Chapter 41; Selene

10.1K 875 54
                                    

"Maaf mengganggu momen kalian," aku dan Rash menoleh serempak, dan kulihat Reist berusaha menyembunyikan senyumannya. "Tapi Selene, Camille memanggilmu."

Spontan aku melepas genggaman tangan Rash dariku, sementara ia memalingkan wajah dan berdeham keras. Aku yakin dia sama canggungnya denganku saat ini karena tidak menyadari keberadaan Reist sejak tadi. Dia pasti melihat kelakuan kami yang seharusnya dilakukan hanya saat kami berdua.

Aku menyusul Camille yang sudah berada di dalam rumahku, rumah yang dulunya menjadi tempat tinggalku. Kondisinya sudah tidak seperti dulu. Beberapa kayu yang menyangga langit-langit telah lapuk dan dipenuhi bercak darah kering, entah itu darahku sendiri atau prajurit-prajurit yang menyerangku dan berakhir saling membunuh. Rak-rak yang dulunya dipenuhi obat-obatan telah kosong, tapi tidak seluruhnya. Ada beberapa botol kaca yang tertutupi debu tebal, padahal dulu aku selalu membersihkannya setiap hari. Sebagian besar buku telah menghilang, begitu pula peralatan medis nenek.

Greg sedang mengamati beberapa benda di dapur, sementara Camille tengah menelusuri rak-rak yang berisi obat-obatan dan ramuan buatan nenek. Jemarinya bergerak menyusuri pinggiran rak yang tertutupi debu, sementara pandangannya menerawang mengingat kejadian yang kuyakini ia lalui bersama nenek selama di rumah ini. Ada sebulir air mata yang mengalir di pipinya, dan itu membuat mataku ikut berkaca-kaca.

Sejak awal sebelum memasuki rumahku, aku sudah mempersiapkan diri untuk melihat segala hal yang ada di dalam, bahkan jika itu yang paling buruk sekalipun. Tapi melihat Camille yang tak mampu meredam emosinya, aku pun tak mampu menahan kesedihanku lagi. Sesak, meski aku tak bernapas. Perih, walaupun aku tak terluka sedikitpun.

Camille akhirnya menyadari keberadaanku, dan begitu melihat wajahku yang sama sedihnya dengannya, ia segera memelukku. Kami hanya bisa menahan isak tangis masing-masing, menenangkan satu sama lain dalam kebisuan.

Perasaan yang tak dapat kuutarakan dengan kata-kata berkecamuk dalam diriku. Dari sekian banyak hal yang ada di dalam rumahku, hanya sedikit peninggalan nenek yang tertinggal. Padahal, hanya itu yang bisa menghubungkanku dengan kenangan-kenangan yang telah nenek tinggalkan untukku. Seharusnya aku bisa menjaganya dengan baik, tapi kenyataannya aku tak bisa. Kini aku hanya bisa mengingatnya melalui apa yang tersisa di tempat ini.

"Kita pasti akan membalas perbuatan mereka," ujar Camille. "Pasti."

Aku hanya bisa mengangguk di bahunya.

Ia melepas pelukan kami, berusaha tersenyum meski matanya masih berkaca-kaca ketika menjelajahi setiap sudut ruangan yang dulunya adalah ruang penelitianku bersama nenek. "Banyak waktu yang kuhabiskan bersama Sullivan di rumah ini. Mengembangkan berbagai penemuan, saling mengajari satu sama lain, mengurus rumah tangga, dan, oh!" Ia menunjuk ke arah perapian di tembok. "Dulu ada sepasang sofa empuk disana. Kami membaca buku bersama-sama, ditemani hangatnya api perapian."

"Kursi itu memang pernah ada disana," ujarku seraya mengusap air mata di pipiku. "Hanya saja nenek harus membuangnya karena ulahku." Aku meringis. "Aku menumpahkan cairan beracun pada sofa itu saat usiaku tujuh tahun."

Camille tergelak. "Kamu memang berbakat sejak kecil, Selene!"

Aku hanya bisa memberi senyuman malu sebagai tanggapan.

"Well, aku tidak memiliki banyak kenangan di dalam rumah ini. Sullivan takut bila aku sampai membakar rumahnya dengan kondisiku saat itu. Tapi aku punya sedikit ingatan diluar rumah ini," sahut Greg yang kini bergabung dengan kami. Kedua alisnya terangkat memandang kami secara bergantian. "Apa kalian baru saja menangis?"

Camille buru-buru mengusap pipinya, sedangkan aku hanya bisa menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Bahkan sebenarnya aku tidak pernah merasa gatal sejak menjadi vampire.

Tear of Mythical Creatures; VampireWhere stories live. Discover now