20

3.3K 336 62
                                    

Renza menghela nafas pelan, Rendra benar-benar mendiamkannya semalaman ini bahkan Rendra sama sekali tidak berbaring disampingnya padahal biasanya Rendra mudah banget berdekatan dengan Renza.

"Ck," decak Renza.

Posisi seperti ini lah yang membuat Renza tidak nyaman karena marahnya Rendra adalah mendiamkannya. Renza jadi berpikir apa sesalah itu dirinya yang tidak mengizinkan Rendra untuk melihat pacarnya? Tapi bukannya wajar dirinya melarang? Karena ia juga masih sangat membutuhkan Rendra di sini.

"Lo udah cek gula darah lo?" Renza berusaha melayangkan beberapa pertanyaan penting yang biasanya Rendra jawab dengan baik, tapi ternyata Rendra masih saja diam.

"Bang.. selama ini gua selalu jadi prioritas lo aneh aja rasanya saat gua ngerasa kasih sayang lo dibagi sama Velly padahal semulanya full buat gua," tukas Renza.

"Gua takut lo malah lebih membutuhkan Velly dari pada gua," sambung Renza menunduk. Dirinyalah yang membuat Rendra diam, ia juga yang harus membuat mood Rendra membaik tapi ternyata ia kehilangan akal untuk membujuk kakak kembarnya itu.

"Gua tau takarannya, Ren. Sedangkan lo enggak, jangan bersikap seperti gua yang gak adil," gumam Rendra yang akhirnya angkat bicara. Renza terdiam.

"Tapi.. gua gak suka dibagi, Bang."

"Gua keluar dulu," kata Rendra dengan buru-buru bangkit dari posisi duduknya dan keluar dari kamar Renza. Melihat Rendra keluar dari kamarnya, Renza hanya diam dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.

"Abang udah gak sayang gua, ya?" gumam Renza. Posisinya yang sedang sakit membuat hati Renza lebih sensitif apalagi ini perihal Rendra, kakak kembarnya.

Sebenarnya Rendra tidak mau meninggalkan Renza dalam keadaannya yang seperti ini. Apalagi dari tadi ia terdiam membuat pikiran Renza bercabang kemana-mana. Rendra itu bukan tidak mau menemani Renza, hanya saja Rendra tidak mau adiknya itu menjadi egois akan dirinya karena mau bagaimana pun ia juga mempunyai Velly yang sama-sama membutuhkannya.

"Bang? Kenapa diem di tangga?" Ternyata Rezka mengamati Rendra yang sedang melamun di anak tangga paling ujung. Rendra menoleh dan menggelengkan kepalanya.

"Ade nya gak mau di tinggal?" Rendra mengangguk.

"Papah baru aja meriksa Velly, demamnya tinggi lagi sebaiknya kamu samperin dulu, Bang. Soal Ade udah biarin aja dulu," tukas Rezka yang paham bahwa anak sulungnya ini pasti sangat ingin menyusul kekasihnya.

"Adenya, Pah," gumam Rendra. Rezka tersenyum dan mengusap punggung Rendra.

"Gak papa Ade biar Papah tegur nanti."

"Capek rasanya kayak di rebutin, bagi dua aja anakmu ini, Pah." Rezka terkekeh.

"Resiko punya adik posesif, Bang. Gih samperin!" Rendra menganggukan kepalanya, tapi Rendra terdiam sebentar jam sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam apa orang tuanya Velly masih mau memasukannya ke dalam rumah?

"Aku udah berusaha adil, Pah. Adil sama Renza sama Velly, tapi Renza? Selalu ngerasa kalau aku gak adil.."

"Adik kamu emang gitu, Bang. Selalu egois kalau itu tentang kamu tapi semoga kedepannya Ade mengerti, ya?" Rendra menganggukan kepalanya.

"Pah.."

"Apalagi Narendra?" Rendra menghela nafas.

"Papah pernah bangga gak sama aku?" Rezka menyernyitkan dahinya merasa aneh dengan pertanyaan Rendra yang menurutnya tidak jelas dengan pembahasannya yang sekarang.

"Gak pernah, ya? Yang ada Papah pusing terus karena aku."

***

Setelah perbincangan singkat dengan Papah nya, Rendra melangsungkan niatnya untuk menjenguk pacarnya bahkan Rendra tidak perduli jika hari sudah sangat malam.

Narendra | Versi II EndOnde histórias criam vida. Descubra agora