Chapter 57; Selene

1.1K 225 28
                                    

"Nenek?"

Aku masih berdiri diam terpaku di tempatku, menatap sosok wanita yang saat ini berdiri di hadapanku. Tidak mungkin nenek masih hidup, karena aku telah melihat sendiri kematiannya—ketika ia tertidur lelap di tempat tidurnya setelah melalui satu malam yang paling berat baginya, dan juga bagi diriku.

Sudah cukup lama nenek menderita karena penyakitnya, mungkin sekitar satu bulan. Dan selama itu pula ia terbaring di tempat tidur. Selama itu pula aku merawatnya serta menggantikan setiap pekerjaan yang tertunda.

Dan melihatnya berdiri tegap di depanku saat ini adalah satu hal yang sulit kupercaya. Ini pasti ilusi dari alunan musik El.

"Selene, my girl."

Tidak, ini terlalu nyata.

"Jangan takut, my girl. Kemarilah." Ia merentangkan tangannya, memberiku kesempatan untuk memeluknya. Sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat ia masih hidup.

Dan tentu saja aku tidak mampu menolaknya.

Aku segera menyambut pelukan nenek, menenggelamkan wajahku dalam lekuk lehernya yang terasa hangat. Hampir satu bulan, kurasa, dan aku tak menyangka akan bertemu dengannya kembali. Pelukan ini, aku sangat merindukannya. Terasa seperti bertahun-tahun aku kehilangan dirinya.

"Aku sangat merindukanmu, nenek," bisikku, berusaha menahan luapan perasaan yang hampir tumpah dari dalam hatiku.

"Aku juga sangat merindukanmu, my girl," ucapnya sambil mengusap punggungku. "Kemari, aku ingin melihat wajahmu."

Ia melepas pelukan kami dan memandangku dengan mata birunya yang berkilau, kemudian berkata, "Oh  Selene. Kau telah banyak berubah."

Aku yakin yang ia maksud adalah wujudku saat ini. Aku bukan lagi manusia, dan itu pasti membuatnya sedih. "Maafkan aku, nenek. Aku bukan lagi Selene yang kau kenal."

"My girl," ia menggeleng. "Kau tetaplah cucuku. Putriku yang paling kusayangi. Apapun wujudmu saat ini, itu tidak dapat mengubah kenyataan bahwa kau adalah Selene, gadis yang paling berharga dalam hidupku." Ia mengusap pipiku dengan tangannya, lalu tersenyum. "Kau sangat cantik, my girl."

Aku menggenggam tangannya itu, menekannya ke pipiku seakan takut kehilangan dirinya. Tanpa sadar air mata mengalir dari mataku yang terpejam. Ya, aku tak mampu menahan perasaanku lagi, perasaan yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata. Perasaan yang bercampur menjadi satu, yang hanya mampu tergambar dalam air mata yang mengalir di pipiku.

Sejenak aku meletakkan setiap beban permasalahan yang kuhadapi saat ini—setiap ketegangan dan kesedihan yang kurasakan sejak meninggalkan manor house—menikmati usapan jemari nenek di pipiku yang terasa begitu nyaman. Ya, semua itu bukanlah hal yang penting saat ini, jika aku bisa menghabiskan waktuku yang teramat singkat bersama nenek. Sebuah kesempatan yang mungkin hanya bisa kudapatkan sekali ini.

"Nenek," aku membuka mata. "Kau sangat menyayangiku?"

"Tentu saja, my dear. Aku sangat menyayangimu."

"Meskipun aku bukan lagi manusia?"

Ia mengangguk lembut.

"Maafkan aku, nenek. Untuk setiap kesalahanku."

"Tidak, Selene. Jangan merasa bersalah." Ia kembali memelukku. "Apapun yang kau lakukan, setiap keputusan yang kau ambil, aku tetap mengasihimu. Kau adalah perempuan yang bebas menentukan hidupmu, dan di sisi manapun kau berada, ingatlah selalu bahwa kau tetaplah cucuku, Selene yang kucintai. Selamanya."

Perkataannya seakan membebaskanku dari beban yang selama ini menghantui benakku. Ya, selama ini, meskipun aku merasa telah memiliki keluarga baru, terkadang aku masih merasa bersalah karena mengambil keputusan untuk memilih kehidupan baru ini. Perasaan bersalah ini terlebih tertuju kepada nenek, karena sepanjang aku hidup bersamanya, ia berusaha menjauhkanku dari dunia gelap yang berbahaya. Sedangkan kini, aku sudah menjadi bagian dari dunia itu.

Dan setelah mendengar ucapannya itu, aku merasa tenang.

"Terima kasih, nenek. Untuk segalanya. Dan, maafkan aku."

Membulatkan tekad, aku menarik belati yang tersarung di pinggangku dan menikam punggungnya.

Ia membuat suara tercekat, kemudian belati lainnya jatuh di belakangku.

Ya, sedari tadi aku telah menyadarinya. Dia bukanlah nenek, dan dia hendak membunuhku. Sejak awal, aku tahu bahwa ini ilusi ciptaan El, keinginan terdalam yang ia wujudkan melalui permainan musiknya. Dan keinginan terdalamku adalah bertemu dengan nenek.

Ya, aku sangat merindukannya jauh dalam lubuk hatiku. Aku sungguh ingin bertemu kembali dengannya, dan jika diberi kesempatan, aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadanya. Selama ini aku berusaha memendam keinginan ini, menerima kenyataan bahwa ia telah tiada dan tidak akan bisa bertemu denganku lagi.

Sebab itu aku bersyukur untuk kesempatan ini, meskipun terasa amat menyakitkan untuk mengakhirinya dengan cara ini.

Pedih, tentu saja. Terlebih melihatnya tersenyum dalam dekapanku, kemudian menghilang dalam bayang-bayang gelap hutan yang mengelilingiku. Aku tak dapat menahan air mata yang mengalir lebih deras dibading sebelumnya, berusaha menghilangkan kesedihan yang memilukan ini.

Dan juga, menghilangkan perasaan bersalah yang perlahan menggerogoti hatiku.

Itu hanya ilusi, namun terlalu nyata, batinku berulang kali.

Menarik napas panjang—yang sungguh amat kuperlukan saat ini—aku bangkit berdiri dan kembali melanjutkan pencarianku. Aku telah mengalahkan keinginanku, dan aku tidak ingin bertemu dengan keinginan-keinginanku yang lainnya lagi, jika itu masih ada. Aku harus segera menemukan El.

Dan kuharap, Rash juga mampu mengalahkan keinginannya.

***

Spoiler alert; next chapter bakal ketemu sama Rash ;)

Love,

Carol Joe.

Tear of Mythical Creatures; VampireWhere stories live. Discover now