Bab 21 : Mengubah Nama

596 99 58
                                    

“Dia masih kuliah, jadi anak belum ada di dalam daftar harapannya dalam waktu dekat,” jawab Gala dengan tegas. Ia menyeringai dingin hingga membuat pegawai bank itu berhenti bertanya lagi ke Bulan.

Setelah semuanya selesai, Bulan bingung karena Suga ditinggal begitu saja. Dengan sikap diktator Gala meminta Bulan untuk ikut dengannya.

“Tapi mas Suga?”

“Tidak perlu memikirkan Suga, dia bawa mobil sendiri dan juga masih ada urusan yang perlu dia selesaikan di sana,”jawab Gala.

Bulan pun patuh, dia menoleh sang kakak sepupu yang malah tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Bulan berpikir Gala akan mengantarnya kembali ke kedai bakmi tempat dia bekerja, tapi ternyata malah berbelok ke sebuah restoran yang cukup mewah dan ternama.

“Mau apa ke sini?” Tanya Bulan yang bingung.

“Mau cuci mobil, ya makan lah! Pertanyaanmu aneh.”

Bulan memajukan bibir, dia menatap sewot Gala lalu bertanya dengan nada suara tinggi. Ia tak peduli mau Gala bos atau suaminya, Bulan memutuskan dia harus punya daya tawar ke pria itu.

“Ya sudah kamu makan, aku akan kembali ke kedai.” Bulan melepas seat belt, dia hendak membuka pintu mobil tapi Gala lebih dulu menguncinya.

“Tidak bisa, makan sendiri di sini aku akan terlihat seperti orang bodoh,” jawab Gala. Meski sedang bicara ke Bulan, tapi tatapan mata pria itu tertuju ke banyaknya mobil yang berada di sana.

“Kenapa? Ada apa?” Bulan mengekori tatapan mata Gala, lantas bergumam setelah melihat situasi. “Apa sedang ada syuting? Atau ada artis di sana?”

Gala tak peduli, dia pun turun dan memaksa Bulan untuk menuruti, pria itu masih mengamati situasi, hingga terkejut melihat ada mobil mewah milik sepupunya di sana.

“Altar? Tabita? Apa mereka menggelar konferensi pers?” gumam Gala.

Gala mengajak Bulan masuk dengan mata yang terus memandang ke salah satu sudut restoran itu. Benar saja dia mendapati Altar dan Tabita bersisian dan mulai menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan. Gala berdecak sebal, lalu menoleh mencari-cari Bulan yang ternyata sudah duduk di salah satu kursi bersama pelayan yang nampak menyodorkan buku menu kepadanya.

“Sepertinya kita harus mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam, aku tidak mau kalau sampai saus tartar dan si karbitan saja yang terkenal.” Gala bicara asal tanpa mengingat situasi, padahal masih ada pelayan restoran itu yang berdiri tak jauh darinya.

“Mas, maaf! Apa bisa tinggalkan kami dulu? Nanti akan saya panggil jika sudah selesai memutuskan mau pesan apa,”ucap Bulan.

Pelayan itu pun mengangguk paham, dia memberikan buku menu satunya ke Gala lalu pergi. Pria itu masih tak merasa apa yang diucapkannya tadi membuat Bulan ketar-ketir.

Sebagai istri bayaran yang belum mengenal dekat Gala, tentu saja Bulan masih dalam tahap menyesuaikan diri.

“Namanya Tabita, kenapa kamu ubah jadi karbitan? Di kampungku Sidorapet, ganti nama itu butuh kendurian tahu, tidak asal,” ucap Bulan. Ia berdecak sebal karena Gala malah menggosong telinganya seolah perkataannya barusan berisik dan mengganggu.

“Sudahlah, cepat putuskan mau pesan apa Bul, aku sudah lapar. Kalau kamu cerewet namamu juga akan aku ganti menjadi pitbul.”

Bulan melongo, dia reflek berdiri dan dengan berani memukul kepala Gala menggunakan buku menu di tangannya.

“Astagfirullah!” Pekik Gala.

“Bisa nyebut juga,” sindir Bulan yang kembali duduk karena tak ingin menjadi pusat perhatian orang yang ada di sana.

“Heh … jangan pikir karena aku baik dan lunak seperti cendol cik mehong kamu jadi seenaknya sendiri.”

Bulan pun sadar kalau dirinya salah, dia mencoba membela diri dengan beralasan bahwa Gala memang sungguh keterlaluan. Gadis itu juga meminta ke sang suami agar menjaga sikap jika mereka sedang bersama seperti ini.

“Aku memang hanya istri bayaranmu, tapia da rambu-rambu juga yang harus kamu patuhi untuk menjaga harkat dan mertabatku sebagai istri.”

Gala berdecak sebal, dia tidak ingin berdebat lagi lalu mengangkat tangannya untuk memesan makanan. Setelah memesan dan pelayan pergi, barulah dia kembali menatap Bulan dengan tatapan tajam.

“Di perjanjian tertulis kalau aku ini pihak yang berkuasa, jadi jangan membuatku berubah pikiran dan menjadikanmu bulan-bulanan,” ancam Gala.

“Sekarang setelah menikah posisi kita sama, kalau kamu berani mengancamku aku juga tidak segan membocorkan rahasia ini ke pihak musuh.” Bulan melirik ke arah Tabita dan Altar yang sedang dikerumuni wartawan. “Aku sudah hafal di luar kepala isi perjanjian itu, jadi jangan macam-macam kepadaku, wahai suami!”

Gala mengerutkan kening, tapi tak lama dia tergelak karena Bulan berani mengancamnya seperti ini.

“Benar kata Suga, kamu itu memang cerdas dan pemberani, aku suka.”

Jawaban Gala tak terantisipasi, Bulan malah tersipu karena ucapan itu. Dia pura-pura batuk kemudian menenggak segelas air yang disediakan gratis di sana. Demi mengurangi rasa ‘GR’ yang kini menggelitiki dadanya, Bulan pun membahas perihal ucapan Gala tentang resepsi pernikahan di awal tadi.

“Kenapa harus keluarin banyak uang hanya untuk nikah bohong-bohongan, apa ga sayang?”

“Kenapa harus sayang? Warisan nenek Gayung tidak akan habis sampai tujuh turunan, tapi sepuluh turunan,” jawab Gala. Pria itu menekuk tangan di depan dada kemudian bertanya dengan sangat jemawa,” Sampai sini apa kamu sudah paham?”

Bulan mengangguk-angguk bak burung kutilang, setelah itu berujar,” Enak sekali yang menjadi istrimu sampai tua nanti.”

_
_
_

🤣🤣🤣 enak Bul, Mau????

Terjerat Cinta Istri BayaranWhere stories live. Discover now