Chapter 25; Selene

10.1K 907 7
                                    

Entah sudah berapa lama aku berada dalam ingatan Camille, tapi penglihatan yang kulihat terasa semakin memilukan. Aku ingin segera keluar dari tempat ini, memeluk Camille, dan meminta maaf kepadanya. Aku tahu ini terjadi bukan sekehendakku, tapi melihat semua kenangan pribadinya tanpa izin juga bukan perbuatan baik.

Aku telah melakukan segala cara untuk keluar dari ingatan Camille. Mengerjapkan mata berkali-kali, berkonsentrasi, juga memekikkan kata 'keluar' berulang-ulang dalam hati. Tapi hasilnya nihil.

Ketakutan mulai menguasai hatiku. Apakah aku tidak akan bisa keluar dari sini? Mungkinkah aku akan terperangkap selamanya?

Tidak, tidak. Jangan berpikiran negatif, Selene! Pasti ada cara untuk keluar dari sini.

Sementara itu, aku telah berada di dalam sebuah kamar kecil yang tidak terasa asing bagiku. Cahaya matahari pagi menembus jendela di seberang tempat Camille terbaring diatas kasur, membuatnya terbangun dari tidurnya. Pakaiannya telag diganti dengan gaun tidur putih, sama seperti warna kulitnya saat ini. Wajahnya terlihat pucat, membuat rambut hitamnya yang tergerai kusut sangat mencolok. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya yang hampir memudar, sementara bibirnya kehilangan ronanya.

Ia beranjak duduk diatas tempat tidurnya, memandang kesana-kemari dengan bingung. Tentu saja dia bingung, karena terakhir kali yang dia ingat, dia berada di dalam hutan.

Ia mulai melangkahkan kaki keluar dari kamar ini, dan aku mengikutinya. Pandanganku langsung tertuju pada seorang wanita yang tengah duduk di depan sebuah meja makan. Ia sedang meramu obat dari tanaman-tanaman hijau di dalam sebuah alat penumbuk.

"Apa kamu sudah merasa lebih baik?"

Aku sangat terkejut ketika ia berpaling kepada Camille, karena meski dia berbeda dari yang terakhir kali kuingat, dia adalah nenek!

Ia tersenyum kepada Camille, dan senyumnya persis seperti yang kuingat. Tidak ada kerutan di wajahnya, mungkin usianya saat ini berkisar dua puluh tahun. Rambutnya berwarna hazel sempurna, bukan putih seperti yang kuingat. Yang tidak berubah darinya adalah mata biru lautnya yang secerah milikku.

Jadi, inilah saat Camille dan nenek pertama kali saling mengenal? batinku. Kusimpulkan seperti itu.

"Apa kau lapar?" tanyanya lagi. "Aku sudah menyiapkan makanan untukmu."

"Dimana aku saat ini?"

"Kau ada di rumahku. Namaku Sullivan," katanya memperkenalkan diri. "Kamu sudah berada di rumahku selama dua hari."

"Dua hari?" Camille terperanjat, "Gregory–"

Sullivan– yang kukenal sebagai nenekku– memegang pundak Camille dan berbicara menenangkan, "Aku akan menjelaskannya nanti, tapi kamu harus makan lebih dulu. Kamu sangat memerlukannya untuk memulihkan kondisimu."

Ragu-ragu Camille menurutinya. Ia duduk di depan meja makan sementara Sullivan menuangkan segelas teh herbal dan semangkuk bubur untuknya– menu andalan nenek untuk pasiennya.

Camille mulai menyantap makanannya, sementara Sullivan bercerita, "Dua hari yang lalu, kamu pasti sudah meninggal karena kehabisan darah jika saja tidak mendapat pertolongan yang cepat. Untungnya, vampire itu datang ke rumahku sehingga aku bisa segera mengobatimu. Kondisinya juga sama buruknya denganmu. Namanya Gregory?"

Camille mengangguk pelan.

Sullivan tersenyum, "Nama yang indah, bukan begitu?"

Camille mengangguk lagi sambil tersenyum simpul.

Tear of Mythical Creatures; VampireWo Geschichten leben. Entdecke jetzt