Prolog

39K 2.5K 81
                                    

Malam itu terasa sama seperti malam-malam yang lain baginya. Ratusan kali ia melihat bintang-bintang bersinar di langit gelap, ribuan kali ia melihat bulan purnama yang bertengger menerangi kegelapan. Begitu pula dengan tujuannya berjalan keluar dari manor house, tempat yang selama ini menjadi persembunyiannya. Ia ingin memuaskan dahaganya, membiarkan sisi monster yang ia benci menguasai raganya. Ya, dia amat membenci dirinya sendiri.

  Ia mengendus udara, menghirup aroma yang ada di sekelilingnya. Ia mencari aroma itu; aroma khas yang amat jarang ia cium, namun melekat erat di ingatannya.

  Dia menemukannya.
 
  Menghela nafas panjang, ia membiarkan insting hewaninya menuntun langkahnya menuju asal aroma itu. Bergerak menembus hutan, ia tiba didepan sebuah gubuk kecil tanpa penerangan. Entah kenapa, ia merasa ada yang berbeda dari aroma yang ia cium. Aroma ini sedikit berbeda dari yang lain. Sangat menggoda. Ia berusaha menahan sisi monsternya untuk sesaat. Ia ingin lebih mengenalnya sebelum memutuskan, apakah dia akan memangsanya atau tidak. Karena di sisi lain, ia juga memberikan sebuah kekuatan besar kepada orang yang menjadi pemuas dahaganya.

  Perlahan, ia berjalan memasuki gubuk itu. Ada beberapa mayat manusia yang tergeletak di tanah. Ia hampir kehilangan kendali saat melihat genangan darah mereka, tapi ia berusaha untuk berkonsentrasi pada aroma ‘unik’ itu. Dan akhirnya aroma itu berujung pada seorang gadis yang tengah sekarat. Masih muda– mungkin sekitar enam belas– dan berlumuran darah. Biasanya ia tidak akan tertarik pada seseorang yang masih muda, apalagi seorang wanita. Tapi kali ini berbeda. Ia menggendong gadis itu keluar dari gubuk, menjauhkannya dari bau-bau yang mengganggu aroma uniknya.

  Setelah berjalan cukup jauh, ia menyandarkan tubuh gadis itu dibawah sebuah pohon raksasa. Berlutut didepannya, ia memandang perempuan itu dengan seksama. Rambut maroonnya terlihat kusut, mata birunya yang hampir kosong memancarkan ketakutan. Mungkin dia takut melihat parasnya yang mengerikan dengan mata semerah darah dan taring yang tajam. Tapi ia telah  berusaha setenang mungkin agar perempuan itu tidak takut padanya. Ia menatap mata birunya dalam keheningan, menembus pikirannya dan melihat masa lalunya.
 
  Setelah beberapa saat, ia sadar bahwa perempuan itu bukanlah orang jahat seperti manusia-manusia lainnya. Tidak seperti manusia yang selama ini ia bunuh dalam perang, atau mereka yang telah menjadi santapannya. Masa lalunya tidaklah seindah kebanyakan orang, tapi ia tetap berusaha bertahan, bahkan hingga saat ini. Hal ini membuat hatinya tergerak.

  Tanpa sadar, jemarinya bergerak menyentuh wajahnya. Ditelusurinya lekukan wajahnya dengan hati-hati, seolah gadis itu serapuh kaca dan bisa meluncur dari tangannya kapan saja. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Ia tahu bahwa perempuan ini tidak pantas untuk menderita lebih lama, terlebih menanggung kutukannya. Karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkannya dan mencari mangsa lain yang lebih pantas bagi dirinya.

  Tapi ketika ia hendak berdiri, gadis itu memegang tangannya dan berkata, “Kumohon, jangan pergi.”

  “Kau… dapat memberiku kesempatan, bukan?” katanya dengan susah payah, “Kumohon, gigit aku.”

Ia memandangnya dengan bingung. Tapi di saat yang sama, sisi monsternya teramat senang mendengar perkataannya hingga ingin segera menuruti perkataannya. Ia berusaha meredam keinginan itu untuk sementara.

“Kau akan sangat menyesali keputusanmu”, akhirnya ia berbicara.
Perempuan itu menggeleng, “Aku tidak akan menyesal. Aku masih belum… menemukannya.”

Ia semakin bingung, “Apa yang belum kau temukan?”

Tersenyum, perempuan itu berucap pelan, “Cinta.”

Dalam keheningan, ia memandang mata biru itu, mata yang memancarkan kesungguhan yang menegaskan bahwa ia tidak sedang bermain-main dengan ucapannya.

“Maukah kau, memberiku kesempatan?”

Setelah cukup lama merenungkannya, ia memutuskan, “Baiklah.”

Kebahagiaan besar terpancar di wajah gadis itu. Namun, matanya perlahan terpejam, dan ia berbisik, “Terima kasih.”

Tubuhnya melemas, dan air mata terakhirnya mengalir turun dari kelopak matanya.

Sebelum tubuhnya yang lemas jatuh, ia menangkap dan mendekapnya dalam pangkuan. Kepalanya yang lunglai berada diatas lengannya. Tubuhnya mulai mendingin, tapi ini belum terlambat.

Belum benar-benar terlambat.

Perlahan ia mendekatkan wajahnya menuju lehernya yang tanpa cela. Ia membuka mulutnya, lalu dengan hati-hati menancapkan taringnya pada kulitnya hingga menembus ke bagian terdalam. Darah perlahan mengalir keluar dari luka yang ia buat, kemudian ia menyerahkan seluruh kesadarannya pada sisi monster yang selama ini ia pendam.

Namun sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, muncul sebuah pertanyaan yang belum pernah terpikirkan olehnya sejak awal kehidupan abadinya.

Apa itu cinta?

***

Tear of Mythical Creatures; VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang