Bab 22 : Jonny, Jonny Yes Papa

732 93 52
                                    

Gala merengut, dia duduk bersama Hana, Dinar dan Bulan di depan televisi melihat berita tentang Tabita dan Altar. Keduanya menyebut tidak berniat merahasiakan pernikahan, tapi hanya ingin menghalalkan dulu hubungan.

Gala terlihat sangat sengit memandang wajah sepupunya di layar kaca, Ia beberapa kali membuang muka ke arah lain, lalu berakhir mematikan televisi.

“Kok dimatiin?” Tanya Hana, Dinar dan Bulan serempak bak paduan suara.

Gala malah semakin kesal, dia menjawab tayangan seperti itu tak berfaedah dan hanya merusak otak karena membuat orang ingin julid dan bergibah.

“Heh… mana ada julid? Lagipula kalau yang dijulid-in cucunya di Tatang bukannya kamu ga masalah?”

Dinar heran dengan tingkah Gala. Ia pun mengambil teh yang disuguhkan pembantu dan menyesapnya karena enggan juga merebut remote TV dari sang cucu.

“Lalu ini bagaimana pembagian warisan buyut? Siapa yang akan dapat?” Gala emosi jiwa, dia melirik Bulan yang sedang menyeruput teh seperti Dinar.

“Si pengacara bau tanah itu bilang buyutmu sudah mengantisipasi kejadian seperti ini.”

“Brttt …. “ Bulan tersedak mendengar kata-kata nenek suaminya yang ceplas-ceplos bak petasan banting.

Gala sendiri kaget, pria itu mengerutkan kening seolah tidak terima dengan apa yang baru saja dia dengar.

“Mengantisipasi? Apa maksudnya?” Tanya Gala.

“Lusa, kita harus berkumpul untuk mendengarkan surat wasiat antisipasi dari nenek Ayu,” jawab Hana.

Bulan menelan ludah susah payah, jika sampai benar apa yang dia dengar dari mulut Tabita — perihal dugaan siapa yang akan mendapat warisan adalah siapa yang memiliki anak lebih dulu, apa mungkin dia harus hamil anak Gala.

Bulan seketika merinding, apa hidupnya akan berakhir seperti tokoh wanita di kisah novel? Mengandung dan melahirkan anak pria yang membayarnya. Bulan menggeleng menepis pikiran itu.

Jika sampai bunyi warisan itu benar seperti apa yang Tabita duga, Bulan memutuskan akan meminta beberapa persen warisan yang didapat Gala, dia tidak mau hanya biaya kuliah saja.

Semua orang pun diam mendengar ucapan Hana, Gala sendiri sibuk menggerutu di dalam hati, bagaimana bisa nenek Gayung secermat ini.

“Pokoknya kalau isi wasiat nenek Gayung aneh-aneh, aku akan menggugatnya!”

Hana, Dinar dan Bulan menoleh Gala karena kaget. Hana sendiri lantas bertanya ke sang putra bagaimana caranya Gala menggugat orang yang sudah mati puluhan tahun.

“Bisa, apa Mama tidak pernah membaca gugatan-gugatan aneh dari orang-orang kurang kerjaan di belahan dunia?”

“Apa kamu akan menjadi salah satunya?”

Pertanyaan Hana membuat Dinar dan Bulan tertawa, tapi dua mahkluk beda umur itu cepat-cepat memasang muka datar, agar Gala tak tersinggung.

“Ya, aku akan menjadi salah satu orang kurang kerjaan itu kalau sampai isi wasiatnya semakin aneh, aku heran kenapa aku bisa dilahirkan di tengah keluarga seperti ini,” gerutu Gala.

“Ya ampun Ga, kok kamu jadi tidak bersyukur dan seolah menyalahkan Mama yang sudah ngelahirin kamu.” Hana mengusap dadanya, dia geleng-geleng seolah sedang sakit hati dengan ucapan sang putra barusan.

“Sana kamu protes sama papamu, dia yang menanamkan benih kecebongnya ke rahim Mama sampai jadi kamu.”

Gala gemas sampai menyatukan gigi, dia membuang muka dan menyilangkan kaki. Namun, tak lama pria itu bangun dan pergi meninggalkan ruang keluarga.

“Dia marah,” ucap Bulan.

“Ajak saja dia SKJ nanti juga waras lagi,” sambung Dinar dengan santai.

Bulan hanya bisa tersenyum bego, lalu menjawab,” Mana mau mas Gala diajak senam malam-malam seperti ini, Oma.”

Mendengar perkataan itu Dinar pun menoleh Hana dan tertawa seolah mengejek Bulan.

“SKJ itu senam kesegaran Jonny, Bulan.”

“Jonny? Jonny siapa Oma?” Tanya Bulan yang masih tidak paham dengan kemiringan otak keluarga suami abal-abalnya.

“Jonny- Jonny yes Papa,” sewot Dinar. “Jonny adik kecilnya Gala lah.”

“Hah? Adik mas Gala bukannya Tsamara? Apa papa punya anak lain?”

Hana tertawa melihat kepolosan istri anaknya, dia berdiri untuk pergi menyusul Kelana yang masih saja sibuk di ruang kerja. Wanita itu hanya tak ingin menjadi bagian dari perbincangan aneh ini.

Bulan semakin bingung, dia memandang Hana yang malah pergi meninggalkannya berdua bersama Dinar di sana.

“Bulan, Bulan, kamu itu ya. Masa aku harus menyebutkan siapa Jonny itu dengan gamblang,” ujar Dinar.

“Oma aku benar-benar tidak tahu, aku bingung!”

“Jonny itu nama ular-nya Gala, masih tidak paham juga?” Dinar mulai sewot.

Mata Bulan terlihat melirik ke kiri dan kanan untuk berpikir, hingga pipinya memerah karena tahu maksud dari wanita tua itu.

“Oma ih!”

Bulan mencoba menahan rasa malunya, tapi ternyata Dinar tak berhenti di sana. Wanita tua itu berdiri untuk pindah duduk tepat di sampingnya lalu bertanya.

“Apa kamu sudah mencoba krim mujarab yang aku berikan?”

“Belum,” jawab Bulan dengan suara kecil.

“Kenapa belum?”

“’Kan aku ga punya panu,kadas, kurap Oma, jadi untuk apa aku pakai selep kulit?” Bulan mengedip setelah bertanya, dia bahkan menurunkan baju di pundaknya. “Apa Oma mau cek? Aku tidak punya panu, aku itu tidak jorok, aku mengganti handuk setiap dua hari sekali.”

“Aduh!” Dinar menepuk jidat lalu menyandarkan punggung ke sofa.

“Oma, oma kenapa?”

Bulan panik melihat Dinar lemas, bisa panjang urusannya jika nenek suaminya itu mati saat berbincang dengannya.

“Itu krim mahal, Bulan. Itu juga bukan sembarang krim, aku pikir kamu sudah tahu apa kegunaannya.”

Bulan menggeleng, dia bersyukur Dinar baik-baik saja dan bisa bicara dengan normal.

“Baunya wangi sih Oma, apa itu skincare limited edition dari merek CHENTEL? Aku takut memakainya ke muka, takut iritasi soalnya udah biasa pakai krim murah."

“Astaga Bulan!” Teriak Dinar frustasi.

_
_
_

Astaga 🤣🤣🤣
Jangan lupa komen

Terjerat Cinta Istri BayaranWhere stories live. Discover now