Chapter 2; Selene

22.8K 1.9K 38
                                    

Lima hari telah berlalu, dan aku sama sekali tidak menginjakkan kaki keluar dari kamar ini. Tidak makan dan tidur, tapi aku tidak lapar ataupun mengantuk. Ini sangat mengganggu, apalagi rasa panas yang menyebar di kerongkonganku. Semakin hari semakin membakar. Rasanya aku ingin mati dari pada terus seperti ini.

Bersembunyi di balik selimut, aku mendengarkan suara-suara dari balik pintu kamarku. Biasanya sunyi, tapi kali ini berbeda. Dua orang, yang satu adalah Reist sedangkan yang lain tidak kukenali. Sepertinya mereka sedang membicarakan aku yang belum juga keluar dari kamar. Aku memang tidak berencana keluar. Aku hanya ingin mati disini. Itu lebih baik.

Salah satu dari mereka berjalan pergi, dan yang lainnya tetap berada di depan pintu. Ia mengetuk, "Selene, apa kau baik-baik saja?"

Reist. Aku tidak menjawab.

"Jika kamu merasa kondisimu semakin buruk, panggilah aku secepatnya."

Aku tidak akan pernah memanggilnya. Itu sudah menjadi keputusanku.

Dua hari kembali berlalu. Kali ini rasa panasnya sudah berada di puncaknya. Kesadaranku mulai menurun. Mungkin tidak lama lagi aku akan menjadi monster yang sesungguhnya, atau mati kehausan. Aku lebih memilih yang kedua.

Dalam keadaan setengah sadar, aku mendengar seseorang berjalan memasuki kamarku, dan di saat yang sama aku mencium aroma manis yang sepertinya mampu memuaskan rasa hausku. Apa ini bau darah?

Ia meletakkan sesuatu di meja di sebelah ranjangku, kemudian menarik selimutku.

Seorang pria berambut legam berdiri menatapku dengan mata kelabu yang tajam. Rambutnya tertata agak berantakan– mungkin itu memang gaya rambutnya–, tubuhnya yang ramping namun tegap terlihat bak seorang kesatria di medan perang. Sepintas aku membayangkannya menunggangi kuda sambil membawa pedang di tangannya, lengkap dengan baju zirah yang berwarna senada dengan matanya.

"Melihatmu seperti ini setelah menyelamatkanmu membuatku prihatin. Kau tahu apa artinya?" Ia mencengkeram wajahku dengan salah satu tangannya, kemudian mendekatkan wajah, "Mengecewakan."

Ia menelengkan kepala, lalu menciumku.

Bibirnya mengusap bibirku dengan lembut. Hanya sesaat, tapi aku bisa merasakan sesuatu. Seperti aliran energi baru mengalir masuk ke dalam tubuhku. Apa dia memberiku energi lewat ciumannya itu?

Melepas ciumannya, matanya yang kini terlihat bersinar perak bertemu dengan kedua mataku. Tidak ada yang ia katakan, hanya menatapku dalam keheningan.

Itu tidak berlangsung lama.

Kudorong tubuhnya menjauh dariku, "Apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan nada tinggi sambil mengelap bibirku. Aku tahu itu tidak ada gunanya.

Ia mengambil cawan yang ada di meja, lalu menyodorkannya kepadaku, "Minumlah."

Baunya sangat menggoda, membuat pikiranku kalut. Tapi aku tetap pada pendirianku dan menjawab, "Aku tidak akan meminumnya."

"Walaupun kau sangat ingin mencicipinya?"

"Sudah kubilang, aku tidak akan meminumnya!" bentakku.

Cahaya yang ada di matanya seolah-olah meredup. Ia berujar dengan dingin, "Kalau begitu, kulakukan secara paksa."

Sekali lagi ia mencengkeram wajahku, dan kali ini jauh lebih kuat dari sebelumnya. Spontan aku memberontak. Aku berusaha menyingkirkan tangannya dariku, tapi tangannya bergeming seolah sekeras batu. Ia mulai menuang cairan merah itu ke dalam mulutku, dan aku tak dapat menolak untuk segera menelannya.

Cairan itu perlahan mengalir membasahi kerongkonganku, meredakan rasa sakit yang sejak seminggu terakhir kurasakan. Seiring berjalannya waktu, rasa sakit itu perlahan menghilang, membuatku merasa lebih tenang. Pikiranku melayang. Apakah ini rasanya ketika sedang mabuk?

Ia menarik bibir cawan itu dari mulutku, kemudian melepas cengkeramannya sambil berucap, "Darah rusa. Tidak akan bisa menahan hausmu selamanya. Bagaimanapun juga, kamu harus segera berburu."

Ia berjalan menuju pintu. Tapi sebelum ia membuka pintu kamarku, aku bertanya, "Siapa kau?"

Tanpa berpaling, ia berkata, "Seharusnya kau sudah tahu siapa diriku."

Samar-samar, aku mendengar suara halus yang menggema dalam pikiranku. Suara itu adalah suaranya yang berbisik,

Akulah orang yang mengubahmu.

Terkejut, tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Waktu seolah mengalir lebih lambat di sekitarku. Aku terdiam dalam keheningan, memandang tubuhnya yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rasa kebencianku mulai tumbuh, bercampur dengan dendam baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Aku bersumpah, aku akan membunuhnya.

***


Yayy.. Seneng rasanya udah mulai bnyk yg baca ni novel n bisa update lagi hari ini.. (Walaupun bsk sdh mulai USEK.. T^T)

Karena bsk Caro sdh mulai USEK, mgkn update nya g bs sering2 (nyesek momment). Tapi tidak seperti yg Caro bilang di opening novel ini, Caro bakal coba utk update setiap minggu.. XD

Jadi mohon bersabar, krn Caro sdh mulai mempersiapkan lusinan draft (#plak) utk novel ini.

Caro tunggu comment, vote, and sharenya.. XD

Xoxo,

Carol Joe.

Tear of Mythical Creatures; VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang