Bab 65 : Om-Om Saudara Tetangga

397 33 2
                                    

“Turun!” Dinar awalnya berteriak panik melihat Tsamara memanjat pagar.

“Oma bagaimana ini aku ga bisa turun! Nyangkut!” Tsamara bingung, dia benar-benar takut celaka. Baru menyadari bahwa perbuatannya bisa merugikan dirinya sendiri seperti ini.

Dinar yang sudah meminta satpam mengambil tangga pun seketika berpikir untuk menghubungi Hana. Dia menyampaikan apa yang terjadi pada Tsamara saat ini.

“Hana, kalian harus pulang sekarang! Tsamara ngamuk, dia mau kabur dari rumah dan malah nyangkut di atas pagar. Kalian pulang, jangan sampai Tsamara melakukan hal nekat lainnya!” Cerocos Dinar.

“Apa, Ma? Bagaimana bisa? Ya, kami akan pulang secepatnya. Mama tolong lakukan sesuatu agar Tsamara tetap baik-baik saja.” Suara Hana terdengar panik dari seberang panggilan. Wanita itu bergegas memberitahu Kelana dan meminta Gala untuk mengakhiri aksi minggatnya itu.

Di sisi lain, Tsamara yang menyadari kelakuan neneknya pun hanya bisa menepuk jidat, kenapa Dinar malah mengira dirinya akan melakukan hal di luar batas.

“Turun, tinggal turun gitu.” Dinar masih bingung harus bagaimana. Dia menoleh ke belakang untuk memastikan kenapa satpam lama sekali mengambil tangga.

Satpam rumah Kelana ternyata juga bingung, model tangga yang ada di rumah itu bentuknya tak memungkinkan untuk memanjat pagar. Jika bisa pun si satpam juga takut kalau gerbangnya roboh karena tidak mampu menopang dua tubuh.

“Kamu ini, bisa naik masa ga bisa turun!” Dinar gemas sendiri. Lebih tepatnya frustasi melihat tingkah Tsamara juga satpam yang leletnya setengah mati.

“Nggak bisa, Oma. Ga tahu ini kenapa ga bisa,” balas Tsamara.

“Lagian kenapa pakai acara naik gerbang sih.” Dinar menghentak-hentakkan kaki dan hampir mengacak-acak rambutnya.

“Salah siapa gerbangnya ditutup.” Tsamara tetap tak mau kalah, meski dirinya jelas-jelas salah.

Dinar hanya bisa geleng-geleng memandang cucu perempuannya itu. Sedangkan Tsamara sendiri bingung bagaimana cara turun dari sana, hingga dia melihat mobil yang berhenti di pinggir jalan tepat di depan gerbang rumah tetangganya.

Tsamara melihat seorang pria turun dari mobil. Dia tanpa sadang memandang lekat pria berumur matang itu — yang ternyata adalah om-om yang pernah dirinya temui di toko tas.

“Om-om itu.” Tsamara melongo karena terkejut. Dia seketika gengsi dan keki saat menyadari menjadi bahan tontonan orang lain.

“Pak, tangganya buruan!” teriak Tsamara yang pipinya memerah menahan malu.

Namun, tak Tsamara sangka pria itu malah mendekat dan memandanginya dari bawah. Tak sampai di sana pria itu lantas menatap Dinar yang ekspresinya sangat cemas berada di dalam pagar. Pria itu pun merasa kasihan lantas bertanya—

“Maaf, apa yang terjadi, Bu?”

“Cucuku mau kabur dari rumah. Dia manjat pagar malah ga tahu caranya turun,” jawab Dinar.

Pria itu mendongak, melihat Tsamara yang sedang bingung mau turun dengan cara bagaimana.

“Kamu siapa?” tanya Dinar yang tak pernah melihat pria itu di lingkungan rumah putra kesayangannya.

Bukannya membantu Tsamara turun dulu, Dinar malah penasaran dengan pria yang menghampirinya itu. Dia berdiri di dekat pagar dan berhadap-hadapan dengan si pria.

“Oh, saudara saya tinggal di sini. Rumahnya itu.” Pria itu menunjuk ke rumah yang bersebelahan dengan rumah Kelana.

“Oh … gitu.” Dinar manggut-manggut mendengar penjelasan pria itu yang kembali melihat ke arah Tsamara.

“Turunlah pelan-pelan, pijakkan kakimu di besi yang ada di bawah,” kata pria itu memberi instruksi.

