Bab 63 : Bertemu Mantan Suami

617 57 10
                                    

Setelah istirahat semalam, hari berikutnya Bulan mengajak Gala jalan-jalan keliling kampung saat masih pagi buta, untuk menikmati suasana kampung yang masih asri dan bebas dari polusi udara.

“Pagi.”

Tetangga Bulan menyapa Gala dan Bulan, bahkan mereka tersenyum sambil menganggukkan kepala saat berpapasan.

“Kenapa mereka senyum-senyum?” tanya Gala keheranan mendapat perlakuan yang sebenarnya biasa di sana.

“Itu mereka menyapa karena menghargai kita. Ya, orang sini kebanyakan begitu kalau ketemu orang,” jawab Bulan memberi penjelasan.

Gala pun mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban Bulan. Mereka lantas kembali melanjutkan jalan-jalan.

"Aku suka udaranya, masih segar." Gala melebarkan tangan dan membusungkan dada, menghirup dalam-dalam oksigen yang ada di sekitar.

Bulan memulas senyum melihat tingkah Gala, dia pun mengajak suaminya itu ke sawah, mereka duduk di gubuk yang terdapat di tengah-tengahnya.

“Di sini udaranya benar-benar membuat paru-paruku dimanjakan,” ucap Gala sambil menikmati pemandangan sawah.

“Hm … sebenarnya enak tinggal di sini, jika tidak ada tetangga julid,” timpal Bulan.

Gala langsung menoleh mendengar ucapan gadis itu. Dia menatap sang istri dengan rasa heran.

“Aku sebenarnya dulu ga mau tinggal di kampung karena banyak tetangga yang suka ikut campur urusanku dan suka ngomongin aku di belakang,” ujar Bulan menjelaskan.

“Itu dulu, kalau sekarang memangnya kamu mau?” tanya Gala.

“Nggaklah, tetap aku ga mau,” jawab Bulan sambil menoleh Gala. “Mau kaya atau miskin, tetap saja dipandang sebelah mata, tetap dicari-cari kesalahan buat dijulidin,” imbuh Bulan.

Gala mengangguk-angguk, apa yang dikatakan Bulan memang ada benarnya juga.

Tanpa Bulan dan Gala sadari, ternyata Arif melihat interaksi mereka dari jauh. Pria itu terlihat tidak senang dan merasa iri.

Gala dan Bulan sendiri masih menikmati suasana di sawah sambil berbincang tentang banyak hal. Hingga keduanya memutuskan untuk pulang setelah matahari perlahan menampakkan sinar.

Keduanya sudah berdiri dari gubuk dan saat akan berjalan ke arah rumah, mereka dihadang oleh Arif.

Tentu saja Bulan kaget karena mantan suaminya itu mendadak muncul di sana.

“Mas Gala, ini Arif.” Bulan akhirnya memperkenalkan pria itu karena merasa canggung dan malah saling tatap.

Gala bersikap biasa, bahkan sempat memperkenalkan diri dan dibalas oleh Arif.

“Bagaimana kabarmu, Lan?” tanya Arif dengan tatapan tertuju ke Bulan.

Gala memilih diam dan membiarkan Arif mengajak bicara gadis yang sekarang berstatus istrinya itu.

“Baik,” jawab Bulan singkat.

“Lama tidak ketemu kamu,” ucap Arif sambil memulas senyum.

“Hm … jelas, karena aku pindah ke kota dan kamu mati,” balas Bulan.

Arif terkejut mendengar balasan Bulan. Dia ingin memberikan pembelaan tapi Gala sudah lebih dulu menarik tangan Bulan.

“Ayo pulang, aku lapar.” Gala mengajak Bulan pergi menjauh dari Arif.

Bulan sendiri bersyukur Gala berinisiatif mengajaknya pergi agar dia tidak berlama-lama menanggapi sang mantan suami.

Namun, saat sampai di rumah, Bulan dan Gala dibuat terkejut karena ternyata Hana dan Kelana sudah berada di rumah pak Bathok.

“Apa kamu yang memberitahu mereka kita ada di sini?” tanya Gala ke Bulan.

“Tidak, mana aku berani? Kamu ‘kan sudah melarang."

“Gampang nemuin kamu mau minggat ke mana pun kami pasti tahu,” ujar Kelana ketika mendengar pertanyaan Gala ke Bulan.

Pak Bathok sendiri bingung karena Kelana membahas soal minggat. Bulan yang menyadari itu langsung menarik tangan sang ayah untuk masuk ke rumah.

“Ada tamu kok malah ngajak masuk sendiri, Bul?” tanya Pak Bathok keheranan.

“Itu, Pak. Tadi pagi aku nyari palu kok ga ada, di mana ya?” Bulan membuat alasan agar Gala bisa bicara leluasa dengan kedua orang tuanya.

Pak Bathok percaya begitu saja dan mencarikan palu yang ditanyakan sang putri.

“Papa dan Mama pulang saja. Aku ga mau balik ke rumah kalau masih dipaksa-paksa buat rebutan warisan,” ujar Gala malah mengusir kedua orang tuanya.

Kelana dan Hana terkejut, tapi tidak heran dengan sikap putranya itu jika sedang merajuk.

“Aku ga mau ada orang yang memaksa Bulan hamil kalau dia belum siap. Istriku masih ingin kuliah, jadi kalau hamil dan mengurus anak pasti akan merepotkan untuknya,” ujar Gala.

Kelana memandang putranya. Dia tahu jika sekarang Gala sudah banyak berubah. Bahkan menyadari jika Gala sudah benar-benar jatuh cinta ke Bulan.

“Papa terima keputusanmu, biar semua berjalan apa adanya seiring waktu berlalu,” ujar Kelana setelah mendengar ucapan Gala.

Gala malah kaget, dia terkejut dan tidak percaya mendengar ucapan Kelana.

“Tapi, meski begitu papa dan Mama tidak mau pulang begitu saja karena ingin jalan-jalan di Jogja. Apa kamu tahu di mana penginapan yang bisa mendengar suara jangkrik? Hotel bernuansa alam tapi bukan alam ghoib,” tanya Kelana kemudian.

Tepat saat Kelana menanyakan itu. Bulan sudah keluar dari rumah dan mendengarnya.

“Kalau Papa dan Mama mau, kenapa tidak menginap di sini saja? Tapi ya itu jika tidak keberatan,” ujar Bulan.

Kelana, Hana, dan Gala dengan kompak menoleh Bulan yang berjalan mendekat sambil bicara.

“Bagus, ini malah ide bagus. Di sini juga sepertinya memang suasananya enak.” Tanpa pikir panjang Kelana pun menerima tawaran sang mantu.

Malam harinya, orang tua Bulan mengajak sang besan untuk barbequan ala-ala di depan rumah, tentu saja Kelana dan Hana senang melakukan kegiatan itu, apalagi suasana di sana begitu syahdu.

Semua orang terlihat senang, tapi tidak dengan Gala. Dia terlihat kesal melihat kedua orang tuanya heboh, padahal hanya membakar jagung dan ubi.

“Mereka ini kampungan sekali,” gerutu Gala.

Bulan melihat Gala yang hanya diam memasang wajah masam. Dia pun mendekat dan duduk di samping pria itu.

“Sudah, jangan cemberut terus. Mumpung kita kumpul bersama, kenapa ga menikmati saja acara malam ini. Jarang-jarang juga kita kumpul tanpa mikirin tentang warisan dan pekerjaan.”

Terjerat Cinta Istri BayaranOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz