21. Menemui Besan

170K 13.7K 133
                                    

Selamat malam semuanya.

Selamat membaca 😊

Aku membaringkan Mas Adi di tempat tidur yang entah sejak kapan dibuatnya, ada sebuah ruangan seperti ruang rahasia tepat ada di balik rak kayu coklat di belakang meja kerjanya.

Ruangannya cukup luas bahkan tempat tidurnya juga.

Setelah menciumku, laki-laki itu malah lemas hampir pingsan. Bukan karena ciuman kami tapi karena luka ditangannya.

"Mas."

Tanganku terangkat untuk membersihkan luka mengerikan di tangan Mas Adi.

"Ayo kita ke rumah sakit, kamu bisa pingsan kalau gini ceritanya."

"Nggak, aku nggak mau," tolak Mas Adi sembari menahan sakit.

"Tapi..."

"Aku bilang nggak Fir."

Setelah memaksa tapi ditolak , Aku memutuskan untuk mengambil kotak P3K yang entah kenapa ada di kamar ini juga.

Selesai memberi perban di tangan Mas Adi, ku putuskan untuk ke kamar mandi dan membersihkan tanganku serta mencuci muka.
Aku menatap diriku di cermin. Astaga wajahku penuh darah yang sudah mengering begitupun dress yang kugunakan.

Aku sangat berantakan.

Aku butuh baju bersih, untungnya di ruang ini ada lemari baju yang berisi beberapa kemeja dan jas Mas Adi yang bisa kugunakan untuk untuk menutupi kekacauan ini.

***

Kami sampai di rumah pukul 8 malam.

"Kenapa tangan kamu Di?" tanya Mami yang memang sedang duduk menonton sinetron kesayangannya.

"Biasalah bukti perjuangan lelaki mempertahankan wanitanya," ujar Mas Adi dengan pedenya.

Sementara ku lihat Mami hanya memutar bola matanya mendengar ucapan Mas Adi yang begitu hiperbola.

"Halah, ngomong aja kalau berantem. Emang sama siapa suami kamu aduh jotos Nes?"

Kali ini Mami bertanya padaku, aku diam karena sama sekali tidak tahu harus menjawab apa.

"Gibran Mi."

Mas Adi menjawab.

" Gibran? Manager yang baru diangkat dua bulan lalu itu?" tanya Mami.

Mas Adi mengangguk.

"Emang ngapain dia? Bukannya udah punya istri?" tanya Mami penuh selidik.

"Panjang ceritanya Mi. Esok deh Adi jelasin," ucap Mas Adi. Setelahnya Mas Adi malah menarikku ke dapur.

"Bumil harus makan," sahutnya.

Sebenarnya aku malas sekali makan malam, tapi mengingat sekarang aku lagi hamil. Akhirnya kuputuskan untuk makan dan sesekali menyuapi Mas Adi.

Suamiku itu sudah terlihat layaknya bayi besar, dasar sok jagoan. Bukannya ninju orang eh malah cermin jadi sasarannya.

"Hari Minggu kita ke Bandung ya, Mas mau menghadap Mama sama Papa."

Aku menoleh ketika Mas Adi selesai bicara.

"Terserah kamu Mas, aku mah ngikutin aja."

"Ya udah, makanannya dihabisin ya," ucap Mas Adi sembari sesekali mengusap sudut bibirku.

Pipiku memanas, Mas Adi kok jadi romantis gini? Untungnya dia tidak menyadari wajahku.

***

Hari Minggu, Mas Adi dan mertuaku menemaniku pulang ke Bandung untuk menemui Mama dan Papa. Ya, sekalian silahturami dengan besan kata Mami Deasye.

"Pelan-pelan aja Franki,nyang penting sampai," peringat Papi pada salah satu supir pribadi keluarga Tano.

"Baik Pak," jawab laki-laki itu dengan tegas.

"Mas Franki, kalau sampai pertamina berhenti sebentar ya, saya mau muntah."

Mas Adi menatapku dengan wajah panik. Sebenarnya aku lebih takut kalau dia ngamuk karena aku menyebut nama supir keluarga dengan sebutan 'Mas'. Tapi sepertinya dia tidak menyadarinya.

"Fir, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit? Kita tunda aja ke rumah Mama, kita ke rumah sakit dulu."

Aku mau tertawa mendengar ucapan Mas Adi tapi perutku semakin bergejolak.

"Namanya hamil muda, ya mual-mual Di. Gitu aja kok nggak tahu sih," sahut Mami dengan nada kesal.

Ya, tingkah Mas Adi cukup berlebihan.

"Aku takut kamu dan anak kita kenapa-napa Fir," ujar Mas Adi masih dengan nada panik.

"Dasar bucin," ejek Papi.

"Nggak apa-apalah sama istri sendiri kok," balas Mas Adi dengan santai.

Sudah lama rasanya aku tidak melihat perdebatan para lelaki ini.

Beberapa menit setelahnya aku yang sedang menutup mata merasakan bahwa mobil berhenti.

"Pak Adi kita udah di depan Pertamina nih, gimana Ibu Nyonya masih jadi mo ke Toilet?"

Aku dengar suara Mas Frangki.

"Fir," seru Mas Adi sembari menepuk pipiku pelan.

"Aku nggak bisa jalan Mas," ucapku dengan nada manja, sejujurnya semua itu bohong. Aku hanya malas berjalan aja.

Dan benar saja sesuai dugaanku, Mas Adi langsung menggendongku ke luar dari mobil.

"Anak kita benaran udah jadi bucin Pi."

Aku masih sempat mendengar suara Mami yang menertawakan tingkah bucin Mas Adi.

***

Mas Adi merentangkan otot-ototnya yang tidak nyaman, tidur di mobil memang bukan pilihan bagus. Sementara Kanesa di sampingnya masih tidur pulas bahkan mendengkur.

Istrinya terlihat menggemaskan saat tidur dengan mulut yang sedikit terbuka.

"Bangun sayang, udah nyampe."

Kanesa yang dasarnya bertubuh mungil jadi boleh meringkup di atas kursi mobil. Beda dengan Adi yang bertubuh menjulang.

"Hmm, Iya Mas," balas Kanesa masih dengan suara mengantuknya.

Setelah memarkirkan mobil di depan pekarangan rumah, mereka sudah disambut dengan orang tua Kanesa yang bahkan sudah berdiri di depan pintu rumah dengan senyuman manis.

"Besan!" teriak Mami heboh dan langsung menghampiri Mama Kanesadan saling berpelukan di depan sana.

Sementara Papi dan Papa Kanesa hanya saling berjabat tangan dan melempar senyum, tidak seheboh para wanita.

"Ayuk masuk Des, aku udah masak banyak nih," ucap Mama Kanesa sembari menggiring kami masuk ke dalam rumah.

"Iya aku juga udah sengaja lapar dari tadi," balas Mami dan mereka semua hanya mampu melongo.

Emang ya kalau sudah seperti saudara, kadang rasa malu itu sudah tidak diperlukan lagi.

Mas AdiWhere stories live. Discover now