14. Ingin Bertanggungjawab

205K 19.1K 181
                                    

Hai....
Selamat pagi

Emak hadir lagi, setelah sekian lama.
Selamat membaca 😊

Aku tidak membalas pesan singkat yang dikirim oleh Mas Adi namun membiarkannya sampai pagi. Sejujurnya aku sama sekali tidak berniat memberitahukan hal ini padanya. Kami sudah bercerai dan apa yang kami lakukan di malam itu hanyalah sebuah kehilafan yang harusnya tidak terjadi. Ya, hanya kehilafan saja. Aku tidak butuh lagi tanggung jawabnya.

"Nes!"

Terdengar suara Mama di balik pintu kamarku, aku mengusap mata pelan lalu turun dari tempat tidur.

"Hmm?" tanyaku dengan mata yang terbuka sebelah.

Aku masih sangat mengantuk pagi ini.

"Sarapan, udah jam 9 lho ini, tumben kamu bangun jam segini."

Aku terhenyak ketika mendengar ucapan mama, tidak mengira bahwa ini sudah pukul 9 pagi.

"Hmm, Aku mau nyuci muka dulu Ma," balasku.

Saat aku sedang dalam kamar mandi, ponselku berdering. Aku dapat mendengarnya sebab keran air sedang kumatikan.

"Halo," jawabku.

"Nes, temanku minta nomor ponsel kamu."

Aku sedikit mengangkat alis, secepat itu rencana Nadia? Wah rupanya perempuan itu telah berubah menjadi emak-emak yang suka mencomblangkan orang.

"Terus?"

"Udah aku kasi ke dia. Kamu tungguin aja dia hubungin," sahut ibu hamil itu dengan nada yang begitu antusias.

Aku mendengus, Aku memang seorang Janda namun perceraianku bersama Mas Adi bahkan belum genap 4 bulan namun Nadia sudah mulai menjodoh-jodohkanku bersama temannya.

"Emang kamu nggak punya pekerjaan selain ngurusin masalah percintaanku?" tanyaku kesal.

"Nggak, aku sekarang lagi ngidam mau lihat kamu punya gandengan," ucap Nadia yang diakhiri kekehan.

Ngidam pantatnya? Aku tahu bahwa ngidam hanya dia gunakan sebagai alasan agar aku mau menurutnya.

"Terserah deh, pokok jangan sampai suami orang."

"Tenang aja, dia ini masih perjaka ting-ting. Dijamin nggak bakal nyesal."

Apa maksud dari ucapan itu? Ya sudahlah, membuka suara hanya akan menciptakan debat dan aku malas berdebat. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri sambungan telepon saat merasa bahwa tidak ada lagi yang harus kami bicarakan.

Baru saja aku akan keluar dari kamar, ponselku bergetar. Ada nomor baru masuk dan mengirim pesan lewat aplikasi Whatsapp. Dengan ogah-ogahan aku membuka pesan tersebut.

6285289XXXXXX

Selamat pagi

Aku hanya membaca pesan singkat itu tanpa berniat membalas. Tanpa bertanya aku langsung menduga kalau itu pasti lelaki yang ingin dikenalkan Nadia.

Namun tunggu, ada yang sedikit mengganjal. Ku putuskan untuk melihat foto profilnya dan itu sangat mengejutkan karena sepertinya aku kenal dengan orang itu. Ya sudahlah, siapa yang peduli dengan itu.

Setelah menikmati rujak mangga yang dipetik langsung oleh Papa, aku kembali ke kamar. Seharian ini aku benar-benar berubah menjadi sapi malas. Aku juga tidak pergi ke Toko Roti karena mual-mulai yang menyerangku pada pagi ini dan mendorongku untuk menjadi malas bekerja.

Mama dan papa juga mulai heran denganku, aku hanya berharap bahwa mereka tidak mencurigaiku.

Oh iya mengenai orang yang sepertinya tadi ku kenal itu memang benar, itu adalah Dito. Seorang laki-laki yang kutemui ketika berlibur untuk menghabiskan uang pesangonku.

Laki-laki itu juga kaget ketika tahu itu aku. Kami sudah sepakat untuk bertemu nanti, saat ada waktu luang.

***

1 Minggu kemudian.

Aku membuka pintu rumah, pagi ini aku ingin mengikuti senam hamil yang sudah ku download melalui aplikasi youtube meskipun rasanya aku harus sembunyi-sembunyi jangan sampai orang rumah tahu kalau yang akan kulakukan pagi ini adalah senam ibu hamil. Bisa gawat kalau mereka tahu.

