Chapter 40; Selene

10.5K 973 84
                                    

Sesuai kesepakatan kemarin, hari ini aku, Camille, Reist, Greg, dan Rash berencana untuk pergi berburu. Selain itu, kami juga akan mengunjungi rumahku untuk mengambil barang-barang yang mungkin bisa membantu aku dan Camille untuk membuat penawar racun yang lebih kuat, sekaligus mengumpulkan barang-barang peninggalan nenek yang bisa diselamatkan.

Ya, sejak aku meninggalkan rumahku di hutan, aku tidak tahu seperti apa rumahku sekarang. Mungkin pasukan manusia sudah memporak-porandakan isinya, dan aku hanya bisa berharap mereka tidak menjarah seisi rumahku hingga tak tersisa.

Aku amat antusias dengan kegiatan hari ini. Tapi karena kejadian kemarin, aku tidak berani memandang Rash. Suasana canggung yang selalu kurasakan bersamanya kembali muncul.

Aku tahu dia sesekali memperhatikan aku, mungkin juga bingung dengan perubahan sikapku. Bukannya aku tidak senang dengan sikapnya kemarin. Aku sangat senang, tapi juga canggung. Well, gadis mana yang tidak canggung setelah dicium oleh seorang pria tampan yang merupakan malaikat penyelamat hidupnya?

Sesampainya di tempat, kami segera bersembunyi di atas pohon. Ada beberapa prajurit manusia yang tengah menggeledah rumahku dan berjaga di depannya.

"Hanya lima orang, dan tidak ada pasukan lain selain mereka," Greg mengumumkan.

"Aku sangat membenci orang-orang yang mengusik rumah sahabatku," gumam Camille.

"Well, mari kita isi perut kita dengan darah mereka. Rash, kau tetap disini bersama Selene. Greg, Camille," Reist menyeringai kepada mereka berdua, "mari kita kejutkan mereka."

Mereka melompat turun, dan kejadian selanjutnya persis seperti yang diinginkan Reist. Aku memperhatikan pertarungan mereka dari atas sembari duduk diatas sebatang dahan pohon yang kokoh.

Sebenarnya ini tidak bisa disebut sebagai pertarungan. Mereka terlihat seperti sedang bermain, berhubung prajurit yang mereka hadapi adalah prajurit manusia biasa. Apalagi aku sudah membuat penangkal racun yang telah kami semua minum. Penangkal itu akan menetralkan racun yang ada di senjata pasukan manusia begitu racun itu masuk ke dalam tubuh. Oh, tentu saja aku membuatnya bersama Camille. Tapi aku juga patut berbangga diri. Well, mungkin aku bisa menyebut diriku sendiri jenius mulai sekarang.

Aku mendengar suara tersedak dari orang yang kini duduk di sebelahku. Aku segera menoleh, tapi ternyata dia tersedak karena menahan tawa. Lantas aku menyipitkan mata menatapnya. "Maaf?"

"Bukan apa-apa. Anggap saja aku tidak mendengarnya."

"Lalu kenapa tertawa? Kau mengejekku?"

"Tidak. Kamu memang gadis paling jenius. Aku senang mendengarnya."

Dia tidak menatapku, tapi senyum indah terukir di wajahnya. Senyum yang selama ini ingin kulihat dari wajahnya. Senyum tulus, yang ternyata membuat dadaku sesak saking kagumnya. Aku tidak pernah menyangka efeknya akan seperti ini. Membuatku terpesona, juga tersipu karenanya.

"Akhirnya kau menatapku."

"Apa?" Aku berdeham. "Bi, bisakah kau tidak membaca pikiranku sekali saja? Kadang itu agak mengganggu."

"Sebenarnya, kau bisa mengunci pikiranmu agar aku tidak bisa membacanya." Ia menoleh dan menatapku. "Beberapa kali kau melakukannya tanpa sadar, dan itu membuatku kesulitan memahami pikiranmu."

Aku segera berpaling darinya. "Itu bagus untukku." Mendengus kesal, aku bergumam, "Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"

"Kau marah?"

"Untuk apa aku marah hanya karena hal sepele seperti ini? Aku jauh lebih marah ketika–"

Seketika mulutku terbungkam. Aku tidak jadi menyelesaikan perkataanku, karena yang ingin kukatakan barusan berhubungan dengan kejadian yang kulihat di malam itu– saat dia membunuh seorang bangsawan vampire.

Tear of Mythical Creatures; VampireWhere stories live. Discover now