39

3.1K 352 83
                                    

"Pah ayolah, boleh?" Pertanyaan yang sama sudah beberapa kali Rendra layangkan kepada Rezka sang papah.

"Gak, Bang.."

"Pah aku pengen ikutan turnamennya, aku janji gak bakal kenapa-kenapa," ucap Rendra memelas.

Rezka menghela nafas padahal dari tadi ia sudah menjelaskan bahwa kondisi Rendra tidak memungkinkan untuk ikut turnamen besok tetapi apa yang di lakukan Rendra? Terus bertanya sampai Rezka menjawan 'iya' padahal Rendra sendiri yang merasakan bagaimana sakitnya tetapi tetap saja Rendra memaksa.

"Abang... gak dulu ya lain kali kan bisa," kata Rezka menatap wajah yang masih terlihat pucat itu. Rendra menghela nafas kasar, hatinya kesal setengah mati gara-gara Rezka tidak kunjung memberikan izin padahal ia sangat menunggu turnamen ini.

"Pah aku gak pernah banggain Papah atau pun Mamah sama apa yang aku lakukan," gumam Rendra.

"Sekali aja, Pah. Sekali aja Papah beri aku kesempatan buat buktiin ke Papah kalau aku juga bisa punya prestasi," sambung Rendra lagi.

"Abang kamu tahu kan Papah gak pernah nuntut apa-apa sama Abang? Emang Papah pernah maksain kamu buat punya prestasi A B C atau apalah itu, pernah?" Rendra terdiam.

"Lihat kamu bisa hidup lebih lama lagi, lihat kamu mau berjuang, lihat kamu bisa beraktivitas sama seperti orang lain, mau bertahan bareng Mamah Papah sama Ade itu udah satu kebanggaan kamu buat Papah," tukas Rezka lagi.

"Beda, Pah. Aku emang gak pernah iri sama Ade, aku gak pernah mau merebut apa yang Ade punya. Tapi aku cuma mau punya satu kebanggaan yang bisa aku banggakan juga," kata Rendra.

Rezka memposisikan tubuhnya bersampingan dengan anak sulungnya, di rangkulnya tubuh jangkung milik sang anak bahkan Rezka bisa merasakan tubuh Rendra lebih kurus dari sebelum sakit, itu lah yang membuat Rezka sangat menjaga Rendra dengan sangat.

"Aku pengen punya sesuatu yang bisa aku banggakan juga, seengaknya satu, Pah. Biar aku gak di cap sebagai anak yang.. gagal. Maybe?"

"Abang.. siapa yang bilang Abang menjadi anak yang gagal?" Rendra terdiam dan menggelengkan kepalanya.

"Tatapan mereka yang buat aku berprasangka buruk sama apa yang aku lihat melalui tatapan mereka."

"Sejak kapan Abang menjadi orang yang pemikir kayak gini?"

Lagi-lagi Rendra terdiam, apa ia mengeluarkan perkataannya terlalu jauh? Rendra takut menjadi beban pikiran untuk Papah nya.

Rendra memejamkan kedua matanya menahan rasa pening yang memang dari tadi ia rasakan, mungkin ini lah benar-benar mengapa Rezka menolak keinginannya untuk ikut turnamen. Walaupun Rendra yang mempunyai badan tersebut, tetapi Rezka yang lebih paham apa yang terjadi jika Rendra terus memaksakan kondisinya.

"Bang, Papah gak mau ngambil resiko. Papah takut setiap kamu atau Ade itu sakit itu kenapa Papah menjaga kamu dengan sangat. Papah gak maksud melarang kamu buat ikut turnamen, Papah tahu itu turnamen yang sangat kamu tunggu-tunggu tapi untuk sekarang situasinya sangat tidak memungkinkan, Nak. Papah harap kamu mau ngerti, ya? Papah seperti ini karena Papah sayang sama Abang."

"Ya.." balas Rendra pelan. Rendra menjauhkan tangan Rezka yang sedang merangkulnya, Rezka tahu anaknya itu pasti kecewa.

"Bang.."

"Papah keluar, aku mau istirahat."

"Ada masanya dimana kamu juga bisa berkembang dan bersinar layaknya Ade," gumam Rezka.

"Bagaimana bisa jika caranya aja di halang-halangi," lirih Rendra.

***

Semalaman Rezka bercerita penuh kepada Neira tentang Rendra, begitu juga dengan Neira yang bercerita tentang Renza yang semalam asma nya sempat kambuh untungnya di sana mereka dekat dengan rumah sakit membuat Renza mendapatkan pertolongan dengan segera karena yang mereka takutkan Renza tidak bisa mengikuti olimpiadenya apalagi di ingat bahwa asma Renza terbilang sudah akut.

Narendra | Versi II EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang