Bab 38 : Ide Cemerlang Istri

482 82 34
                                    

Bulan sendiri saat ini masih menganggur. Dia sudah tes masuk universitas, dan tinggal menunggu pengumuman hasilnya.

“Kerja, enggak. Kuliah, enggak. Ga berguna sekali hidup aku,” gumam Bulan seperti orang frustasi. Dia seharian di rumah dan bingung harus mengerjakan apa.

Dari pada terus di kamar Bulan pun mencari angin turun ke bawah. Ia menuju halaman dan melihat pembantu rumah yang sedang menyiram bunga. Bulan pun mendekat, dia berniat mengambil alih pekerjaan itu.

“Jangan, Mbak!” Pembantu rumah merasa tidak enak jika Bulan melakukan pekerjaan itu.

“Nggak papa, Mbok. Biar aku sedikit berguna di rumah ini,” ucap Bulan dengan nada suara memaksa.

Pembantu rumah pun bingung, meski ragu tapi akhirnya memilih membiarkan saja Bulan menyiram bunga yang menjadi tugasnya itu.

Bulan tampak memulas senyum dan mulai menyirami bunga-bunga milik sang mertua. Namun, tak lama dia kembali murung dan bahkan berkali-kali menghela napas kasar, merasa dirinya sama sekali tidak berguna untuk Gala.

Sudah nekat resign dari pekerjaannya di kedai bakmi, tapi Gala malah belum bisa mendapat warisan yang diincar.

“Bukankah seharusnya dia mendapat warisan setelah menikahiku yang janda ini? Tapi sekarang malah dituntut harus punya anak dulu,” gumam Bulan, setalah itu kembali mendesau.

Bulan benar-benar galau, sampai-sampai dia tidak berkonsentrasi. Bukan bunga yang dia siram, melainkan pinggiran potnya, bunga bahkan tanahnya tidak terkena air.

Pembantu Hana ternyata masih mengamati apa yang dilakukan Bulan, dia merasa kalau istri majikannya itu tidak fokus, dan akhirnya memberanikan diri mengingatkan.

“Mbak, yang disiram bunganya, bukan potnya,” kata pembantu sedikit takut jika sampai Bulan marah.

Bulan pun tersadar dari lamunan, hingga melihat kalau memang salah menyiram.

“Mbak, kalau capek istirahat saja di dalam. Soalnya saya perhatikan sejak tadi, Mbak Bulan seperti capek dan banyak pikiran,” kata pembantu.

Bulan menatap pembantu, hingga sadar bukannya membantu, tapi malah membuat pekerjaan semakin kacau. Akhirnya Bulan pun masuk ke kamar.

Di kamar, Bulan lagi-lagi hanya diam dan berpikir, bahkan sampai melamun. Dia duduk termenung memeluk bantal, sampai tiba-tiba ponselnya berdering, dan nomor Tabita terpampang di layar.

Bulan mengerutkan alis karena Tabita tiba-tiba menghubunginya. Dia dan Tabita memang sudah bertukar nomor telepon sebelumnya, tapi tidak pernah saling menghubungi sama sekali, sehingga sekarang Bulan merasa sedikit aneh.

“Halo.” Bulan pun menjawab panggilan itu.

“Apa kamu sibuk? Aku mau ketemu sama kamu,” kata Tabita.

Bulan berpikir sejenak untuk apa istri sepupu suaminya itu ingin bertemu, tapi karena merasa tidak memiliki pekerjaan akhirnya dia mengiyakan.

“Oke, di mana?” tanya Bulan.

Setelah Tabita menyebutkan kafe tempat mengajak bertemu, Bulan pun bergegas bersiap untuk pergi ke tempat yang disebutkan.

Tak lama sesampainya Bulan di kafe itu, dia sudah melihat Tabita yang menunggu.

Wanita itu terlihat senang melihat kedatangan Bulan dan langsung menyapa dengan wajah semringah.

“Kupikir kamu tidak akan bisa datang karena sibuk,” ucap Tabita saat Bulan baru saja duduk di depannya.

“Tidak sibuk, di rumah aku juga hanya duduk diam sampai badan pegal,” balas Bulan.

Tabita meminta Bulan untuk duduk, lantas memanggil pelayan untuk memesan minuman.

Mereka duduk santai menunggu pesanan datang, hingga Tabita mulai membuka pembicaraan.

“Oh ya, manager Dominic tiba-tiba menghubungiku karena tahu kalau kamu itu istri sepupu suamiku. Nah, dia minta nomor ponselmu, memangnya ada apa?” tanya Tabita penasaran.

Bulan tampak terkejut, hingga akhirnya ingat soal anting pemberian dari Suri.

“Terus, apa kamu sudah memberikan nomorku?” tanya Bulan yang tidak menjawab rasa penasaran Tabita.

“Belum, ‘kan harus minta izin kamu dulu. Lagian aku juga belum tahu ada masalah apa. Nanti tahu-tahu aku salah gimana? Untuk itu aku mengajak kamu bertemu,” jawab Tabita.

“Benar juga ya.”

Bulan mengangguk-angguk. Ia malah heran, apa Tabita tidak bermain sosmed, padahal kehebohan soal anting Dominic itu sudah tersiar sampai ke mana-mana.

“Aku pikir kamu mengajak ketemuan untuk apa, ternyata untuk ini,” ucap Bulan kemudian.

Pesanan mereka datang, pembicaraan mereka pun terjeda dan masing-masing memilih menyantap apa yang saat ini tersaji di atas meja.

“Memangnya, kamu pikir aku mengajak bertemu mau membahas apa?” tanya Tabita dengan cerdiknya memancing Bulan.

Gadis itu masih menyedot jus di gelasnya ketika mendengar pertanyaan Tabita dan dia menjawab jujur.

“Membahas warisan yang diperebutkan Gala dan Altar, yang syaratnya naudzubillah aneh. Aku sejujurnya takut suamiku kalah dari suamimu,” jawab Bulan.

Ucapannya membuat Tabita berpikir, mungkin Bulan takut mengecewakan Gala, begitu juga dengan dia yang takut mengecewakan Altar.

Namun, lebih dari itu, Tabita sejujurnya juga tidak ingin hamil dulu, masih ada banyak hal yang ingin dicapainya. Sampai sebuah ide melintas di kepalanya dan dia pun mencoba memberi usulan ke Bulan.

“Aku sebenarnya juga agak kurang setuju dengan syarat itu. Bagaimana bisa anak dijadikan bahan kompetisi? Bukankah akan lebih tenang seandainya Tsamara yang mendapat warisan? setidaknya Gala dan Altar akan berhenti memperebutkan harta, lalu kita juga tidak perlu repot-repot berpikir kapan hamil,” ujar Tabita.

“Benar juga, masa hamil diberi batas waktu kadaluarsa. Ada-ada saja,” balas Bulan.

“Maka dari itu, menurutku akan jauh lebih baik kalau Tsamara saja yang mewarisi seluruh harta nenek Ayu,” timpal Tabita.

“Benar, aku setuju. Bagaimana kalau kita bantu Tsamara mendapatkan warisan Nenek Gayung?”

Bulan menatap Tabita lalu mengedikkan alis mata. Seolah tahu apa yang ada di pikiran mereka masing-masing, istri Altar itu mengangguk lalu tersenyum penuh arti.

"Kapan kita mulai?"

-
-

Komen dan bagi Vote nya ya geng

Terjerat Cinta Istri BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang