44

3.6K 426 109
                                    


Renza terdiam mendengar perkataan Rendra yang terdengar menyakitkan untuknya. Renza memang tidak pernah tahu apa saja yang terjadi dengan kakaknya. Tidak tahu sebenarnya diam-diam kakak kembarnya itu berada di satu tekanan.

"Gua selalu bingung, Ren. Bingung kenapa segini nya lo nyalahin gua," ucap Rendra dengan suara gementar.

"Hal yang paling gua hindari berselisih dengan saudara sendiri, Ren. Itu kenapa selama ini gua gak pernah iri atau pun apalah itu, karena mau kita selamanya baik-baik aja, Ren." Renza tetap diam mencerna semua perkataan-perkataan Rendra.

"Tapi kenapa lo---

"Kita gak sejalan ya, Ren? Diam-diam lo nganggap gua pesaing lo?"

"Nggak, Bang!" bantah Renza akhirnya.

"Gua gak pernah nganggap lo sebagai pesaing gua, lo salah kalau lo mikir sampe sana."

"Terus ini apa? Perbuatan lo yang ini apa kalau bukan karena lo nganggap gua pesaing? Bukan pesaing tapi perusak gitu?"

Renza kembali bungkam. Apakah ia sudah gelap mata karena kekalahannya membuat Renza terkesan jahat kepada saudaranya sendiri?

"Gua kira selama di sini lo mau mikir, Ren. Ternyata ujungnya gua lagi yang harus mengawali semuanya, berminta maaf? Umur gak buat lo menjadi dewasa ya, Ren."

"Tapi iya gua yang harusnya minta maaf kan gua yang udah ngerusak olimpiade lo, seharusnya gua emang gak ikut turnamen. Lo bener, Ren. Emang salah gua sih," kekeh Rendra.

"Anak kayak gua emang gak layak punya mimpi sebenarnya. Jadi gua minta maaf ya, karena gua udah keras kepala dan egois, maksa buat tanding padahal gua gak munafik gua emang lagi gak sehat. Karena ke egoisan gua lo jadi korbannya, sorry gua pastiin hal ini gak bakal terjadi lagi. Mau maafin gua?"

"Gua juga minta maaf kenapa harus gua yang jadi Kakak kembar lo, gua minta maaf gak bisa jadi kakak kembar yang suportif," sambung Rendra.

Rendra menghela nafas kasar setelah mengeluarkan sedikit demi sedikit sesuatu yang menyesak di dadanya. Tidak melepas tatapannya kepada wajah Renza. Rendra bahkan sudah melihat wajah merah menahan tangisan dari wajah Renza yang sudah tidak bersahabat.

"Seharusnya gua lebih suportif dan bisa membedakan mana yang lebih penting. Turnamen gua atau olimpiade lo," gumam Rendra.

"Gua nyesel udah egois, tapi gua gak munafik gua juga pengen di apresiasi, De." Isakan kecil keluar dari mulut Renza. Ya anak itu diam-diam menangis mendengarkan semua hal yang keluar dari mulut kakak kembarnya.

Rendra terdiam menatap lantai dengan tatapan kosong, hanya suara isakan kecil yang Rendra dengarkan.

"Kalau gua minta lo pulang lagi ke rumah, mau?" tanya Rendra.

"Mau.." gumam Renza dengan pelan menimbulkan senyuman lega yang tertera di bibir Rendra.

"Siap-siap, kita pulang ke rumah."

Rendra bangkit dan keluar dari kamar itu meninggalkan Renza yang semakin mengeraskan tangisannya setelah memastikan Rendra keluar dari kamar. Tanpa Renza sadari, Rendra menyandarkan tubuhnya di depan kamar itu.

Dengan helaan nafas kasarnya, tangan kanam Rendra menghapus satu tetes air mata yang keluar dari salah satu sudut matanya.

Satu hal yang sangat Rendra hindari itu berselisih dengan saudaranya sendiri, dan jika hal itu terjadi itu sangat menyakitkan baginya.

Seperti ini lah yang sedang Rendra rasakan.

***

"Di makan dong makanannya, Bang," tegur Rezka saat melihat Rendra yang malah menatap menu makan malam yang sebelumnya Neira beli di salah satu restoran favorit mereka sebelum mereka pulang ke rumah.

Narendra | Versi II EndWhere stories live. Discover now