42

3.7K 423 126
                                    

"Lo sadar gak apa yang baru lo ucapin itu?" tanya Rendra.

"Sadar. Kenapa? Lo nyangka gua gak sadar udah ngomong gitu? Gini ya, Bang. Menang itu impian gua, lo gak bisa ngerasain gimana rasanya lo kecewa sama kekalahan," tukas Renza lagi.

Rendra kembali menghela nafas pelan. "Lagian apa sih yang lo dapat, Bang? Team lo menang? Lo bangga? Lo bahagia di balik adik lo yang kalah? Lo selalu bilang ke gua buat jaga kondisi biar gua gak ngeganggu jadwal futsalan lo, tapi apa yang lo lakuin kemarin?" tanya Renza lagi.

Rendra tidak habis pikir mengapa Renza bisa seperti ini kepadanya, seakan apa yang ia lakukan kepada Renza itu sangatlah merugikan. Jika pun ia apa Rendra bisa menawar untuk tidak di beri sakit? Sakit itu bukan kemauan manusia.

"Lo bebas melakukan apa yang suka, Bang. Tapi gua tegasin lagi, jangan ngerepotin dan ngerugiin orang lain," tukas Renza dan melenggang pergi dari kamar Rendra tidak lupa dengan menutup pintu kamar itu dengan keras.

Rendra tersentak setelah itu hanya bisa tersenyum tipis. Ia hanya bisa memaklumi apa yang sedang terjadi kepada Renza, Renza hanya kecewa dan terpancing emosinya sendiri.

Dalam diamnya Rendra berpikir, apa hanya Renza yang membutuhkan apresiasi? Selama ini Renza selalu mendapatkannya, bahkan sangat sering mendapatkannya. Sedangkan dirinya?

Rendra kembali membaringkan tubuhnya yang belum terlalu sehat itu, mengacuhkan ajakan Renza yang meminta untuk sarapan atas panggilan dari Neira. Rendra hanya butuh menenangkan diri untuk menyaring semua perkataan yang keluar dari mulut Renza.

"Bukannya lo yang selalu ngerepotin gua, Ren? Mau gua buktiin rasa egois yang sebenarnya itu seperti apa?" gumam Rendra.

Rendra tidak terima menjadi pihak yang di salahkan oleh adiknya itu, karena mau bagaimanapun juga keduanya sama-sama ingin membuktikan yang terbaik. Bukan hanya Renza saja yang ingin mempunyai prestasi, tetapi Rendra juga.

Harusnya mereka 'saling' bukan menyalahkan.

***

"Abangnya mana, De?" tanya Neira saat melihat bahwa Renza tidak turun bersama Rendra, padahal ia meminta Renza untuk memanggil anaknya itu untuk sarapan sama-sama.

"Mamah bisa gak jangan bahas Abang terus, kalau lapar juga pasti turun kok," celetuk Renza mengambil segelas susu hangat yang sudah Neira siapkan untuknya.

Neira menghela nafas dan melirik ke arah Rezka yang sudah memulai sarapannya lebih dahulu karena harus kerja lebih dulu.

"Loh kan tadi Mamah nyuruh Ade buat manggil Abang, Nak," ucap Neira dengan lemah lembut.

"Abangnya gak mau, Ade harus maksa? Males," gerutu Renza.

"Buang-buang tenaga aja," sambung Renza bahkan tidak perduli dengan Rezka yang menatapnya dengan heran, sangat tidak biasa Renza bersikap seperti ini.

"Kenapa Papah natap Ade kayak gitu lagi? Mau marahin Ade lagi? Mau maki-maki Ade lagi? Ade capek deh Pah harus di marah-marahin terus sama Papah," jelas Renza.

"Siapa yang mau marahin kamu, De. Papah gak marah," kata Neira.

"Papah sekarang nyebelin, lebih suka anak yang tidak berprestasi dari pada anak yang berprestasi, padahal Ade udah berusaha tapi Papah gak ngerti," gumam Renza.

"Maafin Papah, De. Di lanjut makannya, Papah anterin ke sekolah," ucap Rezka. Renza menggelengkan kepalanya.

"Gak. Ade mau ke rumah Kakek sama Nenek aja!"

Dan ya hari ini Renza menolak untuk berangkat ke sekolah.

***

"Bang.. ada Velly nih buka pintu nya ya?" Suara Neira terdengar dari depan pintu kamarnya. Dari pagi Rendra memang mengunci pintu kamarnya sampai sore seperti ini Rendra tidak kunjung membuka pintunya.

Narendra | Versi II EndWhere stories live. Discover now