Aku baru saja akan meregangkan otot tangan sebelum akhirnya mataku dibuat terkejut dengan apa yang ada di depanku.

Refaldi Tano. Iya, mantan suamiku itu sudah berdiri gagah di depanku bersama dengan senyum mengerikannya.

"Mas ngapain di sini sepagi ini?"

Ya, waktu bahkan baru menunjukan pukul 07.15 dan lelaki itu sudah ada di rumahku. Seperti yang kalian ketahui bahwa Mas Adi itu tinggal dan bekerja di Kota Jakarta. Kalau sepagi ini dia sudah ada di sini, jadi jam berapa dia dari Jakarta?

Itu menjadi pertanyaan yang cukup rasional.

Atau jangan-jangan.

Mas Adi tersenyum padaku dengan senyum yang menurutku sangat menjijikan.

"Mau lihat calon anak dan istri," jawabnya dengan nada super santai.

"Anak? Istri? Maaf Pak Adi, kalau bapak lupa kita sudah bercerai dan Aku tidak sedang hamil. Bibitmu tidak tumbuh."

Mas Adi menatapku dengan padangan tidak percaya sementara aku tertawa.

"Kenapa? Bapak kecewa? Ya, kali ini gagal pak. Bapak bisa mencoba lagi pada wanita lain."

Kulihat wajah Mas Adi semakin kesal dan rahangnya mengetat, sepertinya aku baru saja memancing amarahnya.

"Kamu pikir Aku percaya Kanesa Alfira? Tidak sebelum Aku memastikannya secara langsung."

Tanpa kata, selanjutnya Mas Adi menarikku pelan mengikuti langkahnya.

"Bapak mau bawa saya ke mana?" tanyaku sembari mencoba menyeimbangkan diri dengan langkah panjangnya.

"Ke dokter kandungan," sahutnya keras sebelum akhirnya membanting pintu mobil.

Aku mendengus, dia pikir ada dokter kandungan yang buka sepagi ini?

***

Aku menghela napas kasar, laki-laki di depanku masih menatapku dengan tatapan tajamnya. Kami sedang berada di sebuah restoran yang berseberangan dengan salah satu toko roti milik keluargaku.

Aku sebenarnya sudah ingin pulang ketika urusan kami selesai di dokter kandungan. Pagi ini, Mas Adi menelepon kenalannya yang berstatus sebagai dokter kandungan dan memaksaku untuk diperiksa apakah hamil atau tidak. Akhirnya aku tidak bisa menyembunyikan apa-apa, pria pemaksa itu tahu bahwa benihnya sedang tumbuh dirahimku.

Namun anak ini sepenuhnya milikku, hanya miliku. Tidak dengan Mas Adi, aku tidak berniat memberikannya kesempatan. Oh jangan menganggapku sebagai perempuan tidak tahu malu yang terlalu sok jual mahal. Namun aku memikirkan segala risiko dengan pertimbangan masing-masing.

Dulu ketika ingin bercerai dengan Mas Adi, aku telah memikirkannya secara matang-matang, bukan hanya pemikiranku hari itu namun pemikiran untuk masa depan kami sehingga keputusan akhir yaitu perceraian ku ucapakan.

Kini ketika aku mengandung anaknya, aku juga tidak ingin gegabah mengambil keputusan. Namun, hal tersebut telah kupikirikan matang-matang beberapa minggu sebelum ini karena aku yakin bahwa suatu saat Mas Adi pasti akan tahu tentang kehamilanku jadi yang kupikirkan yaitu bagaimana cara agar Mas Adi bisa bertanggung jawab namun tanpa terjadi pernikahan lagi antara aku dan dia.

"Kamu pikir Aku bodoh? Aku adalah pemilik benih itu dan Aku tentu akan menyadari kalau mereka tumbuh subur," ucap Mas Adi dengan seringaian seperti biasa.

"Kamu tidak berhak atas bayi ini Mas. Aku tidak ingin kembali bersama."

"Kamu gila?" teriaknya.

"Aku memang sudah gila, jadi kusarakan agar Mas segera menjauhiku dan tidak ada pernikahan lagi."

Aku hendak berdiri namun pergelangan tanganku dicegat oleh mantan suamiku itu.

"Kalau kamu tahu, kita tidak benar-benar bercerai. Surat perceraian itu sudah ku bakar, pengacaramu tidak datang ke persidangan waktu itu."

Aku melotot.

"Mas."

"Kamu, masih istriku kanesa Alfira."

Mas AdiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang