Chapter 45; Rash

8.6K 879 121
                                    

"Aku bisa berjalan sendiri."

"Tidak. Bahkan sebelum lima langkah, kau akan tersungkur di tanah."

Kami berjalan dengan tersendat-sendat menuju perpustakaan, tempat yang merupakan sarang El berhuni di manor house Areista. Sementara salah satu lengannya melingkar dibahuku, ia menyumpah pelan di samping telingaku dalam Bahasa Aslarez.

Walaupun aku tak melihatnya langsung, aku tahu senyum singkat merekah di wajahnya. "Kau mencuri kata-kataku, lagi."

Aku membuka pintu perpustakaan dengan tanganku yang bebas, mendorongnya hingga memberi ruang untukku dan El agar bisa masuk. Mataku seketika memandang apa yang ada di depanku, dan sejenak aku terdiam.

Buku. Buku dimana-mana. Lebih banyak dari biasanya.

Tapi aku tidak perlu menanyakan hal ini lebih jauh kepada El. Perpustakaan ini memang selalu penuh, lebih penuh lagi ketika Lewis mengirimkan buku-buku dari perpustakaannya kepada El.

"Terakhir kali aku mendengarmu menyumpah sekitar sepuluh tahun yang lalu, ketika kau mengira aku akan mati karena sebuah tombak menyobek perutku."

Aku mendudukkannya pada salah satu sofa berwarna gelap di tengah ruangan, kemudian mengambil tempat di sofa lain, tepat dihadapannya. Ia meletakkan kepalanya pada sandaran sofa, menghadap langit-langit gelap yang sebenarnya tidak ia pandang. Dipijatnya pangkal hidungnya seperti orang yang kelelahan, sementara aku menunggunya berbicara.

Atau mungkin dia benar-benar lelah?

Ia terkekeh sejenak, kemudian memandangku. "Kau membuatku takut bukan main, Rash. Isi perutmu hampir terlihat."

Emas di matanya berbeda.

"Asal kau tahu, aku juga menyumpah ketika kukira kau sudah merenggang nyawa akibat racun manusia. Dan lihat, sekarang kau dalam keadaan yang sangat baik." Ia menghela napas. "Kau tak hentinya membuatku terkejut."

"Kurasa itu sudah menjadi kebiasaanku." Aku menyeringai. "Lolos dari kematian puluhan kali."

"Tapi kali ini berkat gadismu, Selene. Jika bukan karena dia, kau benar-benar akan bertemu malaikat pencabut nyawa."

"Malaikat pencabut nyawa tidak akan menjemput jiwa tercela seperti kita," timpalku. "Tapi kau benar, ini berkat dia."

Selama beberapa saat, keheningan memenuhi ruangan ini. Ia menatap ke arah jendela raksasa, tempat cahaya matahari pagi masuk dan mengisi hampir seluruh sudut ruangan dengan semburat warna jingga cerah. Dari sisi ini, aku bisa melihat garis rahangnya yang tegas di balik kulitnya yang pucat. Wajahnya tak berubah sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Wajah yang tegas dan disukai banyak wanita.

Setidaknya itu menurut Camille.

Hanya saja, wajahnya kali ini terlihat amat lelah. Sesuatu yang tak kuketahui penyebabnya.

"Gadis itu," ujarnya setelah beberapa saat, "dia memberi banyak perubahan kepada penghuni manor house ini."

"Kau terlihat lebih ceria sejak dia datang kemari, tidak terus berlarut dalam masa lalumu."

"Dan kau, aku bisa melihat tembok yang selama ini mengunci dirimu yang sesungguhnya perlahan runtuh."

Aku tak dapat menahan diri untuk tidak menyeringai. "Kau bahkan tidak tahu seperti apa diriku yang sesungguhnya."

"Aku tahu," ucapnya dengan penuh keyakinan. "Seperti aku mengenal biola mana yang mampu menghasilkan suara terbaik."

Tidak, dia hanya tahu sebagian dari diriku. Sama sepertiku yang hanya mengetahui sebagian dari dirinya.

Tear of Mythical Creatures; VampireWhere stories live. Discover now