Tsamara kebingungan. Dia melongok ke bawah dan merasa kalau itu sangat tinggi di luar jangkauan kakinya.

“Dasar Tsamara dodol, ngapain sih kamu tu? Kamu bukan pemain akrobat tahu,” gerutu Tsamara merutuki kebodohannya sendiri.

“Ikuti kata om ini, turun perlahan.” Dinar berteriak menginstruksi. Mau menunggu satpam datang membawa tangga pun lama. Mungkin si satpam malah minum kopi di dalam.

“Turun saja! Langkahkan kakimu melewati besi biar sejajar dulu, baru kamu turun,” kata pria itu karena kaki Tsamara yang satu berada di luar dan yang lain masih di dalam.

Tsamara menggerutu, komat-kamit tak jelas karena kesal bercampur malu.

Dia pun akhirnya mencoba melakukan instruksi pria yang mengenakan kemeja putih itu, Tsamara melangkahkan satu kaki yang masih di dalam agar berada di luar, kedua tangannya sudah berpegangan dengan kencang agar tidak jatuh, apalagi telapak tangannya agak berkeringat karena panas.

“Kalau aku jatuh terus patah tulang bagaimana?” Tsamara mulai panik, dia tidak berani melihat ke bawah, akibatnya kaki yang hendak turun malah tidak tepat berpijak.

“Lihat ke bawah, lihat ke mana kakimu mau berpijak.” Pria itu kembali memberi instruksi.

Tsamara menurunkan pandangan. Satu kakinya menggantung belum mendapat pijakan, hingga membuat kedua tangannya harus bekerja ekstra berpegangan agar tidak jatuh.

Satpam yang diminta membawa tangga pun datang, tapi bingung karena posisi Tsamara sudah berada di luar.

“Tangganya, Nyonya.” Satpam itu siap memosisikan tangga agar bisa digunakan.

“Gimana cara Tsamara turun pakai tangga kalau dia sudah di luar?” Dinar semakin pusing akibat ulah si satpam.

“Tsamara, kamu naik lagi dan mengarah ke dalam. Turun pakai tangga!” teriak Dinar.

“Oma! Mana bisa!” Tsamara sudah hampir menangis, keningnya bahkan sudah banjir keringat.

Pria yang berniat menolong pun kini ikut bingung, membuka gerbang untuk mengambil tangga pun tak mungkin bisa dia lakukan. Pastinya akan menciptakan getaran di gerbang yang bisa membahayakan Tsamara.

“Terus gimana? Begini ini kalau ga nurut sama orang tua dan suka ngebantah! Repot sendiri!” Dinar menggerutu.

Tsamara ketakutan hingga kedua telapak tangannya menjadi semakin berkeringat dan licin.

“Pijakkan kakimu dengan benar, kalau kamu turun perlahan, pasti bisa.” Pria yang dibawah Tsamara pun mencoba menyemangati.

Tsamara berdoa agar tidak jatuh. Dia pun berusaha dengan perlahan memijakkan kaki di besi gerbang, lantas perlahan menurunkan kaki lagi.

Namun, tiba-tiba salah satu tangan Tsamara terlepas dari pegangan, membuat kaki yang hendak berpijak tergelincir dan membuatnya jatuh.

“Tsamara!” Dinar berteriak histeris karena Tsamara terpeleset.

Tsamara pun memejamkan mata karena jatuh, tapi dia merasa aneh karena tidak merasa sakit sakit sama sekali.

Ternyata pria yang tadi di bawah Tsamara, berusaha untuk menangkap gadis itu ketika jatuh. Namun nahas, Tsamara malah menimpanya, membuat keduanya kini jatuh di tanah dengan posisi Tsamara berada di atas pria itu.

Dinar dan satpam syok, bahkan Dinar sampai membekap mulut.

Tsamara membuka mata, melihat siapa yang ada di bawah tubuhnya. Wajah putri Hana itu memerah mendapati dirinya jatuh di atas tubuh pria asing.

“Maaf.”

Pria itu mengangguk lantas berkata,“Bisa menyingkir dari atas tubuhku? Punggungku sakit."

Tsamara bergegas bangkit, bingung, salah tingkah, juga malu bercampur menjadi satu.

“Maaf, maafkan aku.” Tsamara meminta maaf berulang kali sambil menunduk-nundukkan kepala.

Terjerat Cinta Istri BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang