18. Rujuk?

195K 17K 321
                                    

"Mama bilang sarapan dulu."

"Iya Mama, aku cuma mau cuci dulu," tegasku.

Entah kenapa semenjak hamil aku menjadi sangat sensitif dan mudah emosi, mungkin bawaan bayi, kurasa hal seperti ini sangat biasa dialami oleh wanita yang sedang mengandung.

Aku memakan sarapanku dengan diam, malas sekali membuka suara. Hingga ponselku berdering.

"Hapenya bunyi Nes," ujar mama sedikit keras dari arah dapur mungkin karena aku tak kunjung mengangkat panggilan telpon.

"Iya Ma," balasku pelan.

Aku mengambil ponsel itu dan memutuskan untuk mengangkat panggilannya.

"Halo," sapaku dengan nada datar tapi sudut bibirku menyimpan senyum.

"Fira, Mas nggak bisa ke sana. Ada beberapa hal yang harus diurus di kantor, Tapi Mas udah kirim supir buat jemput kamu. Kita bicara di kantor."

"Tapi-"

"Mas meeting dulu, kliennya udah datang."

Sambungan telepon itu putus.

Aku menghela napas kesal, selalu saja Mas Adi berlaku seenaknya.

"Kenapa? Adi nelpon?"

Mama datang dari arah dapur.

"Hmm," balasku singkat.

"Terus gimana? dia jadi kemari?" tanya Mama dengan nada kepo.

"Enggak, supirnya bakal datang, dia mau aku yang ke Jakarta."

"Oh ya udah, siap-siap sana."

Aku melongo, rahangku hampir jatuh melihat respon Mama. Beliau kelihatan bersemangat saat aku ngomong bahwa aku yang harus ke Jakarta untuk menemui Mas Adi.

"Kenapa?" tanya Mama karena aku menatapnya dengan pandangan terkejut.

"Enggak," balasku kesal.

***

"Tatiana kamu bisa ke ruang saya? Kalau bisa bawakan saya kopi."

"Baik pak."

Tatiana ingin sekali menjambak rambut laki-laki itu. Oke dia tahu bahwa malam kemarin Adi sudah menolongnya dari tindakan gila mantan suaminya tapi Adi tidak harus membuatnya layaknya pembantu seperti ini.

"Mbak Tatiana ngapain bawa kopi? Kan ada OB?" tanya Lilis bingung.

Kalau itu aku juga tahu! Tapi laki-laki sialan itu emang pengen ngerjain aku. Sungut Tatiana dalam hati.

"Mbak! Ngapain bengong? Aku lagi nanya."

Suara Lilis menggembalikan Tatiana pada kesadarannya.

"Mbak mau nyari muka, siapa tahu boleh naik jabatan," jawab perempuan itu asal dan langsung melangkah menuju lantai 11 di mana ruangan sang bos berada.

"Wah, udah bergerak aja tuh anak. Nggak ada Mbak Nesa malah makin menjadi."

Lilis kesal karena semakin hari Tatiana dan Pak Adi semakin dekat apalagi setelah Mbak Nesa menggundurkan diri dari perusahaan.

"Dasar ganjen," umpat Lilis melihat Tatiana memasuki lift.

"Ini kopinya pak," sahut Tatiana dengan kesal.

"Kenapa wajah kamu kesal gitu?" tanya Adi sembari menahan senyumannnya.

"Ya lagian kamu. Iya tahu yang udah mau rujuk sama Nesa. Aku juga tahu kamu udah nolongin aku, tapi jangan malah ngelunjak begini. Kan ada OB Di!"

Tatiana benar-benar kesal.

"Kan aku mau buat kamu sehat, duduk-duduk aja nggak baik."

Seketika Tatiana gondok.

"Nggak usah kesal-kesal gitu, mending kamu bantu aku beres-beres ruangan. Bentar lagi istriku datang lho."

"Iya Bos, Iya!"

Adi terbahak melihat tingkah sahabat perempuannya itu.

***
Aku benar-benar kesal melihat pemandangan yang ada di depanku, kenapa juga harus ada Tatiana di ruangan ini? Baiklah aku tahu fakta bahwa Tatiana dan Mas Adi itu tidak berselingkuh tapi tetap saja aku kesal melihat mereka berdua ada di ruangan ini.

Oh astaga apakah aku cemburu?

"Hai," sapaku dan mataku tetap fokus menatap dua orang yang baru saja mengakhiri pekerjaan mereka yang mungkin membersihkan ruangan ini.

"Fira, kamu udah datang sayang," ucap Mas Adi dan langsung menghampiriku.

"Nes, aku minta maaf untuk semua kesalahpahaman yang terjadi antara kamu dan Adi. Semuanya benar-benar diluar kendaliku, aku tidak tahu kalau akhirnya akan jadi seperti ini. Aku waktu itu bingung. Mantan suamiku nahan anakku. Pokoknya kamu harus dengar baik-baik semua penjelasan Adi."

Tatiana juga menghampiriku dan memelukku. Perempuan itu terisak. Oh oke, aku malah ikut menangis.

"Maaf juga karena sudah menuduh kamu."

Sejujurnya aku benar-benar merasa bersalah, dulu aku sempat tidak mau mendengarkan penjelasan perempuan itu karena sudah terlanjur merasa dikhianati.

"Percayalah, Adi itu sayang dan cinta banget sama kamu Nes."

"Oke nangis-nangisnya udahan dan kamu Tatiana kembali ke ruangan kamu karena saya harus melepas rindu dengan istri saya."

Tatiana menatap Mas Adi dengan kesal namun dia tetap menuruti.

"Dia selalu nyebut nama kamu pagi-pagi kalau lagi di kamar mandi. Aku sering dengar kalau bawa berkas ke ruangan."

"Tatiana!" teriak Mas Adi dengan wajah semerah tomat, sementara aku hanya menatap tidak percaya. Kalian tahu kan maksud ucapan Tatiana itu.

"Ehm, Fira. Mas cuma, ya kamu tahu kan kalau laki-laki itu-"

"Iya, aku tahu Mas nggak usah dilanjutin."

Tatiana malah terbahak, aku merasa malu dengan tingkah Mas Adi.

"Oke selamat bersenang-senang kalian berdua. Ingat buatin ponakan yang banyak ya!"

Setelahnya Tatiana keluar dari ruangan, Mas Adi langsung mengunci pintu.

"Ngapain dikunci?" tanyaku sedikit panik.

Oke kami memang sudah dewasa dan masih sah dalam ikatan pernikahan untuk melakukan adegan dewasa tapi tidak di dalam kantor juga kan. Lagipula kami baru saja bertemu lagi dan akan membicarakan sesuatu.

"Biar nggak ada yang ganggu," jawabnya lalu menarik pinggangku untuk duduk dipangkuannya.

Astaga ini posisi yang cukup berbahaya menurutku, apalagi untuk kami yang belum tahu rujuk atau tidak. Eh bukan rujuk namanya, karena kami kan belum benar-benar bercerai. Ehm balikan mungkin lebih tepatnya, eh atau apa? Aku bingung. Terserahlah kalian mau menyebut istilahnya apa.

"Beneran mau rujuk? Kamu bela-belain jauh-jauh dari bandung kemari," ucapnya dengan pandangan menggoda.

Ku rasa pipiku memanas, aku seperti ABG yang lagi jatuh cinta.

"Emang aku udah ngomong mau rujuk?"

Mas Adi malah menatapku dengan senyum menggodanya.

"Udah ketulis banget di jidat kamu."

Mas Adi mendekatkan wajahnya untuk mencium pipiku. Aroma mint bercampur keringat tercium dari tubuhnya dan itu membuatku nyaman.

"Mas parfum kamu harum," seruku sembari mengedus di lehernya.

"Aku belum mandi dari pagi lho. Tadi pagi bangun kesiangan, karena ada meeting pagi aku cuman cuci muka sama sikat gigi aja."

Biasanya aku akan kesal kalau mendengar Mas Adi belum mandi seperti ini. Namun sepertinya kali ini berbeda, aku malah suka aroma tubuhnya yang belum mandi ini.

"Eh tunggu," seru Mas Adi sembari menjauhkan tubuhnya.

"Kamu nggak lagi ngidam kan Fir?" tanyanya.

Aku hanya mengangkat bahu bingung, aku sendiri tidak tahu apakah aku sedang ngidam atau tidak.

Mas AdiWhere stories live. Discover now