan nih," ucap Mas Gibran.

Lelaki yang sudah kuanggap sebagai kakak lelakiku itu mengambil tanganku dan mengambil air es yang dibawakan oleh pelayan untuk membasuh tanganku.

"Fira!"

Entah dari mana, Mas Adi tiba-tiba muncul di hadapan kami. Segera aku melepaskan tangan Mas Gibran dari atas tanganku, berharap agar Mas Adi tidak akan salah paham.

"Eh Pak Adi, saya dan Nesa lagi-"

"Diam! Saya nggak bicara sama kamu."

"Kamu kok nggak bilang mau ke Mall? Terus ketemuan sama Gibran di sini? Ngapain?"

Nada bicara Mas Adi sudah mulai tidak enak didengar, sepertinya dia marah. Sebelum orang-orang memperhatikan kami aku menarik tangan mas Adi untuk segera pergi dari sana.

"Mas Gib, nanti bilang sama yang lain tentuin jadwal ketemuan ulang ya, aku pergi dulu."

Mas Gibran menganggukkan kepalanya, dia sepertinya sudah mengerti dengan sifat Mas Adi yang kadang jadi emosian.

***

Mas Adi tidak membawaku ke rumah ataupun apartemen kami yang dulu tetapi di membawaku kembali ke kantor karena ada yang harus dia urus.

Dia tidak bicara selama dalam perjalanan.

"Diam di ruangan ini sampai aku kembali," titahnya dengan nada dingin.

Aku bahkan belum sempat menjelaskan, dia sudah pergi.

Sekitar 30 menit, akhirnya Mas Adi kembali.

"Duduk di sini," ucap Mas Adi sambil menepuk pahanya.

"Mas kamu gila? Kenapa juga aku harus duduk di pangkuan kamu sedangkan ada sofa di sini."

Aku menolak ajakannya, dia lagi marah dan tidak baik berada dalam jarak dekat dengan Mas Adi. Aku lebih memilih duduk di sudut sofa.

"Kenapa? Bukankah kita suami-istri? Permintaan aku wajarkan?"

"Aku ingatkan kalau Mas lupa kita lagi di kantor," ucapku dengan nada kesal.

"Ngapain ke Mall ketemuan sama Gibran?" tanyanya dengan nada dingin dan menusuk.

Oke, sepertinya dia salah paham.

"Kita ketemuan bareng anak-anak kantor tapi yang lain nggak jadi, lembur katanya. Lagi pula Mas Gibran bareng istrinya."

"Aku nggak lihat istrinya."

Aku menghela napas.

"Ngapain juga dia pegang-pegang tangan kamu?"

Nada bicara Mas Adi naik seoktaf.

"Tangan aku ketumpahan kopi panas Mas, Mas Gibran cuman mau nolo-"

"Diam. Berhenti nyebut dia dengan embel-embel Mas!"

Astaga, lalu aku harus panggil Mas Gibran dengan sebutan apa? Mas Gibran kan lebih tua dari aku. Nggak mungkin aku manggil Bapak atau Om kan?

"Tapi Mas Gib-"

"Diam!!"

Laki-laki itu menunduk dan meraih tubuh mungilku yang berbalut dress kuning pudar.

"Nggak Mas, ini nggak benar," ucapku.

"Ini benar Fira, kamu istri aku. Nggak ada yang salah."

Aku menahan dada laki-laki itu.

"Mas nggak bisa di sini."

"Nggak! Aku marah, aku cemburu dan aku pengen menghukum kamu Fira."

"Nggak Mas, kita harus selesain dulu kesalahpahaman kamu sama aku dan Mas Gib-"

"Sialan!!!"

Mas Adi berdiri dan memberi bogemannya pada sebuah cermin hingga retak bahkan sebagian belingnya menancap di buku-buku jari tangannya. Darah mengalir deras dari luka di tangannya.

Aku menjerit ketakutan.

Aku tidak pernah melihat Mas Adi semarah ini, mata laki-laki itu memerah dan berair saking emosinya.

"Aku benci kamu nyebut dia seperti itu."

"Gibran Sialan!!"

Amukan Mas Adi tak terkendali. Laki-laki itu semakin menonjok cermin yang sudah retak itu. Hingga darah dari tangannya sudah terciprat kemana-mana.

Aku tidak mengira bahwa Mas Adi akan mengamuk seperti ini.

"Mas, hentikan."

Nafasku tercekat. Mas Adi masih belum menghentikan aksinya. Laki-laki itu bisa kehabisan darah. Aku ingin berteriak meminta pertolongan sementara ruangan itu kedap suara.

"Mas."

Aku memeluk tubuh laki-laki itu dari belakang mencoba menghentikan aksi gilanya.

"Aku cinta kamu, aku benci lihat kamu sama orang lain. Aku benci kamu manggil laki-laki yang bukan keluarga kita seperti itu dan paling aku benci, dia berani nyetuh kamu."

Mas Adi berbalik dan memelukku erat. Darah yang mengalir ditangannya tak hanya mengotori pakaiannya sendiri tapi juga lantai bahkan pakaian yang aku kenakan.

"Mas."

Belum sempat aku bicara, Mas Adi sudah mencium bibirku. Menciumku dengan segala kelembutan yang bahkan tak bisa ku tolak.

Mas AdiWhere stories live. Discover now