47. Panik

58.7K 6.8K 535
                                    

Selamat malam semuanya.

Ini adalah Double Update 🥳🥳🥳🥳

Senang nggak?

Entah kenapa hari ini idenya ngalir gitu aja. Tapi semoga ini menghibur kalian ya.

Jangan lupa, seperti biasa tandai kalau ada kesalahan penulisan pada kata atau kalimatnya ya.

Selamat membaca ☺️

Sidang pertama Daru dan Dito selesai, masih ada sidang terakhir bulan depan. Di sana akan ditentukan hukuman yang akan mereka terima. Hanya menunggu sampai waktu itu. Namun sidang hari ini berjalan sangat lancar, Daru dan Dito menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Mereka juga bersikap sopan dan kooperatif.

Daru menatap Gisha sebelum lelaki itu dibawa oleh petugas. Melalui matanya, sepertinya ada yang hendak dia sampaikan pada Gisha. Tersirat semua melalui matanya. Sementara Gisha, perempuan itu menatap Daru begitu intens. Ada kecewa dan rindu yang bercampur di sana.

Apakah setelah ini mereka masih bisa bersama? Atau mereka harus berpisah?

Namun aksi pandang itu terputus karena si petugas telah menarik Daru dan Dito untuk pergi dari sana.

"Semuanya bakal baik-baik saja Gis, setelah bulan depan, kamu harus membuat keputusan. Mami selalu berdoa itu keputusan yang terbaik untuk kamu dan Daru."

Mami menghampiri Gisha dan menepuk pundak anak perempuannya. Dia tahu berat menjalani hidup sebagai Gisha, perempuan itu mencintai Daru namun sepertinya Daru tidak memiliki rasa lebih untuknya.

Mami menyesal tidak menyadarinya dari awal, ya kalau Mami menyadari dia pasti mewanti-wanti agar Gisha tidak jatuh terlalu dalam dengan rasa cinta itu.

"Iya Mi," balas Gisha sembari mengulas senyum manis.

Menangis tidak ada guna, menyesal lebih tidak ada gunanya karena yang perlu Gisha lakukan adalah hidup lebih baik ke depannya. Ya, semuanya akan berakhir dengan baik. Baik untuknya dan baik untuk Daru.

Kemudian Mami, Papi dan Gisha keluar dari ruang persidangan. Saat akan melangkah ke tempat parkir, ponsel Mami berdering.

"Halo Di," sapa Mami.

"Mi!" teriak Adi dari ujung sambungan telpon.

Mami sampai harus menjauhkan ponselnya.

"Kamu kenapa sih Di? Udah kayak monyet kelaparan," sungut Mami sembari mengusap-usap telinganya.

"Miii!!" Adi kembali menjerit.

Mami jadi jengkel dibuatnya.

"Kamu kenapa? Jangan kayak orang gila deh."

"Fira udah mau lahiran Mi."

Mami melotot mendengar informasi itu. Lahiran? Apa tidak salah? Usia kandungan Nesa baru 7 bulan.

"Jangan bencanda. Kualat nanti, sama orang tua lho ini," ucap Mami lagi.

Mami berucap sembari melangkah masuk ke dalam mobil. Papi dan Gisha mengamati saja sembari menahan tawa.

"Nggak becanda Mi. Beneran, ini aku lagi di perjalan menuju rumah sakit XX," balas Adi.

"Benaran?"

"Iya Mi, mana berani aku bohongin Mami."

Mami menyetujui ucapan itu dalam hati, jarang sekali Adi itu bicara bohong apalagi di depan singa lapar sepertinya. Eh kenapa dia jadi mengatai dirinya singa.

"Terus gimana?" tanya Mami yang malah mulai panik.

Wanita itu menarik seatbelt namun saat menatap keluar jendela, dia melihat Papi dan Gisha yang berdiri di sana sembari tertawa.

Mas AdiWhere stories live. Discover now