26. Gondok

106K 10.4K 94
                                    

Selamat malam semuanya.

Ada yang kangen Mas Adi?

Nggak ada rencana ngetik tapi bangun tidur malah dapat sedikit ide ☺️

Ya udah deh selamat membaca 😁

Entah sudah berapa lama kami duduk dan berbincang, oh tidak aku hanya mendengarkan dan mereka berdua yang berbicara. Mereka sama sekali mengabaikanku bahkan tidak mengajakku berbicara, menyebalkan.

Aku merasa tenggorokanku kering. Aku mengambil gelas berisi teh hangat dan meneguknya hingga tandas. Karena rasa gondok aku bahkan merasa begitu haus.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Mas Adi dengan lembut.

Aku mendengus dalam hati. Bisa-bisa si Bucin itu bahkan tidak peka dengan aku yang sudah merasa gondok dan mulai ingin mencakar di mana pun.

"Enggak Mas."

"Tapi kamu baru aja minum segelas teh dalam sekali teguk, nggak biasanya."

"Aku haus aja Mas."

Aku gondok Mas. Kalian malah seperti pasangan yang lagi kencan. Aku cuma duduk diam bak sapi ompong. Aku membatin.

Si Friska juga enggak tahu diri, sudah tahu istri Mas Adi ada di sini, eh dia malah mengabaikan kehadiranku.

Aku ingin mencakar wajah seseorang.

"Oh ya udah, kalau masih haus ini minum punyaku," ucap Mas Adi sembari menyodorkan gelasnya.

Aku ingin pergi dari sini Mas.

"Kamu udah punya pasangan?" tanya Mas Adi.

"Aku udah nikah Di," jawab Friska sembari mengangkat tangannya dan menunjukan jarinya yang telah dilingkari cincin.

Entah kenapa, melihat wanita itu menunjukkan cincin nikahnya hal itu membuatku bernafas lega. Setidaknya perempuan itu tidak berstatus single ataupun janda karena itu status yang agak membahayakan posisiku.

"Oh ya? Kamu nikah sama siapa?" tanya Mas Adi dengan nada kepo.

Lagi-lagi aku mendengus dalam hati.

"Nikah sama anaknya teman papa, biasalah perjodohan."

Nada bicara si Friska itu seperti tidak bahagia dan hal itu membuatku was-was.

"Ah begitu, nikahnya kapan? Kok aku nggak diundang?"

Jadi Mas Adi berharap diundang? Nggak tahu malu. Eh kenapa aku jadi emosi sih?

"Nikah di Austria. Kita nggak ngundang banyak orang," jelas Friska.

Entah berapa lama mereka bicara dengan begitu asik dan mengabaikan seorang bumil yang sudah super gondok di sini. Namun tak lama kemudian Friska Pamit pergi karena suaminya sudah menjemput.

Namun sebelum pergi dia mengambil kesempatan untuk meminta nomor ponsel Mas Adi di depanku tanpa meminta izin padaku yang notabene adalah istri dari mantan kekasihnya.

Tidak tahu malu memang.

***
Kami sampai di rumah pukul 9 malam, aku tidak menikmati lagi kegiatan kami di pasar malam karena sudah terlanjur gondok.

Mami dan Papi mungkin sudah tidur saat kami sampai di rumah karena keadaan begitu sunyi.

"Kamu marah?" tanya Mas Adi saat kami sampai di kamar.

Aku diam tak ingin membuka suara, sebab aku masih sangat kesal.

"Fira," panggil Mas Adi dengan nada lembut.

Aku tak menggubris. Aku malah memilih pergi mengganti pakaian. Mengabaikan lelaki itu, tadi dia mengabaikan ku juga kan.

Namun saat aku baru selesai mengganti pakaian, aku langsung memekik saat merasakan tubuhku begitu saja terhempas di tempat tidur. Mas Adi pelakunya.

"Apa yang kamu lakukan Mas?" tanyaku mencoba melepaskan diri.

"Menidurimu."

Ucapan frontal itu keluar dari bibir Mas Adi membuatku langsung melotot.

"Tidak Mas. Kam gila."

Aku memberontak mencoba untuk melepaskan diri. Kemarin kami baru saja melakukan kewajiban kami sebagai pasangan suami istri. Dan sekarang dia meminta lagi? Tidak.

Apa dia lupa kalau aku sedang hamil? Kan tidak baik terlalu sering berhubungan saat hamil. Namun Mas Adi menangkap tanganku dan menariknya ke atas kepala.

"Mas!"

Aku berteriak histeris saat Mas Adi mencoba menjangkau tubuhku yang memang sudah berbalut piyama.

"Lepaskan aku, Mas."

"Kalau begitu jangan marah lagi," tutur Mas Adi.

Oh jadi Mas Adi mengancam dengan cara seperti ini, dia benar-benar gila.

"Enggak aku tetap marah. Lepas Mas!"

Aku berteriak dan tetap bersikukuh.

"Kenapa? Kamu cemburu sama Friska hmm?"

"Enggak, aku nggak cemburu. Lepas Mas."

Hingga tiba-tiba pintu kamar kami didobrak.

"Adi!"

Kali ini bukan suaraku, Aku dan Mas Adi menoleh pada pintu kamarnya yang sudah terbuka lebar.

"Kamu sudah gila? Ini pelecehan namanya."

Mami datang dan langsung mendorong tubuh Mas Adi dari atas tubuhku hingga pria itu terjungkal jatuh ke lantai.

"Nesa, kamu baik-baik saja?"

Mami membantuku bangun dan mencoba menenangkan. Sementara aku shock karena kedatangan Mami. Aku juga malu karena Mami sampai masuk ke sini. Astaga.

"Enggak Mi, Aku enggak apa-apa," balasku dengan senyum canggung.

Mami juga tersenyum. Namun cuman sesaat senyum itu terbit, setelahnya wanita itu menatap Mas yang masih meringis kesakitan di lantai.

"Kamu keterlaluan Di! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah benar? Kalau emang mau minta jatah, ya minta dengan lembut bukan malah memaksa sepert ini. kamu pikir mami nggak dengar teriakan Nesa? Kamu lupa kalau istri kamu lagi hamil?"

Mami berucap dengan nada marah, sementara aku masih dilanda rasa malu. Bagaimana tidak mertuaku bahkan memergoki kami dengan posisi tak etis. Semuanya karena Mas Adi. Lelaki menyebalkan itu membuatku gondok sekali.

"Tapi Nesa istri Adi Mi," ucap Mas Adi tegas.

Lelaki itu bahkan tidak memiliki rasa malu sama sekali.

"Dan kamu melakukan kekerasan pada istrimu sendiri bodoh."

"Aku tidak."

"Kamu iya Adi."

Mama dan anak itu saling bersautan, aku sampai sakit telinga mendengarnya.

" Malam ini Mami tidur sama Nesa."

Mas Adi melotot mendengar ucapan Mami. Aku malah senang sekali melihat ekspresinya itu.

"Enggak ya Mi," tolak Mas Adi.

"Pokoknya kamu tidur di ruang kerja Papi. Titik! Mami nggak mau dengar bantahan."

Aku mengulas senyum.

"Aku ngidam tidur bareng Mami Mas."

Ku dengar Mas Adi mendengus.

"Alasan kamu," cibirnya.

Aku ingin tertawa terbahak-bahak sekarang.

Mas Adiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن