Bab 58 : Nasihat Dokter

501 77 25
                                    

"Kalau begitu sekarang silahkan berbaring, kita lakukan USG transvaginal untuk mengecek kondisi sel telur."

Bulan menoleh Gala sambil menelan ludah. Mau tak mau dia pun menurut. Bulan syok saat diminta dokter membuka lebar dua kaki lalu perawat meminta dia menurunkan celana.

Malu bercampur grogi membuat Bulan salah tingkah. Dia hanya membuka celana panjangnya tapi tidak yang bagian dalam juga.

"Semuanya ya!" Ucap perawat dengan lemah lembut.

Dokter mengambil alat USG transvaginal, memakaikan kondom ke alat yang menyerupai batang itu dan sukses membuat Bulan ketakutan.

"Dok, harus dimasukin itu?"

Gala yang duduk menghadap meja dokter sambil mengecek pesan dari Suga pun menoleh. Melihat alat yang dipegang sang dokter pria itu juga kaget bahkan langsung membandingkan ukurannya dengan naga sakti miliknya.

Bulan memejamkan mata saat dokter meminta dirinya rileks, di menelan ludah saat benda itu terasa sampai ke dalam rahimnya.

"Coba nanti sampai rumah tanya sama Bulan, lebih nampol mana." Hana berbisik ke telinga Gala. Dia tertawa-tawa saat berhasil membuat putranya kesal.

"Kenapa setelah aku dewasa Mama senang sekali membully?" Sindir Gala.

Hana sama sekali tak merasa bersalah, karena tahu Gala pasti sedang malu.

"Em .... kalau dilihat dari sini sepertinya sel telur Anda ukurannya tidak normal."

Bulan baru ingin bertanya apa yang sebaiknya dia lakukan untuk mengatasi masalah itu. Namun, Dinar lebih dulu buka suara, menanyakan hal yang sama seperti apa yang Bulan pikirkan.

"Ukuran sel telur harus normal, tapi ini terlalu kecil jadi peluang dibuahinya pun kecil, jadi yang perlu dilakukan menjaga asupan gizi dan kesehatan. Saya akan meresepkan vitamin," ucap Dokter.

"Jadi saya subur atau tidak, Dok?" Tanya Bulan. Dia tidak ingin pergi begitu saja tanpa kesimpulan tentang apa yang diinginkan Dinar.

"Saya tidak bisa bilang subur atau tidaknya, karena Anda juga baru beberapa bulan menikah, jika sudah enam bulan dan belum ada-ada tanda kehamilan, Anda bisa melakukan program hamil."

"Enam bulan, Dok? Apa tidak bisa bulan depan cucu saya ini hamil?"

Dinar membuat Dokter itu sadar, kalau bukan Bulan yang ingin segera mendapat momongan, melainkan sang nenek.

"Bu, bahkan semisal ada pasien yang melakuakan proses bayi tabung atau inseminasi buatan hari ini, itu saja tidak bisa dipastikan bulan depan si pasien hamil." Dokter menjawab dengan nada sedikit emosi.

Dinar masih ingin membalas dokter, tapi Hana lebih dulu menghalangi. Dia tidak enak dengan pasien lain yang sudah menunggu, karena kalau perdebatan ini dilanjutkan. Bisa-bisa sampai Subuh juga tidak akan selesai.

Hana menarik Dinar keluar lebih dulu, meninggalkan Bulan dan Gala yang tampak kurang nyaman.

"Jika saya boleh memberi saran, sebaiknya Anda berdua tidak perlu merencanakan kehamilan hanya demi memenuhi obsesi orang lain. Hamil bukan kompetisi, hamil itu tidak mudah dan dibutuhkan kesiapan mental dari calon ayah dan ibu, memiliki anak bukan pekerjaan sehari dua hari tapi seumur hidup, jadi jangan memiliki anak kalau bukan dari kesepakatan bersama."

Nasihat dokter itu didengarkan sungguh-sungguh oleh Gala. Pria itu meraih tangan Bulan yang ada di paha dan menggenggamnya erat.

Setelah mendapat resep vitamin, Bulan dan Gala pun keluar. Gala memandang dingin sang Oma, mengajak Bulan menuju bagian farmasi untuk menyerahkan resep vitamin tadi.

"Ma, ayo kita pulang duluan!" Ajak Hana ke Dinar.

Meskipun awalnya tak beranjak dan diam mematung, tapi akhirnya Dinar mau menuruti ucapan Hana. Keduanya memutuskan pulang lebih dulu dari Gala dan Bulan.

Sambil menunggu namanya dipanggil bagian farmasi, Bulan dan Gala tampak duduk di kursi selasar. Keduanya sama-sama diam. Bulan sendiri meski sudah mencintai Gala, tapi merasa sedih juga jika mengandung benih suaminya karena terpaksa.

"Ada yang ingin aku tanyakan, apa bisa kita mampir ke suatu tempat dulu sebelum pulang untuk bicara?"

Gala mengangguk, meski di dalam hatinya sedikit cemas memikirkan bagaimana jika Bulan memilih berpisah dari pada hamil.

Sekitar setengah jam kemudian, Gala dan Bulan memasuki sebuah restoran mewah. Agar pembicaraan mereka tidak didengar orang lain, Gala pun memesan meja di private room.

Bulan terkejut, karena baru kali ini dia makan di tempat semewah itu. Bulan semakin melongo saat hidangan silih berganti diantar pelayan untuk disajikan di atas meja.

"Kenapa banyak sekali? Apa kamu pesan semua menu?" Bulan mengerutkan kening. Dia bahkan merasa sudah kenyang bahkan sebelum mencicipi.

"Kita harus menghabiskan satu juta rupiah untuk makanan agar bisa memakai ruangan ini?" Jawab Gala. "Jadi sekarang makan dulu setelah itu baru bertanya padaku.

"Bagaimana kalau semua ini tidak habis?"

"Kita bungkus dan bagi-bagi. Semudah itu!" Gala menjawab santai.

Bulan memulas senyum tipis, dia senang saat tahu kalau Gala tidak suka membuang-buang makanan.

"Mas Gala!" Bulan memanggil dengan nada mendayu, dan hampir saja Gala tersedak saat mendengar suaranya yang seksi.

"Ada apa? Apa makanannya kurang enak?"

Gala sengaja mengalihkan pembicaraan, tapi Bulan tak terpengaruh sama sekali. Wanita itu pun meminta izin apakah bisa mengajukan pertanyaan yang sedang dia pikirkan sekarang.

"Kamu membuatnya takut, apa sangat penting?"

"Hm... ini tentang kita, jika seandainya bulan depan aku belum hamil juga, apakah kamu bersedia mencari janda lain untuk dinikahi?"

Tanpa perlu berpikir, Gala menggelengkan kepala kemudian berkata," Tidak akan! Aku tidak akan menggantikan posisimu."

"Lalu bagaimana kalau kak Tabita yang hamil duluan? Bisa-bisa kamu dipecat jadi bagian dari keluarga karena tidak mendapatkan warisan utama."

"Sekarang aku tanya, seandainya apa yang kamu cemaskan terjadi, apakah kamu masih mau hidup bersamaku selamanya? Maukah kamu hidup sederhana?"

_
_
_

Komen ya

Terjerat Cinta Istri BayaranWhere stories live. Discover now